Mama Abizar

7 1 0
                                        

Sepulang dari acara perayaan ulang tahun papa Viani, Liani memutuskan untuk pergi ke kantor Konveksi keluarganya. Menghampiri ayahnya yang masih sibuk di kantor. Ada beberapa pekerjaan yang harus diurus hari ini. Liani urung menemui ayahnya.

“Selamat sore Mbak Lia,” sapa seorang karyawan yang bekerja di bidang packing.

“Sore, Mbak,” balas Liani ramah. Gadis itu duduk di salah satu kursi. Menatap karyawan perempuan yang barusan menyapanya. Dania. Dia karyawan baru dua bulan terakhir.

Dania terlihat tengah mengemas pesanan seragam blazer dari salah satu sekolah yang ada di kota. Meski gerakannya belum selincah karyawan lama, Dania menunjukkan keseriusannya dalam bekerja.

“Mbak Lia dari mana?” tanya Dania sopan. Perempuan itu menatap Liani sebentar lalu melanjutkan kembali kegiatanya.

“Dari rumah teman, Mbak.”

Dania mengangguk. Keluarga Liani memang terkenal baik. Dia dan semua karyawan yang bekerja di Konveksi tidak akan menyangkal fakta itu. Bahkan, bagi Dania dan karyawan lain, keluarga Liani sudah seperti keluarga sendiri, bukan antara atasan dan bawahan.

“Mbak udah makan siang?” Liani meluruskan kaki. Menatap langit-langit ruangan yang tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga karyawan yang bertugas untuk mengemas pakaian siap kirim.

“Belum, Mbak. Tanggung kerjaannya sedikit lagi.”

“Makan aja dulu, Mbak. Kerjaannya bisa dilanjut nanti. Lagian sekarang, kan udah waktunya makan siang.” Liani menatap Dania serius.

Dania diam sejenak dan mengangguk pelan. “Iya, Mbak. Sebentar lagi.” Dania tersenyum kecil. Dia keras kepala soal ini ternyata.

Liani geleng-geleng kepala. Gadis itu bangkit dan keluar ruangan. Dania hanya menatap punggung Liani yang pergi tanpa kalimat apapun.

Lima menit. Liani kembali dengan nampan makan siang di tangannya. Dia meletakkan
nampan di atas meja. “Makan dulu aja, Mbak. Tuh udah Liani ambilin.”

Dania yang merasa tidak enak memasang wajah bersalah. Dia benar-benar tidak bermaksud untuk membuat Liani harus mengambilkannya jatah makan siang.
Dania berdiri salah tingkah. Menggaruk tengkuknya yang terasa meremang. “Aduh, maaf, Mbak saya nggak bermaksud untuk merepotkan Mbak Lia.”

Liani menggeleng dengan senyum kecil. “Nggak papa, Mbak. Santai aja. Makanya Mbak kalau dibilangin nurut, jangan suka nunda-nunda makan. Nanti Mbak Dania sakit, yang terbengkalai juga pekerjaannya, kan?”

Dania menghela napas lega dan mengangguk pelan. Liani benar-benar gadis yang baik.

“Terima kasih, Mbak.”

Dania duduk di salah satu kursi. Mulai menyantap menu makan siangnya. Semua karyawan yang bekerja di Konveksi memang mendapatkan jatah makan siang dan sarapan pagi. Semua itu ibu Liani yang membuatkan.

“Mbak nggak makan?” Dania melirik Liani yang hanya diam di kursi.

Liani menggeleng. “Tadi udah, Mbak.”

Hening. Tidak ada percakapan lagi. Liani hanyut dalam pikirannya. Seminggu terakhir banyak kejadian mengagetkan yang terjadi. Namun yang paling mengganggu hatinya adalah kehadiran sosok yang pernah hadir di masa lalu itu.

Liani mengubur dalam-dalam semua perasaan yang dulu mampir di hatinya. Lalu tanpa persetujuan siapapun, perasaan itu kembali menguar saat pemantiknya tiba di depan mata. Dia harus segera melenyapkan perasaan itu agar tidak mengganggu.

“Lia.”

Suara sapaan ayahnya membuat Liani tersadar dari lamunan. Dia menatap ayahnya yang berdiri di dekat pintu.

“Kamu sudah lama di sini?”

Liani menggeleng dan bangkit dari duduknya. Menghampiri ayahnya dan bersalaman.

“Kenapa nggak ke ruangan Ayah?” Ayah Liani mengelus lembut puncak kepala anaknya.

“Ayah kelihatannya lagi sibuk banget, Lia takut ganggu.”

Ayahnya tersenyum. “Kan kelihatannya aja. Belum tentu sibuk betulan,” gurau ayahnya.

“Ayah sudah makan siang?” Liani menatap wajah ayahnya yang terlihat amat lelah. Usia dan pekerjaan yang terus dijalani membuat laki-laki itu terlihat matang dan dewasa.

Ayah Liani menggeleng.

“Kalau gitu Liani siapin makan siang untuk Ayah.” Gadis dengan kerudung panjang itu
menarik tangan ayahnya pelan. Menuntun langkah mereka untuk pergi ke ruangan makan yang biasa digunakan untuk karyawan makan bersama.

***

Abizar duduk santai di kursi taman belakang yang terlihat asri dengan bunga mawar merah yang mekar indah. Udara sore yang sejuk membelai rambut gondrongnya yang dibiarkan tergerai. Pemuda itu menatap langit sore yang dijemput awan berarak.

“Abi.”

Vokal hangat itu membuat Abizar spontan menoleh. Bukankah suara itu sudah hampir seminggu jarang sekali masuk ke rongga telinganya?

“Hai, Ma.” Abizar menyapa singkat. Menutupi kerinduannya yang sudah naik ke ubun-ubun. Soal bohong, Abizar memang ahlinya.

“Bagaimana weekend kamu hari ini?” tanya seorang perempuan dengan pakaian rapi khas wanita kantoran. Dia duduk di kursi sebelah Abizar. Meluruskan kaki dan melepas sanggulan rambutnya.

Abizar menghela napas berat. “Biasa aja.”

“Papa mana?” Abizar menoleh ke belakang. Mencari keberadaan laki-laki yang dua tahun terakhir hampir dia lupakan gurat wajahnya.

“Masih di kantor. Ada pekerjaan yang belum selesai,” jawab perempuan itu datar.

“Pekerjaan Mama udah selesai?” Abizar bertanya tanpa menatap wajah mamanya. Kalau hendak menurutkan kemauan hatinya, dia ingin sekali memeluk tubuh itu, dia rindu sekali. Tapi Abizar terlalu gengsi.

Mama Abizar menatap tubuh anaknya yang semakin hari semakin tumbuh gagah dengan rambut gondrong yang entah akan dibiarkan sepanjang apa. Dia segan untuk menyuruh Abizar memangkasnya.

“Rambut kamu sudah panjang, ya,” komentar mama Abizar. Perempuan itu merasa canggung bicara pada sosok yang dikandungnya sembilan bulan, dilahirkannya dengan taruhan nyawa
dan dibesarkannya dengan penuh cinta. Dia lebih tahu apa alasannya.

Abizar tertawa. “Iya, Ma udah kayak Rambo!”

Mamanya ikut tertawa meski rasanya aneh sekali. Sudah berapa lama mereka tidak
menghabiskan waktu bersama? Mungkin dua tahun terakhir. Makanya momen seperti ini menjadi momen yang ganjil.

Hening. Tidak ada percakapan. Hanya embusan angin dan kicau burung yang menemani Abizar dan mamanya. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai sore larut dan langit mulai meremang.

“Abizar masuk, Ma. Mama istirahat, gih.” Pemuda itu berkata senormal mungkin. Mamanya hanya mengangguk sebagai jawaban. Sama. Dia berusaha merespon senormal yang bisa wajahnya lakukan.

Abizar beranjak meninggalkan taman belakang. Meninggalkan mamanya sendiri.

“Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin memperbaiki semuanya.”

Suara itu pilu dengan guyuran air mata yang terbendung di pelupuk.


*****
Hai, terima kasih sudah membaca.
Salam hangat 😊

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang