“Sekarang aku udah tau pola kamu, Lia.”
Liani yang semula menatap piring berisi makan siangnya sekarang mendongak menatap Akbar yang duduk di hadapannya. “Pola apa?” tanyanya.
Akbar tersenyum. Sejenak mengistirahatkan sendok dan garpu. “Setiap jam makan siang kamu akan makan di sini bersama Viani.” Akbar menunjuk sebentar Viani yang masih berdiri di depan stan penjual makanan. Gadis itu terlambat ke kantin karena harus menyelesaikan urusan dengan dosen barunya.
“Selalu memesan nasi soto dan teh tawar. Duduk takzim di kursi pojok kantin,” sambung Akbar menjelaskan.
Sudah tiga kali sejak mereka menjadi mahasiswa baru di salah satu kampus ternama di kota, Akbar memperhatikan dengan baik pola yang dibentuk oleh Liani. Dia dengan cepat menyimpulkan.
Langkah kakinya siang ini jelas dibawa oleh kesimpulan pola yang sudah dipahaminya dengan apik.
Liani tersenyum kecil. Pikirannya lurus, hanya menyangka jika Akbar hanya iseng
memahami polanya. Dia tidak pernah tahu jika Akbar belajar untuk memahaminya sekali lagi.“Hai!” Viani menyapa hangat setelah mendapat makan siangnya.
“Hai, Vi!” balas Akbar ramah. Pemuda itu menggeser posisi agar Viani bisa ikut duduk.
“Makasih, Bar.”
Akbar hanya mengangguk sebagai jawaban. “Kenapa telat datang ke kantinnya?” tanya
Akbar sembari menatap Viani.“Ada urusan bentar sama dosen tadi.” Viani mengendikkan bahunya pelan. Seolah kejadian di kelas tadi pagi bukan apa-apa baginya.
Viani tidak membawa print out silabus mata kuliah yang diperintahkan oleh dosen satu minggu lalu. Alhasil dia tidak boleh ikut mata kuliah selama dua jam pertama. Dan untuk gantinya, dia harus menghadap secara langsung pada dosen yang bersangkutan setelah mata kuliah berakhir.
“Teman kamu yang lain mana, Bar?” Viani bertanya sembari menyantap menu makan siangnya kali ini. Batagor dengan kecap dan saus melimpah.
“Mereka lagi nggak lapar.”
Viani manggut-manggut mengiyakan. Tidak lagi bersuara sampai makan siangnya tandas.
Kamu ikut organisasi apa, Lia?” Akbar bertanya pada Liani yang tidak banyak bersuara sejak beberapa menit lalu.
“Belum tau, Bay.” Gadis itu menggeleng pelan. Seharusnya dia mulai memikirkan tentang hal itu, tapi entah kenapa seminggu terakhir belum terpikirkan soal demikian.
“Masuk BEM yuk, Li.” Viani mengajak.
“Akbar juga daftar BEM loh,” sambungnya dengan senyum kecil.
Liani kontan menatap Akbar yang kaget dengan pernyataan Viani barusan.
Akbar terlihat salah tingkah. Entah apa pemantiknya senyum kikuk itu muncul saat Liani menatapnya cukup lama. Hingga akhirnya Liani kembali memalingkan wajah dan seolah menghindari kontak mata dengannya.
“Ayok, Li masuk BEM juga. Asik kan kalau kita bertiga sama-sama jadi anggota BEM.”
Viani tampak membujuk Liani.Liani berpikir sejenak. “Nanti aku pikirin lagi, ya.”
“Jangan lama-lama mikirinnya, Lia. Nanti keburu tutup pendaftarannya.” Akbar ikut
bersuara. Seolah dia juga mengingingkan kehadiran Liani di lingkup organisasi yang
diikutinya.“Iya.” Liani hanya mengangguk singkat tanpa menatap lawan bicaranya.
***
Liani membukakan pintu utama rumahnya. Seorang perempuan dengan pakaian rapi khas kantoran dan rambut hitam yang diikat rendah terlihat lelah. Namun dia memaksakan tersenyum sebaik yang lekuk bibirnya bisa.
“Assalamu'alaikum, Liani.”
“Wa'alaikumussalam, Ma.” Liani membalas sopan dan bersalaman dengan perempuan itu.
“Masuk dulu, Ma.” Liani menyilahkan ramah. Tidak menyangka jika malam ini akan mendapat tamu spesial setelah sekian lama tak pernah berkunjung.
Perempuan itu menggeleng pelan. “Mama nggak lama, ada yang mau disampaikan sama kamu, Lia.”
Liani mengernyitkan dahi dan menatap perempuan itu lekat-lekat. “Kenapa nggak di dalam aja, Ma menyampaikannya?”
Perempuan itu lagi-lagi menggeleng dan tersenyum. Senyum yang tidak pernah dipahami Liani sebagai remaja yang menuju peralihan dewasa.
Baiklah. Liani menurut. Membiarkan percakapan mereka berlangsung di depan pintu rumah yang terbuka separuh sembari menikmati angin malam yang berembus lembut.
“Mama titip Abizar, ya, Li.” Perempuan itu membuka dengan suara lugas yang mengundang pertanyaan besar.
Liani menyipitkan mata. Apa maksudnya?
“Mungkin Mama sudah gagal menjadi ibu yang baik untuk Abizar. Mama kehilangan banyak kebersamaan bersama dia. Dan mungkin dia pun juga kehilangan Mama sebagai seorang ibu.”
Liani masih berusaha mengunyah kalimat-kalimat itu agar dipahami otaknya dengan maksimal. Dia mendengarkan dengan baik tanpa menyela. Menatap wajah cantik yang lelahnya hampir menutupi gurat indah itu.
“Sejak kami sibuk beberapa tahun terakhir, kami jarang sekali berkomunikasi dengan Abizar. Entah Abizar yang berubah menjadi sosok yang berbeda atau justru kami yang telah berubah sebagai sosok orang tua.”
Liani mulai mengerti arah pembicaraan serius ini. Dia tahu jika beberapa tahun terakhir—sejak keluarga Abizar terbilang sukses dalam usaha yang dirintisnya. Orang tua Abizar selalu sibuk di kantor dan jarang sekali pulang ke rumah. Meski Abizar tidak bilang soal itu, siapapun tahu apa yang tengah terjadi. Hanya satu yang tak pernah orang-orang tahu—hati dan perasaan Abizar.
Yang orang-orang tahu hanyalah keluarga mereka kaya raya dan punya segalanya. Abizar bisa mendapatkan apapun yang diinginkan. Tidak pernah mengerti bahwa uang sedikit pun tidak pernah mampu membeli waktu yang dikorbankan orang tua Abizar untuk dirinya.
“Kamu adalah sahabat baik Abizar sejak kecil, Lia. Cuma kamu tempat Abizar bercerita banyak hal. Tolong jangan pernah tinggalkan dia, Lia. Cukup kami saja yang membuatnya kecewa.” Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Liani menelan ludah. Kalimat itu sempurna serupa dilema yang membuatnya terbagi-bagi menjadi beberapa cabang yang berbeda muara.
“Janji, ya, Li jangan sampai tinggalin Abizar sendiri.” Perempuan itu menatap Liani
memohon. Netra cokelatnya tidak main-main soal pintan barusan.Liani masih terdiam. Bagaimana dengan keinginan hatinya untuk menjauhi Abizar sebagai jalan awal hijrahnya? Bagaimana dengan rencana pembukanya?
“Lia.”
Suara itu membuat Liani tersadarkan dari banyak pikiran yang menggelayuti kepala. “Iya, Ma?”
“Janji, ya sama Mama. Abizar membutuhkan kamu, Lia.”
*****
Hai, terima kasih sudah membaca:)
Salam hangat 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Liani
Teen Fiction"Lia, kamu mau kemana? Aku tidak bohong soal gadis itu, dia hanya masa lalu. Apa yang kamu khawatirkan dari seseorang yang telah jauh tertinggal di hari dulu?" "Justru orang yang ada di masa lalu yang harus aku khawatirkan, Bay. Bukankah dia yang le...