Liani menyandarkan punggung di kursi belajar miliknya. Ruangan yang didominasi warna biru muda itu terlihat rapi dan menguarkan wangi mint yang segar. Sepekan berlalu di kampus barunya. Tidak ada yang berat kecuali jalannya untuk tetap berada di jalur yang benar.
“Lia!”
“Iya, Bu?” sahut Lia saat suara ibunya memanggil.
“Kenapa belum makan malam?”
“Iya bentar lagi, Bu.”
“Jangan kelamaan, nanti makanannya keburu dingin. Nggak enak lagi, loh!”
“Iya, Bu.”
Liani mengembuskan napas pelan. Seharusnya dia makan malam bersama keluarganya beberapa jam lalu, tapi dia pulang kemalaman karena harus menemani Viani mencari kado untuk hadiah papanya yang akan berulang tahun besok.
Liani meraih buku di atas meja. Sudah separuh halaman diselesaikan, tapi Liani belum mengeksekusi apapun dari apa yang telah kepalanya dapatkan. Gadis itu sadar bahwa apapun yang dibacanya tidak akan menjadi sesuatu yang bermakna jika tidak direalisasikan dalam hidup.
Perjalanan hidupnya tiga tahun belakangan terlihat baik-baik saja. Sejak kecil sudah
dibesarkan dari keluarga yang memahami agama, meski tidak sempurna. Masih ada banyak hal yang ternyata, setelah dia dewasa dan membaca banyak buku, Liani menyadari bahwa beberapa hal masih ada yang keliru.Kedua orang tuanya masih mengizinkan Abizar untuk mengantar jemput dirinya, padahal mereka bukan mahram. Dia memaklumi bahwa Abizar adalah teman semasa kecilnya, tapi bukan berarti hal itu menjadi alasan untuk mengingkari apa yang Tuhan tetapkan.
Liani tidak pernah bilang soal ini, tapi terlalu naif jika dia tidak gundah dengan hatinya sepekan terakhir. Perasaan yang dulu pernah memorak-porandakan imannya.
“Lia!”
Liani menoleh ke arah jendela yang tertutup rapat. Siluet bayangan terlihat samar dari dalam kamarnya.
Liani bangkit dan menuju jendela. Dia tahu siapa yang telah mengetuk jendela malam-malam begini.
“Kenapa?” Liani menatap keluar jendela. Abizar berdiri di atas pohon mangga yang berada di sisi rumah. Menjulur tinggi hingga kamar Liani yang berada di lantai dua.
“Dengerin gue cerita, Li.” Abizar terlihat kusut dengan celana pendek dan kaos oblong berwarna gelap.
“Cerita apa?” Liani mengernyitkan dahi. Malas menanggapi. Gadis itu sama sekali tidak membuka jendela. Membiarkan sekat jendela untuk dirinya dan pemuda berambut gondrong itu.
“Banyak. Makanya turun.”
“Lagi banyak tugas, Zar.” Liani mencari alasan. Sejak dulu mendengarkan Abizar bercerita sudah menjadi hal yang lumrah, tapi sekarang kegiatan itu sudah tabu di pikirannya. Liani harus banyak-banyak mengarang alasan untuk menghindari Abizar.
“Sini gue kerjain tugasnya.” Abizar menengadahkan tangan. “Mau dikerjain sampai mampus nggak?” Pemuda itu tertawa.
Liani tidak membalas kalimat itu. Dia memilih menutup tirai jendela dan melambaikan tangan. “Besok aja, Zar. Udah malam juga,” tandas Liani tanpa basa-basi.
“Lia! Lia jangan ditutup dulu!” Abizar buru-buru mencegah dan beranjak dari sulur batang mangga yang sejak tadi menjadi tempatnya bertahta. Liani urung beranjak dan membiarkan Abizar bicara.
“Kenapa?”
“Lo jelek kaya wewe gombel! Wlek!” Abizar menjulurkan lidah dan memasang wajah absurd di hadapan Liani.
Liani hanya mendengus sebal dan mengabaikan Abizar. Pemuda itu memang sedikit gila jika penyakit gabutnya sudah kambuh. Liani tidak peduli lagi jika Abizar terus mengetuk jendela.
Nanti-nanti dia juga bosan sendiri dan akhirnya turun.
***
“Lo nggak pulang, Zar?” tanya Jefri yang duduk di sebelah Abizar. Rambut spike-nya sudah berganti warna menjadi auburn.“Tanggung, bentar lagi subuh.” Abizar meluruskan kaki. Menghisap batang rokok
terakhirnya. Pemuda itu menatap taburan bintang yang indah di langit temaram.“Lo mau salat subuh?” Jefri tertawa.
Abizar tidak menanggapi candaan temannya dan memilih diam. Dua tahun belakangan hidupnya berantakan. Hanya karena ada sosok istimewa itu saja dia masih hidup hingga sekarang.
Jika bukan karena sosok itu, mungkin dia sudah lenyap ditelan hiruk pikuk dunia dan kejamnya. Abizar tidak punya pilihan. Hanya soal waktu dia harus tetap menjalankan kedua hal yang tidak diinginkannya.
“Zar, Liani gimana?” Salah satu temannya bertanya. Tubuhnya sempoyongan. Mungkin sudah menghabiskan selusin minuman keras sepanjang malam. Hingga mengendalikan tubuh saja dia sudah sulit sekali. Jefri sampai harus menuntunnya untuk duduk di kursi panjang.
“Apanya yang gimana?” Abizar mendelik. Menyadari bahwa pertanyaan itu tidak seharusnya ditanyakan dalam perkumpulan mereka.
“Kabarnya. Lo beneran belum pernah nyobain tuh cewek?” Pemuda bertubuh tinggi jangkung dan potongan rambut pendek itu bertanya dengan kesadaran yang mulai hilang. Ngelantur.
Kalimat barusan seperti pemantik yang membuat ubun-ubun Abizar menggelegak. Mata sepekat malam itu menatap tajam. Setajam elang yang siap dengan buruannya.
“Apa maksud lo?!” Abizar bangkit dan mendesis marah. Kalimat itu jelas sudah merobek-robek perasaan yang selama ini dijaganya dengan baik.
Pemuda itu tertawa. Tawa yang menyatu dengan amarah Abizar yang sudah berada di puncaknya. Siap meledak kapan saja saat suluh itu dibakar.
“Bimo lagi mabuk, Zar. Nggak usah diladenin.” Jefri mencoba untuk menjadi penengah. Meskipun dia tahu betul aroma pertarungan sudah berada di depan matanya.
“Lo nunggu apa lagi, bego! Daripada diembat orang, mending lo yang duluan!” Suara Bimo antara terdengar dan tidak. Dia sudah bersandar di kursi panjang.
Tanpa banyak ba-bi-bu Abizar mengirim pukulan mentah tepat ke wajah Bimo yang tanpa perlawanan apapun. Pemuda itu sedang mabuk berat. Dia mengaduh tertahan saat Abizar menyeretnya ke teras yang mereka jadikan untuk tempat nongkrong.
Abizar dengan buas memukul tubuh Bimo yang tidak mampu memberikan perlawanan apapun. “Brengsek lo!”
“Berhenti, Zar! Bimo lagi mabuk, ogeb!” Jefri berusaha menarik tubuh gagah Abizar, percuma. Perawakan Jefri yang tidak terlalu besar membuat Abizar dengan mudah menepisnya hingga terjengkang di dekat kursi panjang.
Abizar terus memberikan pukulan-pukulan tajam pada sosok yang selama ini menjadi teman baiknya. Wajah Bimo dipenuhi dengan lebam yang membiru. Tidak ada yang bisa menghentikan singa yang tengah mengamuk. Jefri terlalu ringkih untuk menjadi pelerai atas kejadian di hadapannya.
Abizar tidak berhenti sampai suara azan berkumandang di surau yang tidak jauh dari markas mereka untuk berkumpul dan menghabiskan waktu semalaman suntuk.
Abizar menyeka keringat yang membasahi wajah dan menatap jijik tubuh Bimo yang dipenuh luka-luka. Dia meninggalkan Bimo dan Jefri yang sekarang sibuk membantu pemuda bertubuh jangkung itu untuk bangkit.
Tidak ada yang boleh merendahkan Liani, siapapun itu. Abizar sudah berjanji sejak dulu.
*****
Hai, terima kasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca Penantian Liani.
Salam hangat 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Liani
Novela Juvenil"Lia, kamu mau kemana? Aku tidak bohong soal gadis itu, dia hanya masa lalu. Apa yang kamu khawatirkan dari seseorang yang telah jauh tertinggal di hari dulu?" "Justru orang yang ada di masa lalu yang harus aku khawatirkan, Bay. Bukankah dia yang le...