Separuh Hati

5 1 0
                                    

“Astaga jahat banget lo, Li!”

Abizar mendongak, menatap remang wajah Liani yang ditimpa cahaya lampu dengan watt kecil. Gadis itu memutar tubuh dan meninggalkan balkon kamar yang terasa dingin.

Liani menuruni anak tangga. Membuka pintu hati-hati agar tidak mengganggu penghuni rumah yang sudah terlelap. Dia menatap Abizar yang sekarang melipir ke teras rumahnya sembari memegangi lutut yang berdarah.

Liani tidak setega itu meninggalkan Abizar sendiri yang sedang meringis kesakitan di teras rumahnya. Dia datang membawa kotak P3K dengan wajah sebal yang menyimpan khawatir.

Tanpa banyak bicara, Liani mengeluarkan obat-obatan dari dalam kotak dan duduk di dekat Abizar. Pemuda itu hendak bicara, tapi sorot mata Liani membuatnya bungkam. Mengurungkan niat untuk mengeluarkan sepatah kata.

Liani menatap jeri luka gores yang cukup besar di lutut Abizar. Dia membersihkannya perlahan dan menimpanya dengan obat merah.

“Aw! Perih, Li!” Abizar meringis.

“Tahan sebentar!” tegas Liani tanpa menatap lawan bicaranya.

“Lo ikhlas nggak, sih ngobatinnya?”

Liani mengembuskan napas pelan. “Bukannya bersyukur aku mau turun dan ngobatin luka kamu, malah nanya aku ikhlas apa nggak!”

Kalimat Liani terdengar serius, padahal niat Abizar barusan hanya bergurau. Pemuda itu terdiam seketika dan menatap wajah Liani yang sekarang datar. Membebat lukanya dengan perban putih bersih.

Perasaan Liani benar-benar berkecamuk sekarang. Separuh hatinya tidak bisa berbohong. Sulit untuk menjauhi seseorang yang sudah dikenalnya sejak lama. Apalagi jika seseorang itu adalah sosok yang selama ini selalu menemaninya. Tapi separuh yang lain mulai gelisah dengan aturan yang harus dia patuhi.

“Makasih, Li.” Abizar berujar pelan. Merasa bersalah dengan kalimatnya beberapa menit lalu. Pemuda itu meluruskan kaki atas perintah Liani.

“Maaf, Li jadi ngerepotin kamu malam-malam gini.”

Liani hanya menggeleng pelan. Tidak menanggapi. Dia duduk cukup jauh dari pemuda berambut gondrong itu. Langit malam semakin kelam. Taburan bintang bersembunyi di balik arakan awan hitam.

Hening. Abizar hanya menatap bebat luka di lututnya dan Liani bergantian. Dia tidak akan menyangkal jika jauh di dalam hatinya tersimpan sebuah perasaan tak bernama yang sulit untuk diakuinya dengan kejujuran penuh.

“Lain kali hati-hati, Zar. Jangan hanya karena kamu ingin menemuiku, kamu jadi celaka seperti ini.”

Kalimat barusan membuat Abizar mendongak. Menatap Liani yang sama sekali tidak mengarahkan wajah padanya. Gadis itu terlalu sulit untuk diajak berkontak mata.

“Iya, Li. Sekali lagi maaf, ya.”

Liani berdiri dan mengembuskan napas panjang. “Udah selesai, kan?” Dia bertanya cepat pada Abizar. Pemuda itu hanya mengangguk kikuk. Sejak tadi juga semuanya memang sudah selesai.

“Kalau gitu aku masuk. Pulang sana!” Liani meninggalkan Abizar yang sudah seperti tamu yang diusir secara paksa. Sampai Liani masuk dan menutup pintu, Abizar masih berada di teras rumah. Senyumnya mengembang ketika menatap bebat luka di lututnya.

“Luka ini nggak papa nggak sembuh, Li!”


***


Liani menyandarkan punggung. Mata kuliah dua jam terakhir benar-benar menguras tenaga. Dosen senior yang terkenal killer seantero jurusan itu bukan bualan belaka. Dia sama sekali tidak menoleransi kesalahan sekecil apapun di jam mengajarnya.

Selama mengajar dia sama sekali tidak membiarkan mahasiswanya bernapas lega. Dia terus bertanya dan memberikan pertanyaan yang menyita otak. Semua mahasiswa mendapat jatah menjelaskan materi yang diajarkan. Jika tak mampu menjelaskan, dia akan memaksa mahasiswanya berpikir keras.

Katanya, 'untuk apa hidup jika tidak mau berpikir?'

Viani sudah menenggelamkan kepala di atas meja. Jika mata kuliah barusan membuat Liani mengembuskan napas lelah, apalagi Viani yang jelas tidak menyukai mata kuliah beserta dosennnya.

Beberapa mahasiswa sudah keluar kelas. Menghirup udara segar. Mungkin beranjak ke kantin untuk mengisi perut. Sekaligus melepas penat. Sebagian masih berada di ruangan kelas. Beradaptasi dengan serangan brutal dua jam lalu.

“Gila tuh dosen!” Viani mendengus sebal sembari memasukkan buku ke dalam ransel.

Liani menoleh menatap teman baiknya.

“Untung cuma satu! Kalau ada dua mati kita, Li!”

Liani juga kelelahan, tapi dia memilih diam dan tidak mengeluh. Tidak ada gunanya. Dia harus cepat beradaptasi dengan cara dosennya mengajar. Lagipula memang seharusnya begitu seorang mahasiswa. Berpikir keras untuk bisa menjadi manusia yang berguna.

Viani bangkit dari duduknya dan merenggangkan tubuh. “Kantin, yuk, Li!” ajaknya sembari menatap Liani.

“Kamu duluan aja, nanti aku nyusul.”

“Bareng aja, Li. Nggak enak sendiri-sendiri.”

“Aku belum lapar, Viani.” Bukan hanya karena mata kuliah barusan Liani kehilangan selera makan, tapi kejadian tadi malam masih mengganggu hatinya.

Viani berpikir sejenak dan akhirnya mengangguk. “Oke deh. Aku duluan, ya.”

Gadis itu beranjak dan mengajak beberapa mahasiswa lain. Sebagai seseorang yang humble dan mudah bergaul dengan siapa saja, tidak sulit bagi Viani untuk menemukan teman menuju kantin. Itu bukan masalah besar jika Liani tidak menemaninya.

Sepuluh menit berlalu. Liani masih berada di kelas yang sunyi. Hanya ada dia dan kursi-kursi kosong tanpa penghuni. Seharusnya Liani bisa bernapas lega saat duduk di bangku kuliah, pikirnya. Tapi ternyata tidak demikian. Justru bangku kuliah membuatnya semakin kualahan.

Bagaimana cara bilang ke Tuhan kalau sebenarnya dia sangat ingin menjadi manusia yang lebih baik? Tapi waktu dan keadaan membuat semuanya menjadi rumit. Apakah jalan hijrah selalu demikian? Sulit dan selalu melibatkan perdebatan hebat di dalam kepala.

Liani mengeluarkan ponsel yang berdering di saku ranselnya. Melihat nama yang tercetak tebal. Dia mengangkatnya pelan.

“Halo. Assalamualaikum.”



*****
Hai, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca Penantian Liani.
Salam hangat 😊

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang