Jalan Menuju Cinta

6 1 0
                                    

Dua hari lalu Liani berhasil menghindari ajakan Abizar untuk berangkat bareng ke kampus. Tapi hari ini dia tidak bisa menolak sama sekali. Pemuda itu sudah mengetuk pintu bahkan saat Liani masih berada di kamar mandi. Dia bertamu pagi-pagi buta untuk menemani ayah Liani menyeruput teh hijau tanpa gula di teras rumah.

“Besok lo masuk pagi atau siang?” tanya Abizar sembari menatap wajah Liani dari kaca spion dalam (rear vision mirror) yang terlihat datar. Sepertinya gadis itu hendak memaki-maki atas datangnya Abizar di pagi buta, tapi urung karena bukan sifatnya untuk melakukan hal demikian.

Liani berpikir sejenak. Menimbang apakah harus jujur atau tidak. “Pagi,” jawabnya jujur.

“Yah. Besok gue masuk siang. Nggak bisa berangkat bareng berarti.” Suara Abizar terdengar kecewa.

Berbanding terbalik dengan Abizar, raut wajah Liani berganti cerah sejenak. Itu kabar baik baginya. Berarti dia tidak harus berangkat bersama Abizar.

“Tapi kalau lo mau minta antar, bisa kok gue.”

“Nggak usah!” Liani menjawab cepat. Abizar tidak boleh mengacaukan banyak hal tentang niat baiknya.

Abizar yang sedikit kaget menyipitkan mata. Kembali mengintip lewat kaca spion dalam. "Biasa aja kali bilang nggaknya.”

Liani menyeka wajah cantiknya. “Aku bisa berangkat sendiri atau diantar Ayah. Jadi kamu nggak perlu repot-repot. Aku nggak enak sama kamu kalau apa-apa mau nebeng,” jelas Liani setenang mungkin.

“Nggak mungkin ngerepotin, Li. Lo udah kayak keluarga buat gue.” Abizar berujar tulus.

Tidak ada kebohongan apapun di sana. Baginya, Liani sudah seperti adik yang ingin dijaganya. Hanya ada satu kebohongan yang tidak pernah terlihat delapan tahun terakhir, sesuatu yang berada di dalam hati kecilnya.

Liani mengembuskan napas pelan. Soal itu dia tahu maksudnya, tapi apakah Abizar tidak mengetahui tentang batasan-batasan dalam agama yang dianutnya? Liani tidak tahu harus dari sudut mana untuk menjelaskan itu pada Abizar.

Pertemanan delapan tahun terakhir, ditambah pula kedua orang tua yang bersahabat baik sejak duduk di bangku sekolah, membuat hubungan mereka sulit untuk disekat. Bahkan jika itu adalah sekat yang seharusnya dilakukan, itu bukan perkara mudah. Liani paham betul posisinya.

Pergolakan yang ditimbulkan dari ketidakselarasan antara keinginan dan realita yang ada membuat Liani harus berdiri lebih kokoh. Bukankah jalan menuju cinta-Nya memang sulit?

***


“Kamu bareng sama siapa, Li?” tanya Viani penasaran. Mereka berdua berjalan bersisian di koridor gedung yang cukup ramai. Mahasiswa hilir mudik melintasi bangunan besar yang berada di timur kampus.

“Teman.” Liani menjawab tanpa menatap lawan bicaranya.

“Rumah aku sama dia deketan, makanya pergi bareng,” lanjut Liani sebelum Viani bertanya banyak hal yang tak ingin dijelaskannya.

Viani manggut-manggut. Gadis itu tersenyum ke beberapa mahasiswa yang berpapasan dengan mereka di selasar menuju kelas. Viani jelas adalah gadis yang humble dan mudah menemukan pergaulan. Ditambah lagi dia mendaftar menjadi salah satu anggota organisasi besar kampus.

“Ganteng juga, Li, tapi sayang rambutnya gondrong.”

Liani menoleh. Menatap raut wajah Viani yang sekarang nyengir lebar. Suasana kelas yang ramai menyambut mereka berdua. Aroma angin pagi yang membawa semangat baru.

“Aku nggak suka cowok rambut gondrong!” Viani tertawa. Liani hanya menatap sekilas
kemudian fokus mengeluarkan alat tulis dan beberapa buku dari dalam ransel.

“Li, kamu udah punya buku yang disuruh Pak Tomo?” tanya seorang pemuda dengan rambut hitam legam. Tubuh yang dibalut kemeja rapi dan celana bahan terlihat berwibawa. Dia adalah ketua kelas.

“Udah, Dim,” jawab Liani sembari menunjukkan buku tebal.

“Wah.” Raut wajah pemuda itu antusias.

“Kamu beli dimana, Li? Soalnya waktu aku cari di toko buku katanya lagi habis.”

“Oh ini aku pinjem dari temen aku, Dim.”

Liani tidak berbohong. Dia juga sempat mencari buku itu di beberapa toko buku yang ada di kota, tapi tidak menemukannya karena memang itu edisi langka. Dia juga mampir ke perpustakaan untuk meminjam, tapi stoknya hanya ada beberapa dan sudah terlebih dulu dipinjam oleh mahasiswa lain.

Liani teringat pada temannya yang punya banyak koleksi buku—lebih tepatnya ayahnya yang seorang dosen yang punya koleksi lengkap semua buku. Maka kemarin Liani memutuskan untuk berkunjung ke rumah temannya itu dan beruntung buku yang dicarinya ada di deretan lemari buku besar di rumahnya.

Pemuda bernama Dimas itu mengangguk mengerti. Menatap wajah cantik Liani yang sejak tadi tidak membalas kontak matanya. “Oke, Li.”

Liani hanya mengangguk sebagai jawaban.

Lima menit berlalu dan akhirnya dosen dengan perawakan tinggi besar masuk ke kelas membawa bahan ajar yang cukup banyak. Dia adalah dosen senior di kampus Liani menuntut ilmu.

Selama mata kuliah berlangsung, Liani fokus mendengar penjelasan dan aktif bertanya hal-hal yang kurang dipahaminya. Viani yang baru sadar bahwa teman barunya ini punya kecerdasan yang tidak bisa diremehkan sedikit terperangah.

“Mungkin itu saja yang bisa saya jelaskan, Pak.” Liani mengakhiri penjelasan dengan napas tenang.

Dosen laki-laki itu tersenyum takzim dan mengangguk. “Terima kasih Liani atas
penjelasannya.”

Liani mengangguk pelan.

“Berdasarkan apa yang sudah Liani jelaskan, adakah yang ingin memberikan tanggapan atau ide lain?” tanya dosen itu sembari berjalan-jalan di antara kursi-kursi mahasiswa.

Dua jam mata kuliah berjalan lancar. Tidak ada keributan apapun di kelas. Semua mahasiswa terlihat antusias meski ada beberapa yang terlihat mengantuk di kursi belakang. Mungkin begadang semalaman dan lupa kalau hari ini mata kuliah pagi sudah menunggu.

“Kamu pinter juga, Li.” Viani berkomentar saat mata kuliah selesai. Gadis dengan tubuh berisi itu berdiri dan meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal.

“Kamu juga punya potensi, kok,” balas Liani dengan senyum manis.

“Potensi nyari cogan-cogan kampus, Li!” Viani tertawa. Tawa yang membuat beberapa mahasiswa menatap ke arahnya. Dia salah tingkah dan mencicit bilang maaf.

Liani tertawa melihat tingkah gadis itu. Ternyata Viani punya selera humor yang cukup baik.

Mereka memutuskan untuk pergi ke kantin mengisi perut. Liani juga belum sempat sarapan di rumah tadi pagi.


*****
Hai, terima kasih sudah sampai di sini.
Salam hangat 😊


Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang