Cemburu?

6 1 0
                                    

Abizar, Liani dan kedua orang tuanya duduk santai di ruang keluarga setelah makan malam selesai. Liani duduk lesehan di karpet bulu. Matanya fokus menatap layar laptop yang berisi tugas kuliah. Dia sesekali menatap buku tebal bahan referensi untuk makalah pertamanya.

Abizar memanjangkan kepala. Mengintip isi laptop Liani. Liani rajin sekali mengerjakan semua tugas-tugas kuliahnya. Sementara Abizar tampak santai dengan ponsel dan setoples makanan ringan yang disuguhkan di ruang keluarga Liani.

“Nggak capek ngerjain tugas terus, Li?” tanya Abizar sembari mengunyah makanan di mulutnya.

“Capek, tapi namanya juga tugas, ya harus diselesaikan.” Gadis itu menjawab tanpa menatap lawan bicaranya. Jemarinya gesit mengetik di keyboards laptop.

Abizar tidak lagi bersuara. Daripada harus mendapat ceramah singkat dari Liani, lebih baik diam.

Ayah dan ibu Liani asyik menonton siaran televisi. Sesekali mengobrol tentang beberapa hal. Abizar juga sesekali nimbrung dalam percakapan yang dikenalnya. Tapi lama-lama dia bosan juga.

“Beli pisang cokelat, yuk, Li!” ajak Abizar yang sudah berbaring di sofa. Menatap punggung Liani yang membelakanginya.

“Kamu aja yang beli.” Soal pisang, Liani cepat sekali bersuara.

“Yah. Enak di lo, nggak enak di gue dong!” Abizar merutuk.

Liani hanya mengendikkan bahu. “Ya udah kalau nggak mau.”

Tidak ada lagi yang bersuara. Hanya suara keyboards laptop dan suara siaran televisi yang memenuhi ruang keluarga.

Liani bangkit dari duduknya. Melemaskan tubuh yang terasa pegal. Dia menuju ke belakang. Entah hendak melakukan apa, mungkin pergi ke kamar kecil.

Abizar menatap ponsel Liani yang berdenting pelan. Sebuah pesan baru masuk. Awalnya dia tidak peduli, tapi saat tidak sengaja menangkap nama yang tertera di layar ponsel, rasa penasaran Abizar merayap ingin dituntaskan.

Abizar meraih ponsel milik Liani. Membuka pesan baru yang beberapa detik lalu mampir di sana. Abizar tahu kata sandi ponsel Liani. Dan sebaliknya, Liani juga tahu kata sandi ponselnya.

Assalamu’alaikum. Boleh aku bertanya sesuatu, Lia?

Kalimat singkat itu membuat raut wajah Abizar berubah. Tidak bisa dinafikan bahwa apapun yang berkaitan dengan perasaannya, dia menjadi sosok yang lemah. Abizar meletakkan kembali benda pipih itu setelah menatapnya lama.

Sepuluh menit kemudian Liani kembali dengan membawa minuman dingin. Meletakkannya di atas meja dan kembali duduk melipir di dekat sofa dan meja panjang kaca.

“Ada pesan dari Akbar tuh!” Abizar memberitahu malas-malasan. Memeluk bantal kecil yang ada di sofa.

Liani menoleh menatap pemuda itu. “Kamu buka hp aku?” Dia bertanya memastikan.

Abizar hanya mengangguk sebagai jawaban. Entah kenapa suasana hatinya cepat sekali rusak.

Liani mengembuskan napas pelan. Sejujurnya dia tidak terlalu suka jika Abizar membuka-buka ponsel miliknya. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Pemuda itu sudah dianggap sebagai anak sendiri di keluarganya.

Liani meraih ponselnya dan membaca pesan yang dimaksud Abizar. Pemuda berambut gondrong itu diam-diam mencuri pandang untuk menatap raut wajah Liani.
Tak ditemukannya apapun kecuali datar yang tak mampu dipahami dengan baik.

“Lo sering ketemu Akbar di kampus kita?”
Liani hanya mengangguk. Matanya sekarang fokus menatap layar ponsel yang berubah menjadi taman bunga kesukaannya.

“Gue belum pernah ketemu dia.”

Liani lagi-lagi hanya menggumam untuk menanggapi kalimat Abizar yang penuh anomali. Ada yang lebih mengasyikkan sekarang daripada memahami raut wajah Abizar yang menyimpan sesuatu bernama cemburu.

Abizar bicara tentang kuliahnya yang menyebalkan setelah mengatakan dia tak pernah bertemu Akbar dan serentetan kejadian yang sama sekali tidak menyentuh dasar telinga Liani.

“Lo dengerin gue nggak, Li?” Abizar bertanya sebal sembari bangkit dari rebahannya.

“Iya dengerin.”

Abizar mendengus sebal. Dia tahu kalimat barusan berseberangan dengan apa yang terjadi. Jelas-jelas Liani sibuk sekali menatap layar ponselnya. Mana mungkin dia mendengarkan dengan baik. Pemuda itu bangkit dan berjalan melewati Liani tanpa sepatah kata.

“Abizar pulang dulu, Bu, Yah.” Pemuda itu berpamitan dengan kedua orang tua Liani. Bersalaman dengan dua orang baik itu.

Abizar meninggalkan rumah Liani dan pulang ke rumahnya. Liani benar-benar tidak menyadari jika ada sesuatu yang terjadi dengan Abizar malam itu. Dia terlalu euphoria membalas pesan Akbar sampai tak sempat menatap wajah Abizar.

***


Liani menuruni anak tangga dengan senyum manis yang merekah indah. Percakapan hangat tadi malam serupa mimpi indah yang membuatnya terbangun dengan perasaan bahagia yang sempurna. Gadis itu duduk di kursi. Menghadap meja makan.

Ibunya sedang menyiapkan sarapan pagi. Tangannya cekatan sekali menyiapkan semua keperluan untuk pagi ini.

“Selamat pagi, Yah.” Dia menyapa ayahnya yang sudah duduk di sana sepuluh menit lalu.

Ayahnya tersenyum. “Selamat pagi, Nak.” Dia membelai lembut kepala anaknya.

“Selamat pagi, Ibu. Ibu hari ini cantik sekali.” Suara Liani terdengar riang.

“Wah. Pagi ini kamu terlihat riang sekali, Lia. Ada kabar baik apa?” Ibunya tertawa dan duduk setelah menyelesaikan kegiatannya menuang susu ke dalam gelas Liani.

Liani hanya tersenyum tanpa jawaban. Dia bahagia sekali pagi ini. Tidurnya nyenyak dan tanpa gangguan dari pikiran yang terkadang terlalu berlebihan.

Liani melirik kotak berwarna kuning cokelat di dekat mangkuk berisi buah. “Wah, itu pisang cokelat, Bu?” tanyanya memastikan dengan mata berbinar. Sepagi ini sudah melihat makanan favoritnya.

Ibunya mengangguk antusias dan mendekatkan kotak itu pada Liani. “Iya. Pagi-pagi sekali Abizar nganterin pisang cokelat buat kamu,” jelas ibunya.

Liani hanya mengangguk untuk menanggapi. Dia sudah membuka kotak dan menghirup aroma pisang cokelat yang amat disukainya. Melupakan menu sarapan pagi yang disiapkan oleh ibunya.

Liani menyantap pisang cokelat pemberian Abizar.

Ibunya menatap Liani bahagia. “Pisang cokelat nyebelin!” Dia mengerucutkan bibir.

Liani menyipitkan mata. “Kenapa, Bu?” Liani bertanya bingung. Sembari menatap wajah ibu dan ayahnya bergantian.

“Pisang cokelat itu membuat Lia tidak memakan masakan Ibu.”

Liani tertawa dan menyeka sisa cokelat di sudut bibirnya. “Ya Allah! Liani sampai lupa, Bu. Maaf, ya, Bu.” Gadis itu menatap hangat wajah ibunya.

“Nanti masakan Ibu Liani bawa ke kampus untuk bekal, deh. Jadi adil, kan? Pisang cokelat dari Abizar dimakan, sarapan dari Ibu juga tetap Liani makan.”

“Bisa aja kamu, Nak!” Ayahnya tertawa.


*****
Hai, terima kasih sudah membaca sampai sini:)

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang