Tidak Ada Kebetulan

7 1 0
                                    

Kalimat mendadak itu membuat Abizar tersentak. Matanya membulat sempurna. “Abay?” Dia seolah tidak percaya.

Liani hanya mengangguk sebagai jawaban. Pikirannya masih terngiang atas pertemuan tadi siang. Sejak dulu dia percaya tidak ada yang namanya kebetulan. Berarti, pertemuan dengan Akbar adalah takdir Tuhan?

“Akbar maksud lo, Li?” Abizar masih mencoba mencari pembenaran.

“Iya. Akbar Kalandra. Teman SMA kita.” Liani mencoba untuk melenyapkan kejadian tadi siang.

“Di kampus kita?”

Liani lagi-lagi hanya mengangguk. Dia melanjutkan menggambar kaligrafi di kertas putih.

Mengabaikan Abizar yang sekarang sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang membuat Abizar terdiam seketika mendengar kabar itu. Yang jelas, dia punya sesuatu yang tidak ingin dibaginya dengan siapapun.

“Emang selama ini kalian nggak saling kontak lagi?” Liani bertanya tanpa mengalihkan pandangan.

“Nggak.”

Abizar menyandarkan punggung di sofa. Rambut gondrongnya sedikit berantakan. Pikirannya jauh berkelana menerka apa yang tengah ditakdirkan semesta untuk kisahnya.

Tidak ada percakapan setengah jam kemudian setelah ibu Liani mengantarkan minuman dan makanan ringan ke ruang keluarga.

“Besok bareng gue, yuk ke kampus.” Abizar bicara tiba-tiba.

Liani menoleh, menatap Abizar yang sekarang santai sembari menyeruput jus mangga yang dibuatkan oleh ibunya.

“Nggak mau,” ketus Liani.

“Kenapa?” Abizar mengernyitkan dahi. Bukankah dia bertanya baik-baik, lantas kenapa Liani ketus sekali menanggapi kalimatnya?

Liani tampak berpikir sejenak. Mencari jawaban paling aman untuk menjelaskan bahwa sebenarnya dia sudah tak ingin lagi bepergian bersama seseorang yang bukan mahramnya.

Meskipun Abizar adalah teman dekatnya sejak SMP. Semakin bertambah usia dan ilmu agama yang didapatkannya, Liani tahu betul jika pemandangan dua insan yang belum halal akan mengundang pikiran-pikiran buruk bahkan bisa sampai pada fitnah.

"Jam kuliah kita, kan nggak sama. Gimana mau bareng.”

“Emang besok lo masuk jam berapa?” Abizar memperhatikan Liani serius.

Liani berpikir sejenak. “Pagi.” Dia menjawab jujur.

“Sama. Gue juga pagi. Bareng aja,” pungkas Abizar tanpa peduli lagi pada interupsi Liani.

Dia bangkit membawa segelas jus mangga yang tersisa separuh. "Gue pulang. Nanti gelasnya gue kembaliin.”

Liani mendengus sebal. Semoga besok semesta punya cara lain untuk membuat dia tidak harus pergi bersama Abizar.

“Abizar pulang dulu, Bu. Makasih jus mangganya. Enak banget!” Abizar berseru pada ibu Liani yang berada di dapur. Dia segera pergi setelah mendengar balasan dari dapur.


***


Liani duduk bersandar di kursi belajarnya yang berada di kamar. Ruangan yang didominasi warna biru muda itu terlihat rapi dengan pigura-pigura berisi kaligrafi yang indah.

Liani mengangkat ponsel, sebuah panggilan masuk. Kinan.

“Halo. Wa'alaikummussalam, Kinan.” Liani tersenyum.

“Kamu apa kabar, Li?” tanya seseorang di seberang telepon. Suaranya bersemangat sekali.

“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar?”

“Baik juga, Li. Kampus kamu gimana?”

“Bagus. Sesuai dengan ekspektasi. Tapi, kan baru satu hari, jadi untuk sistem dan kegiatan di sana aku belum tau.” Liani menjawab antusias.

Kinan adalah teman baiknya semasa SMA. Mereka harus terpisah karena Kinan berkuliah di kota lain. Merantau. Katanya, sih ingin keluar dari zona nyaman. Belajar mandiri dan jauh dari orang tua. Liani memaklumi semua keputusan sahabatnya.

Mereka bicara banyak hal tentang kampus baru mereka. Kinan bercerita tentang kos barunya yang dipenuhi dengan manusia-manusia dari berbagai daerah dan itu menyenangkan. Tentang bangunan kampus, dosen dan juga kota baru tempat perantauannya.

Liani yang sejak dulu memang selalu suka mendengarkan terlihat antusias menanggapi. Daripada bercerita, dia lebih suka mendengarkan. Dan pertemuan dengan Kinan beberapa
tahun lalu melengkapi pertemanan mereka.

Kinan yang suka sekali bercerita dipertemukan dengan Liani yang dengan senang hati menjadi pendengar yang baik. Cocok sudah.

“Ngomong-ngomong Abizar apa kabar?” Suara di seberang telepon terdengar ragu-ragu. Kalimat itu seolah berat sekali untuk disampaikan.

Liani menelan ludah. Bukankah pertanyaan itu serupa luka yang harus dipeluk sendiri sakitnya? Berapa lama Kinan harus berdamai dengan kenyataan bahwa apa yang dia inginkan ternyata tidak menginginkannya juga.

“Abizar baik, kok.” Liani mencoba menjawab senormal yang bisa pita suaranya rangkaikan.

Hening. Tidak ada suara. Hanya hela napas berat yang memenuhi dua sisi telepon. Liani sungkan untuk memecah sunyi yang serupa malam suntuk tanpa bintang.

“Kinan?” Akhirnya Liani memanggil. Sudah cukup lama percakapan itu terkunci pada topik yang tidak menyenangkan.

“Iya, Li.” Kinan terdengar gelagapan. Suara yang masih menyimpan luka-luka berbebat itu ternyata tidak mudah hilang. Bagaimana pun waktu coba menghapusnya, jejak nyata itu akan tetap terlihat dalam beberapa kesempatan.

“Kantin di sana gimana, Nan? Makanannya enak-enak nggak?” Liani mencoba untuk mengalihkan percakapan.

Kinan menghela napas sebentar. "Enak, kok.”

“Li, sampaikan salam aku sama Abizar, ya.” Kinan mencoba untuk tersenyum, meski yang terlihat dari wajah tirusnya hanya getir.

“Iya. Nanti aku sampaikan ke Abizar,” jawab Liani cepat. Selain karena tidak ingin memperpanjang percakapan menyebalkan itu, Liani punya perasaan lain yang tidak bisa
dikendalikannya sekarang. Dua cabang keresahan itu bertemu di awal kuliahnya.


*****

Terima kasih sudah membaca hingga akhir. Semoga suka.
Salam hangat😊

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang