Sarapan Bersama?

7 1 0
                                        

Abizar mengempaskan tubuhnya di kursi makan. Menunggu Bi Ratna menyelesaikan kegiatannya menyiapkan makanan.

Pemuda itu mencepol rambut gondrongnya. Memperlihatkan lehernya yang maskulin dan tegas.

Dia tidak tahu apakah hari ini harus merasa bahagia atau malah biasa saja. Makanan di atas meja terlihat lebih banyak dari biasanya. Abizar menatap tangga yang menuju lantai dua.

Menunggu dua sosok yang entah kapan terakhir kali dia menatapnya lama. Hari ini mama dan papanya berkesempatan untuk sarapan pagi bersama di rumah. Abizar tidak akan melewatkan kesempatan emas ini. Dia persis seperti sedang menantikan orang paling penting untuk makan bersama mereka.

“Bibi masak rawon?” tanya Abizar ketika Bi Ratna meletakkan mangkuk besar berisi daging berbumbu dengan warna gelap yang menebarkan wangi khas kluwek.

Bi Ratna mengangguk antusias. “Iya, Mas. Bibi minta diajarin sama ibunya Mbak Liani. Nggak tau, sih bakal seenak masakan ibunya Lia atau nggak,” ujarnya sedikit khawatir.

Abizar mengibaskan tangan. “Ah, pasti enak lah, Bi!” Abizar membesarkan hati.

“Mas Abizar mah apa aja yang Bibi masak bilangnya enak.” Bi Ratna bicara sembari cekatan menuang air putih ke masing-masing gelas.

“Waktu itu waktu Bibi nggak sengaja masukin gula ke nasi goreng, Mas Abizar tetap bilang enak,” sambungnya yang diikuti dengan gelak.

Abizar tertawa mendengar kalimat itu. Teringat kejadian beberapa waktu lalu saat Bi Ratna baru pulang dari mengurus anaknya yang sakit dan langsung membuatkan Abizar nasi goreng, fokusnya malah hilang. Gula pasir disangka garam.

“Beneran enak, Bi. Inovasi baru dari Bi Ratna. Nasi goreng manis dengan cita rasa estetik!” seloroh Abizar renyah. Bi Ratna tertawa mendengar lelucon receh putra tunggal majikannya itu.

Abizar mengusap kepala. Kembali mendongak menatap tangga. Dua sosok itu belum juga muncul. Abizar sudah sepuluh menit di sana. Mengusir bosan dengan mengobrol bersama Bi Ratna.

“Mas Abi belum punya pacar, ya, Mas?” Bi Ratna menahan tawa setelah kalimat itu meluncur hati-hati.

Abizar menyipitkan mata menatap perempuan paruh baya yang khas dengan daster motif bunga-bunganya itu. “Kenapa nanya itu, Bi?” tanya Abizar penasaran.

Bi Ratna menarik napas pelan. “Ya, Mas Abi kan sudah kuliah. Umurnya juga udah gede, pokoknya bukan anak-anak lagi.” Dia mulai menjelaskan. Abizar mendengarkan dengan telaten.

“Masa, sih nggak cari cewek untuk dipacarin?” sambungnya dengan nada sedikit menggoda.

Abizar sejenak merenung sebelum akhirnya melempar tawa riang pada Bi Ratna. "Nggak penting pacaran, Bi. Mending single. Jadi bebas dan nggak ada tuntutan.”

“Kalau pacaran tuh ribet, Bi.” Abizar menarik piring miliknya.

“Atau jangan-jangan Mas Abi sedang menunggu Mbak Liani sampai waktunya tiba, ya?”

Kalimat itu membuat Abizar membulatkan mata. Kagetnya sampai ke ubun-ubun.

“Selamat pagi, Abi!”

Suara itu menginterupsi keterkejutan Abizar. Bi Ratna sudah menyingkir dari ruang makan setelah menyilakan tuan rumahnya untuk menyantap sarapan pagi.

Abizar buru-buru mengusap wajahnya yang seketika kebas. Kehadiran mama dan papanya sejenak membuat Abizar melupakan kalimat Bi Ratna yang membuatnya merasa berbeda.

“Pagi, Ma,” balas Abizar sembari menatap wajah mamanya yang segar dengan make up natural. Papanya menyusul duduk.

“Pagi, Bi!” Papanya menyapa cepat setelah duduk. Abizar menjawab pelan.

Papa dan Mama Abizar mulai menyantap sarapan masing-masing setelah saling menyapa sebentar. Abizar menatap kedua orang tuanya yang serba cepat. Bahkan sarapan saja sudah seperti mengerjakan ujian di waktu-waktu kritis.

Hening. Hanya suara sendok dan garpu yang berdenting mengenai piring yang menjadi percakapan pagi ini. Abizar menyesali keputusannya untuk turun lebih awal dan menunggu dengan perasaan antuasis. Ternyata sarapan pagi bersama keluarga tidak ada bedanya dengan dirinya yang sering makan solo di tempat yang sama.

“Kuliah bagaimana, Bi?” tanya papanya cepat.

“Apanya yang gimana?” sahut Abizar santai.

Papanya mengembuskan napas pelan dan menyeka wajahnya dengan tisu. “Kampus baru kamu. Apakah di sana menyenangkan?”

Abizar berpikir sejenak dan menjawab santai. “Biasa aja.”

Papanya menatap Abizar sejenak dengan tatapan datar kemudian tidak lagi bersuara. Abizar sama keras kepalanya dengan sosok itu. Ruangan itu kembali hening. Bukankah lebih baik begitu?

Mama Abizar tampak menatap dua sosok yang punya kemiripan signifikan. Abizar mewarisi rahang tegas papanya dan senyum indah mamanya. Meski demikian, Abizar jelas tidak mewarisi rasa lupa yang sekarang menjerat papanya.

***

Lima belas menit lalu mama dan papanya buru-buru berangkat ke kantor setelah menyelesaikan sarapan pagi yang seperti meja pengadilan. Abizar duduk di kursi yang berada di teras rumah. Pagar rendah Liani masih tertutup, tapi dia tahu gadis itu masih ada di sana.

Abizar menatap rumah minimalis milik keluarga Liani. Dulu rumahnya yang megah ini juga seminimalis itu. Ternyata hal-hal mewah tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Nyatanya Abizar lebih suka suasana rumahnya yang dulu daripada yang sekarang. Dia punya apapun, tapi tidak dengan waktu kedua orang tuanya.

Shit!” Abizar mengumpat. Ternyata duduk sendiri merenungi hidupnya di teras rumah ini membuat perasaannya melankolis sekali. Dia bangkit dan hendak masuk ke rumah, tapi urung karena mobil hitam mengkilap merapat di pagar depan rumahnya. Mobil yang lima belas menit lalu meninggalkan rumah sekarang kembali.

Abizar buru-buru mendekat dan menatap mamanya yang turun dengan tergesa-gesa.

“Kenapa, Ma?” tanya Abizar peduli. Bagaimana pun juga, perempuan itu adalah mamanya. Sosok yang telah melahirkannya ke dunia dan merawatnya hingga remaja.

“Berkas untuk meeting Papa ketinggalan di kamar, Abi,” jawab mamanya cepat. Dia mematri langkah hendak masuk, tapi Abizar mencegah.

“Biar Abi yang ambilin, Mama tunggu aja di sini.”

Mamanya tertegun untuk beberapa detik sembari menyaksikan langkah Abizar yang sudah berjalan cepat masuk ke rumahnya yang megah. Perempuan itu merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya. Bagaimana pun Abizar bersikap cuek dan terlihat tidak peduli, ternyata pemuda itu masih menghargainya.

Abizar membuka pintu kamar dan menuju salah satu meja yang penuh dengan berkas penting. Abizar tahu berkas mana yang harus diambilnya sesegera mungkin, tapi netranya tidak sengaja menangkap benda lain yang menarik perhatian. Sebuah buku diary yang menyembul dari laci meja.

Abizar mengedarkan pandangan sebentar sebelum meraih diary itu. Entah kenapa dia penasaran dengan sesuatu yang ada di sana. Itu pasti milik mamanya. Ternyata meski sibuk bekerja, mamanya masih menyempatkan menulis diary.

Tapi Abizar buru-buru memasukkan benda itu saat suara mamanya terdengar. Abizar
memutar tubuh dan mendapati mamanya ikut masuk ke kamar.

“Kenapa, Ma?” tanya Abizar cepat. “Ini berkasnya.” Dia menyerahkan berkas yang benar.

“Makasih, Abi. Mama juga harus ambil ini.” Mamanya meraih hard disk dari dalam laci.

“Oh.” Abizar manggut-manggut.

“Kalau gitu Mama berangkat, ya.” Perempuan itu menepuk pelan pundak Abizar dan segera berlalu.


*****
Hai, terima kasih ya sudah sampai di sini:)

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang