“Hai, Lia!”
Suara hangat nan khas itu menyapa antusias. Serupa orkestra alam semesta yang membangunkan bunga-bunga indah di taman surga.
Liani mendongak. Menatap seseorang yang tersenyum begitu indah di antara ramainya suasana kantin. Iris kecokelatan itu terpaku pada semesta yang fana.
“Abay?” Liani menyebut nama itu seolah tidak percaya.
Pemuda di hadapannya mengangguk dengan wajah hangat. “Kamu apa kabar, Lia?”
Lia terperanjat dan buru-buru menundukkan pandangan. “Astaghfirullah.” Pesona indah itu tidak pernah hilang meski waktu mencoba untuk menghapusnya.
“Alhamdulillah baik, Bay.” Liani menyeka wajah. Mencoba untuk menetralisir perasaan aneh yang seketika menjalar di seluruh tubuhnya. Ternyata perasaan itu masih punya magis hebat yang sulit dibantah.
“Kamu juga kuliah di sini, Lia?” Pemuda dengan rambut hitam mengombak itu bertanya antusias. Sepertinya pertemuan dengan Liani adalah sesuatu yang juga menghadirkan perasaan lama yang tidak pudar.
Liani mengangguk. “Kamu sendiri?”
“Iya. Aku juga kuliah di sini, Lia. Hari pertama yang menyenangkan bisa bertemu kamu lagi.”
Liani hanya mengangguk pelan sebagai respon. Sesuatu yang tidak pernah disiapkannya saat menginjakkan kaki di kampus baru ini adalah bertemu dengan orang lama. Orang yang pernah menghadirkan harapan kecil di hati lugunya.
Akbar. Pemuda tinggi semampai dengan rambut hitam mengombak. Netra terang yang meneduhkan. Bukankah senyum itu mengalami perubahan sekarang? Lebih menawan dari dua tahun lalu.
“Aku duluan, ya. Masih ada keperluan di Fakultas.”
Suara Akbar membuat lamunan singkat Liani terhenti. “Oh, iya, Bay.”
Akbar melambaikan tangan dan beranjak meninggalkan bangunan kantin yang seolah sunyi tanpa penghuni. Liani seperti berada di dimensi lain yang hanya dirinya dan pemuda itu yang menghuni. Apakah pertemuan mereka hanya sebuah kebetulan?
Bukankah kebetulan adalah sebuah takdir yang sedang menyamar?
“Siapa, Li?” Viani yang memastikan punggung Akbar benar-benar hilang di kelokan akhirnya bertanya.
Sudah sejak tadi dia ingin membombardir Liani dengan pertanyaan super penting, tapi baru
sekarang dia mampu melakukannya. Selain karena tidak ingin mengganggu obrolan, ketampanan Akbar membuatnya mematung sejenak dan kehilangan suara.“Teman.” Liani menjawab singkat.
“Teman SMA?”
Liani hanya mengangguk. Matanya menatap lurus ke depan. Ingatannya menjelajah ke masa lalu. Semua kenangan itu seperti berputar nyata di kepala. Ternyata waktu tidak cukup hebat untuk melenyapkan rasa yang telah lama tersemat.
“Ganteng banget, Li. Aku mau dong dikenalin sama dia.”
Viani sudah sibuk merapal kalimat-kalimat pujian untuk Akbar yang baru ditemuinya. Berisik sekali bertanya banyak hal pada Liani yang sekarang tidak mampu mendengar
apapun. Liani sama sekali tidak menanggapi celotehan Viani.
***“Gimana hari pertama kuliahnya, Li?”
“Baik, Bu. Dosennya keren-keren. Pengetahuannya luas,” jelas Liani sembari menatap wajah ibunya. Dia kembali menatap kertas putih di atas meja. Jemarinya menawan ketika
menggurat garis-garis yang indah. Kaligrafi. Liani suka sekali menggambar kaligrafi.Kaligrafi berukuran cukup besar yang dipajang di ruang keluarga adalah karya terbaiknya satu tahun lalu. Saat mengikuti lomba Kaligrafi tingkat Nasional. Ya. Selain cantik dan cerdas di pendidikan, Liani juga berbakat dalam seni lukis.
“Assalamu'alaikum.”
Pemuda dengan rambut gondrong menyapa dengan senyum lebar. Dia santai memasuki ruang keluarga Liani. Pakaiannya santai dengan kaos oblong dan celana pendek.
“Wa'alaikumussalam.”
“Dari mana aja kamu, Abizar?” Ibu Liani bertanya saat pemuda itu bersalaman.
“Dari kampus, Bu.” Abizar duduk menjeplak di dekat sofa. Menghadap Liani yang sejak tadi tidak bereaksi apapun kecuali menjawab salam. Dia fokus dengan dunianya sekarang.
“Serius amat, Neng!” Abizar meletakkan sekotak pisang cokelat di atas meja. Membuat Liani mendongak menatap pemuda itu sebentar. Kemudian beralih menatap kotak yang dibawakan oleh Abizar.
“Pisang cokelat?” Liani bertanya memastikan. Dia sudah menjauhkan kertas putih dan alat tulis. Sekarang ada yang lebih penting. Pisang cokelat favoritnya.
“Apalagi? Muka udah kayak pisang masih aja suka makan pisang!” Abizar tertawa.
Liani tidak menanggapi. Dia mulai membuka kotak berwarna kuning. Aroma pisang cokelat yang masih hangat itu membuat Liani menelan ludah. “Makasih, Zar.”
“Dimakan, Bu.” Abizar menawarkan pada ibu Liani. Perempuan itu hanya mengangguk dengan senyum ramah.
“Konveksi gimana, Bu?” tanya Abizar bersahabat.
“Lancar. Beberapa hari lalu ada sekolah yang minta dibuatkan almamater.
Abizar manggut-manggut mengerti. Ibu Liani sudah seperti ibunya sendiri. Bukan hanya karena rumah yang berseberangan hingga membuat Abizar akrab sekali dengan keluarga
Liani. Lebih tepatnya, orang tua Abizar adalah teman baik Ibu Liani semasa sekolah. Sejak SMP, Liani dan Abizar sudah berteman.“Hari pertama kamu kuliah bagaimana, Abizar?”
“Ya gitulah, Bu. Membosankan. Cuma perkenalan sama penyampaian silabus.” Pemuda itu menjawab seadanya. Sebenarnya malas menjelaskan, tapi demi sopan santun, dia harus mengatakannya.
“Emangnya kamu mau kayak gimana?” Liani menaikkan salah satu alis. Apa pula yang diharapkan Abizar di hari pertama kuliah?
Abizar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Cengengesan menatap wajah sangsi Liani. Dia lebih suka menabuh drum daripada harus duduk manis di kelas sampai dosen berkata jam pelajaran telah usai dan akhirnya dibolehkan pulang. Abizar tidak punya pilihan selain menerima permintaan kedua orang tuanya untuk meneruskan kuliah.
“Ibu buatkan minuman dulu, ya.” Ibu Liani bangkit dan menuju dapur.
“Nggak usah repot-repot, Bu. Jus mangga aja kalau ada!” seru Abizar yang diakhiri dengan tawa khasnya. Pemuda itu meraih kaligrafi yang baru setengah jadi.
“Pelan-pelan, nanti kertasnya kotor.” Liani mengingatkan. Gadis itu menyeka sisa cokelat di bibir dengan tisu.
Abizar memperhatikan lamat-lamat setiap goresan pensil di atas kertas. Lalu menatap kaligrafi yang tergantung di dinding ruang keluarga. “Nggak sama kayak yang digantung.”
Dia menatap Liani penuh tanda tanya. “Jangan-jangan itu bukan kamu yang gambar.”
“Kan belum jadi!” dengus Liani. Bagaimana mungkin Abizar meragukan keahliannya?
Abizar tertawa. “Biasa aja kali! Kan cuma becanda.”
“Zar, tadi aku ketemu Abay.”
Kalimat mendadak itu membuat Abizar tersentak. Matanya membulat sempurna. “Abay?” Dia seolah tidak percaya.
*****
Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca.
Salam hangat😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Liani
Teen Fiction"Lia, kamu mau kemana? Aku tidak bohong soal gadis itu, dia hanya masa lalu. Apa yang kamu khawatirkan dari seseorang yang telah jauh tertinggal di hari dulu?" "Justru orang yang ada di masa lalu yang harus aku khawatirkan, Bay. Bukankah dia yang le...