Janji Abizar

3 1 0
                                    

Akbar
Lia, aku boleh main ke rumah kamu? Sekalian mau ketemu sama Abizar.

Liani buru-buru bangkit dari kasur empuk yang setengah jam lalu seolah menarik tubuhnya agar tak beranjak dari sana. Hujan di luar membuat Liani semakin terbuai untuk terus berada di dalam kamar.

Liani
Kapan mau ke sini, Bay?

Liani menekan tombol kirim dan menunggu tidak sabar. Sekarang baru pukul delapan pagi.

Liani tidak ada mata kuliah pagi ini. Dosennya hanya meminta untuk mengerjakan resume materi. Bisa dia kerjakan nanti-nanti saja.

Akbar
Eh, nanti, Ya. Kalau sekarang aku masih ada kuliah. Nanti aku kabarin lagi, ya.

Liani menelan ludah setelah membaca pesan balasan dari Akbar. Dia benar-benar antusias sampai-sampai bertanya sedemikian rupa. Apakah Akbar akan menyangka dia sangat mengharapkan kedatangannya?

Liani menutup wajahnya. Malu sendiri dengan keputusannya beberapa detik lalu.

Liani
Oke, Bay.

Liani mengetikkan balasan senormal mungkin. Semoga saja Akbar tidak mengira-ngira yang demikian. Liani bangkit dan memutuskan untuk mandi. Siang nanti dia harus tetap pergi ke kampus. Mata kuliah lain sudah menunggunya.

Ternyata dunia perkuliahan jauh sekali dari bayangannya ketika masih duduk di bangku SMA. Orang-orang bilang duduk di bangku kuliah itu menyenangkan dan santai. Tidak ada jam masuk yang repetitif, tapi tetap saja jam kuliah yang lebih longgar itu tidak bisa dilanggar begitu saja.

Liani meraih handuk dan meletakkan ponsel. Sebelum akhirnya jendela kamarnya diketuk tiga kali secara beruntun oleh seseorang yang Liani kenali.

“Kenapa?!” sahutnya dari dalam.

“Buka dulu, Li!” Seseorang berteriak dari luar jendela. Suara hujan memaksa mereka untuk berteriak mengalahkan suara hujan.

Liani berjalan malas menuju jendela kamarnya. Mengintip sebentar untuk memastikan jika dia tidak salah terka.

“Kenapa. Zar?” tanya Liani setelah membuka jendela kamar yang tersambung dengan balkon kamar yang menghadap rumah tetangga dan pohon mangganya.

“Pisang cokelat nih buat lo.” Abizar yang hanya menggunakan kaos hitam polos dan rambut gondrong yang diikat asal menyodorkan kotak berwarna kuning cokelat.

Liani tersenyum lebar sembari meraih kotak itu.

“Giliran pisang cokelat senyumnya lebar
banget!” Abizar berdecak. “Coba aja kalau gue mau cerita, suram banget tuh muka!”

Liani hanya nyengir lebar. “Makasih, Zar.”

Gadis itu menatap Abizar. Kantong mata pemuda itu terlihat menghitam. Sepertinya dia tidak tidur semalaman. Liani juga mengendus bau alkohol yang menyengat dari tubuh sahabatnya itu.

“Kamu minum-minum lagi, Zar?” tanya Liani menyelidiki.

Abizar menyentuh tengkuknya salah tingkah. Bagaimana cara mengatakannya? Dia menggeleng penuh kebohongan. Anak kecil juga akan tahu jika dia sedang berdusta.

“Nggak lucu, Zar!” ketus Liani. “Itu namanya nyiksa diri sendiri. Di dunia juga di akhirat!”

Liani memutar tubuh dan beranjak meninggalkan Abizar yang masih terpaku di balkon kamar yang tempias hujan. Rambut gondrongnya menyisakan bulir air saat dia memanjat batang mangga yang tinggi menjulur ke kamar Liani.

“Lia?” panggil Abizar menghentikan. Tapi Liani tidak menoleh sama sekali dan menutup jendela kamarnya.

Abizar mengembuskan napas pelan. Liani boleh marah padanya. Dia tahu dia salah. Dan hanya Liani yang membuat Abizar merasa bersalah setelah melakukan hal-hal yang selama ini dibenarkan oleh nuraninya yang hampir mati.


***


Liani tidak langsung masuk ke kamar mandi setelah meninggalkan Abizar sendiri di balkon kamarnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang. Menatap kotak pisang cokelat di atas meja dan mencoba menangkap siluet tubuh Abizar yang masih mematung di depan jendela kamarnya.

Liani tahu Abizar menyukai kebebasan sejak dulu, tapi pergaulan bebas yang sekarang menjerat Abizar tidak pernah Liani sangka. Dia tidak ingin pemuda itu terjebak sesuatu yang akan menyengsarakan Abizar.

Lebih dari apapun, Liani tetap peduli pada Abizar. Meski di dalam hatinya dia ingin menjauh dari pemuda itu sebagai tuntutan agamanya, Liani tidak benar-benar ingin melepaskan Abizar.

“Lia, maaf, Yak!” Suara yang menyatu dengan rintik hujan membuat Liani menoleh.

“Terakhir, deh. Itu untuk terakhir kalinya gue minum-minum!” Abizar kembali bersuara.

Liani tidak menanggapi.

“Lo nggak marah kan, Yak?” Abizar mengetuk jendela kaca.

“Gue janji nggak bakal minum lagi, Yak! Janji!”

“Laki-laki itu yang dipegang janjinya! Kalau kamu serius sama janji itu buktiin aja. Nggak usah banyak omong!” Akhirnya Liani menyahut juga.

Abizar mengulas senyum kecil di luar jendela. “Oke, Yak!”

“Tapi lo nggak marah, kan sama gue?” tanyanya sekali lagi. Memastikan jika dia akan tetap punya ruang di hati Liani. Abizar tidak ingin satu-satunya gadis yang dipercayainya kehilangan percaya padanya.

Liani tidak tahu apakah Abizar akan menepati janjinya atau tidak. Yang dia tahu, Abizar tidak pernah mengecewakannya selama ini. Meskipun pemuda itu terlihat bandel dan menyebalkan, tapi sejauh ini dia selalu menjadi sahabat yang selalu menepati janjinya.

Abizar pun juga demikian. Dia tidak tahu apakah dia akan benar-benar menepati janjinya sendiri atau tidak. Karena yang dia pahami dengan baik adalah; Liani selalu menginginkan yang terbaik untuknya. Liani tidak pernah memikirkan diri sendiri. Dan Abizar tidak mungkin mengecewakan sosok itu.

“Pisangnya jangan dihabisin, Li! Gue juga mau!” cetus Abizar di balkon kamar.

Liani tertawa mendengar kalimat itu dan beranjak menuju kamar mandi.

*****
Terima kasih sudah membaca, ya.
Salam hangat

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang