“Janji, ya sama Mama. Abizar membutuhkan kamu, Lia.”
Liani menatap mama Abizar lekat-lekat. Netra kecokelatan itu memohon sekarang. Liani tidak tega saat air mata mulai mengucur di pelupuk matanya.
Mama Abizar menatap dalam mata Liani. Meminta persetujuan. Dia tidak akan beralih sebelum Liani mengangguk mengiyakan.
Sepuluh detik. Liani akhirnya mengangguk. Anggukan yang mahal sekali harganya. Dia
berjanji untuk tidak pernah meninggalkan Abizar. Perempuan itu tersenyum haru. Dia
memeluk erat tubuh Liani.“Terima kasih, Liani.” Suara itu serak dan terdengar lega.
“Terima kasih sudah berjanji akan selalu bersama Abizar, Li.”
Liani hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia membalas pelukan mama Abizar lembut. Hatinya digelayuti dilema yang luar biasa. Dia tidak mampu menolak apa yang diminta oleh sahabat orang tuanya. Mama Abizar sudah seperti orang tuanya sendiri.
Perempuan itu melepaskan pelukan dan memegangi kedua bahu Liani hangat. “Mama yakin Abizar akan selalu bahagia selama ada kamu, Lia.”
Liani menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Abizar akan tetap bahagia selama Allah memberikannya kebahagiaan, Ma.”
Mama Abizar mengangguk pelan.
“Kalau begitu Mama pamit, ya. Salam pada Ayah dan Ibu kamu, Li.”
Liani bersalaman dan melepas perempuan itu untuk meninggalkan rumah minimalisnya. Dia menaiki mobil sedan hitam dan meninggalkan area rumah Liani. Membelah jalanan malam yang tenang tanpa hiruk pikuk dunia.
Liani menutup pintu. Melangkah gontai. Ketukan pintu membuat langkahnya terhenti. Ayah dan ibunya pulang. Liani menyambut hangat. Meski jauh dalam hatinya tersimpan resah yang amat mengganggu.
“Tadi mama Abizar ke sini, ya, Li?” tanya ibu Liani sembari melintasi ruang tamu.
“Iya, Bu, tapi cuma sebentar.”
“Oh. Tumben sekali.”
“Ada keperluan apa?” Ayahnya bertanya setelah duduk di sofa yang berada di ruang
keluarga. Merehatkan tubuhnya yang lelah.“Tadi cuma nanya soal Abizar di kampus,” jawab Liani berbohong. Entah apa yang akan dijelaskannya pada kedua orang tuanya. Lagipula orang tuanya juga akan meminta hal yang sama. Untuk tetap bersama Abizar.
Orang tuanya hanya manggut-manggut mengerti. Tidak banyak bertanya. Liani pamit dan masuk ke kamarnya. Meninggalkan kedua orang tuanya yang sepertinya kelelahan. Liani tidak punya cukup energi untuk bisa berbincang banyak hal—menemani kedua orang tuanya.
***
Liani membaringkan tubuh di atas kasur. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Kalimat mama Abizar membuat kepalanya sumpek. Liani sudah memejamkan mata sejak dua jam lalu, tapi hingga sekarang dia masih terjaga. Kalimat itu mengganggu sekali.“Lia!”
Suara itu membuat Liani terperanjat dan spontan membuka selimut. Matanya menyoroti jendela kamar yang remang. Siapa lagi jika bukan Abizar?
Dia enggan membukakan jendela. Sudah pukul sebelas malam. Apa kepentingan pemuda berambut gondrong itu datang bertamu melalui celah jendela tengah malam seperti ini?
“Lia buka jendelanya, Ya!” Suara itu kembali berbisik pelan.
Liani masih bergeming di atas kasurnya. Abizar memang menyebalkan sekali. Bisakah dia berhenti mengganggu malam-malamnya sekali saja?
“Lia!”
Gadis itu menggeram sebal. Dia bangkit dan merapikan kerudung instan yang dikenakannya. Meraih baju kurung berwarna hitam. Menghampiri Abizar yang berdiri di depan jendela kamarnya.
Liani menyingkap tirai jendela yang berembus diterpa angin. “Kenapa?” tanyanya sebal.
“Lo sehat, kan Li?” Abizar menempelkan wajahnya di kaca jendela. Membuat Liani
mengernyitkan dahi dan mendengus sebal. Abizar sudah seperti anak kecil saja.“Sehat.” Gadis itu mengangguk kebingungan.
“Gue mimpi lo ditelan paus, Li.”
Entah pemuda itu betulan atau cuma bergurau, tapi Liani hendak tertawa mendengarnya.
“Ketawa aja kalau mau ketawa, Li. Nggak usah ditahan-tahan gitu!”
“Jelek muka lo!”
Liani tetap kokoh untuk tidak tertawa meski Abizar membuat tawanya ingin meledak. “Jadi kamu ketuk-ketuk jendela kamar aku cuma mau nanya itu aja?"
Abizar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya.” Pemuda itu tertawa.
Sebenarnya Abizar berbohong. Terlalu bodoh jika dia hanya ingin menanyakan hal tersebut sampai rela memanjat pagar rumah dan memanjat pohon mangga menjulang yang tersambung ke kamar Liani. Hatinya yang jauh dari kontaminasi itu telah membawa langkah kakinya untuk menatap wajah gemas Liani tengah malam seperti ini.
“Nggak jelas!”
Liani menutup tirai jendela dan meninggalkan Abizar yang masih sok polos dengan keputusannya. Gadis itu kembali berbaring di atas kasur. Bagaimana dia akan menjalani hidupnya sekarang?
Permintaan mama Abizar dan keinginan hatinya adalah dua muara yang berbeda. Liani tahu keputusan yang diambilnya beberapa waktu lalu adalah sesuatu yang menyimpan konsekuensi besar, tapi dia tidak pernah tahu jika duri yang harus ditemuinya adalah kegamangan yang amat mengganggu ini.
Liani ingin berubah menjadi manusia yang lebih baik. Dia ingin meninggalkan salah satu kesalahannya di masa lalu. Yaitu bersahabat dengan Abizar. Tapi bagaimana mungkin ingin itu bisa dilakukan jika permintaan mama Abizar malah menyembul tatkala dia harus mulai bergerak.
“Liani!”
Astaga! Suara itu benar-benar membuat Liani sebal sekarang. Pemuda itu benar-benar mengganggu tidur malamnya yang sudah rusak malam ini.
Tunggu sebentar! Tidak ada lagi suara Abizar. Dan suara barusan bukan suara panggilan biasa melainkan sebuah teriakan yang tidak biasa. Liani buru-buru bangkit dan menghampiri jendela.
Tidak ada pemuda itu di sana. Liani memutuskan untuk membuka jendela besar di kamarnya. Liani mengedarkan pandangan. Pemuda itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.
Liani menatap dahan pohon mangga yang patah. Kepalanya mulai merangkaikan sesuatu. Dia menatap jauh di bawah. Ternyata Abizar terjatuh dari pohon mangga yang tersambung ke kamarnya.
Pemuda itu meringis kesakitan sembari memegangi kakinya. Dia mendongak dan menatap Liani dengan senyum kecut. “Gue jatuh, Li!”
“Makanya kalau malam tuh tidur, bukan malah kelayapan ke rumah orang!”
“Astaga jahat banget lo, Li!”
*****
Hai, terima kasih sudah sampai sini.
Salam hangat 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Liani
Teen Fiction"Lia, kamu mau kemana? Aku tidak bohong soal gadis itu, dia hanya masa lalu. Apa yang kamu khawatirkan dari seseorang yang telah jauh tertinggal di hari dulu?" "Justru orang yang ada di masa lalu yang harus aku khawatirkan, Bay. Bukankah dia yang le...