Doa dan Usaha

4 1 0
                                    

“Wah, bagus-bagus kaligrafi kamu, Li.”

Akbar mengangkat kertas dengan guratan-guratan indah kaligrafi dengan paduan warna yang indah. Pemuda itu tulus memuji. Seulas senyum mampir di wajah bersihnya yang memesona. Liani yang duduk berseberangan menatap sekilas.

“Pasti menang, nih kalau ikut kompetisi tahunan kampus.”

“Tapi ini lingkup Universitas, Bay. Pasti banyak mahasiswa lain yang lebih jago dari aku.” Liani menggeleng pelan.

Selama ini Liani memang suka mengikuti beberapa lomba kaligrafi, tapi tidak pernah sampai tingkat Nasional seperti yang akan diadakan oleh kampus barunya. Dia tidak terlalu percaya diri.

Tadi malam Akbar menghubungi Liani tentang acara tahunan kampus yang akan menghadirkan beberapa kompetisi, salah satunya adalah lomba kaligrafi. Liani tertarik saat berita itu disampaikan Akbar. Lebih-lebih, dia suka saat Akbar yang menyampaikannya.

Akbar menurunkan kertas-kertas di tangannya. Menatap wajah Liani lembut. “Li, kamu itu punya potensi dalam bidang kaligrafi. Kalau kamu mau tau sejauh mana kemampuan kamu, kamu harus ikut kompetisi.”

“Nggak akan menang, Bay.” Liani tertawa kecil.

“Belum dicoba udah bilang nggak akan menang, emang kamu Tuhan?”

“Lagian seperti yang kamu bilang beberapa tahun lalu …” Akbar tampak menggantung kalimatnya. Seolah mengingat tentang masa lalu adalah sebuah bimbang yang sulit diajak berdamai.

Liani juga menatap lurus wajah Akbar yang mengalami perubahan dalam rautnya. Mereka berdua sama-sama tahu tentang perpisahan itu, tapi Liani tidak pernah tahu alasan masuk akal dibaliknya.

“Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Hasil akhirnya tetap Allah yang punya kuasa,” lanjut Akbar dengan senyum kecil.

“Ikut, ya, Li. Rugi tau kalau nggak ikut.” Akbar membujuk. Menatap dengan mata berbinar.

Liani diam sembari menuntun kepalanya untuk berpikir. Akbar benar. Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha yang terbaik dan berdoa. Apapun yang akan terjadi di akhir nanti urusan yang di atas. Bukankah Liani selalu percaya kalimat itu?

“Nanti aku pikirin dulu.”

“Jangan kelamaan mikirnya, Li. Soal organisasi BEM aja belum kelar juga mikirnya.” Akbar menampilkan cengiran lebarnya yang khas.

Kalimat itu membuat Liani mendongak. Sudah dua hari soal organisasi itu dan dia belum juga memberikan kepastian. Akbar dan Viani pasti sudah menunggu apakah dia akan bergabung atau tidak.

“Soal itu.” Liani membuka suara. Dua hari sudah cukup untuk berpikir secara matang dan dia sudah memutuskannya dengan baik. Semoga saja keputusannya adalah yang terbaik.

Akbar tampak antusias. Dia menunggu tidak sabar. “Ikut gabung, kan, Li?” tanyanya cepat.

Liani mengembuskan napas perlahan. “Soal itu kayaknya aku nggak bisa gabung, Bay. Aku nggak bakat masuk BEM.”

Pernyataan itu membuat Akbar tampak kecewa, meski dia mampu menutupinya dengan baik.

Dia mengangguk pelan, mengiyakan. “Oke, Li. Tapi jangan lupa tetap cari organisasi, ya untuk nambah-nambah pengalaman selama di kampus.”

Liani mengangguk. “Makasih, Bay.”

“Makasih kenapa?” cetus Akbar tiba-tiba.

“Ha?” Liani tampak salah tingkah saat tertangkap basah menatap Akbar begitu dalam saat mengucap kalimat terima kasih.

“Makasih nasihatnya,” jawab Liani dengan wajah memerah.


***

Liani meluruskan kaki. Menatap suasana kantin yang tidak terlalu ramai. Sudah lewat jam makan siang. Dia dan Viani baru saja keluar kelas.

“Kamu pesan apa, Li?” tanya Viani yang bangkit dari duduknya.

Liani menggeleng pelan. Mengangkat kotak bekal berwarna biru muda miliknya. “Kamu aja yang pesan.”

Viani menatap sekilas kemudian mengangguk pelan. “Oke.” Dia melenggang pergi menuju salah satu penjual makanan di kantin. Meninggalkan Liani yang sekarang beralih membuka kotak bekal.

Kegiatannya terhenti sejenak saat ponselnya berdenting pelan. Sebuah pesan singkat masuk.

Mama Abizar
Abizar ngampus, kan, Li hari ini? Tolong ingetin jangan suka bolos, ya.

Liani menatap pesan itu lama. Permintaan mama Abizar untuk tidak pernah meninggalkan pemuda itu beberapa hari lalu terus saja memenuhi kepala Liani. Ditambah lagi pesan yang baru masuk, Liani benar-benar dilema.

Bagaimana dia akan menjauhi pemuda itu untuk sebuah alasan yang paling masuk akal perihal agamanya, jika permintaan mama Abizar terbilang berseberangan dengan niat itu?


Liani

Iya, ngampus, Ma. Nanti Lia ingetin.

Setelah mengetikkan balasan, Liani menyimpan ponselnya. Beberapa menit setelah itu Viani kembali dengan sepiring siomay dan es teh manis.

“Hai, Ya!”

Suara berat yang amat Liani kenali itu masuk ke rongga kupingnya diikuti dengan seseorang yang duduk tepat di sebelahnya.

“Abizar? Ngapain ke sini?” tanya Liani sembari menatap pemuda berambut gondrong itu lamat-lamat.

Tampilan Abizar lebih cocok disebut pembalap daripada seorang mahasiswa. Ripped jeans dan jaket kulit tebal tampak kontras dengan tampilan dua gadis yang dihampirinya.

“Temen lo?” Bukannya menjawab pertanyaan Liani, Abizar malah bertanya pada Viani dengan tatapan santai. Seolah Viani adalah teman lamanya.

Viani yang kaget hanya mengangguk kikuk tanpa mengalihkan pandangan. Liani
menyipitkan mata menerka apa maksud kalimat Abizar barusan.

“Temen lo gimana, sih? Nanyain ngapain gue ke sini?” Abizar tertawa meledek.

“Ya kali gue mau balap motor di kantin. Mau makan lah!” sarkasnya sembari mengacak pelan puncak kepala Liani yang dibalut kerudung. Gadis itu refleks menjauhkan kepalanya.

Abizar yang sadar sesuatu buru-buru menarik tangannya dari kepala Liani. “Maaf, Li.”

Liani tidak menjawab. Saat mereka masih duduk di bangku SD, hal yang barusan dilakukan oleh Abizar terkesan biasa saja, toh mereka masih anak-anak waktu itu. Tapi sekarang mereka sudah dewasa dan paham akan sebuah batasan-batasan.

Hening sejenak sebelum akhirnya Abizar bersuara. “Abizar.” Dia mengulurkan tangan pada Viani. “Temen Liani dari lahir.”

Viani sedikit kaget dengan fakta itu, tapi buru-buru menyambut uluran tangan pemuda yang mengajaknya berkenalan. “Viani.”

Abizar mengangguk pelan.

“Lo makan sendiri aja, nggak ngajakin gue, Li?” Abizar menatap Liani yang sibuk dengan bekal buatan ibunya di rumah.

“Kalau mau makan tinggal pesan, Zar. Repot banget, sih!” Liani berujar kesal tanpa menatap lawan bicaranya.




*****

Hai, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca Penantian Liani.
Salam hangat 😊

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang