Keluarga (Kedua)

3 1 0
                                        

“Lia kenapa belum pulang, Bu? Udah sore banget.”

“Tadi dia bilang mau ke rumah temannya sebentar setelah pulang dari kampus. Makanya pulangnya agak lama,” jelas ibu Liani yang masih berdiri.

“Oh. Abizar nggak ke kampus hari ini, Bu.”

Perempuan itu menangkap lulut Abizar yang berbebat perban putih. Sama dengan suaminya, dia bertanya penasaran sekaligus khawatir. “Kaki kamu kenapa, Zar?”

“Jatuh, Bu.” Kali ini Abizar bisa lebih tenang menjawab pertanyaan itu. Lagipula jika bersama ibu Liani, sudah biasa. Dia menganggapnya seperti ibu sendiri.

“Aduh, tapi nggak serius, kan lukanya?”

Abizar menggeleng pelan. “Nggak, Bu. Cuma luka kecil. Santai lah.”

Pemuda itu melambaikan tangan. Bukan apa-apa baginya. Percakapan tentang luka itu tidak berlangsung lama. Ibu Liani harus masuk ke rumah karena harus membereskan rumahnya. Sudah pukul lima sore lewat. Matahari semakin rendah di puncak baskara.

“Assalamualaikum.” Liani tiba di rumah saat Abizar menyeruput teh hangat terakhirnya.

“Wa'alaikumussalam, Tuan Putri Liani!” Abizar bangkit dari posisi duduk dan membungkukkan tubuh seolah sedang menyambut seorang putri kerajaan.

Liani hanya mengembuskan napas pelan melihat tingkah Abizar. Dia melepas sepatu dan meletakkannya di dalam lemari kecil di sudut rumah.

“Ngapain di sini?” tanya Liani sangsi. Dia meletakkan ransel dan duduk sejenak di salah satu kursi yang kosong.

“Nungguin lo.”

“Buat apa?”

Abizar mengendikkan bahu. “Nunggu aja, emang nggak boleh?”

Liani tidak menjawab. Abizar sudah seperti keluarga sendiri. Sulit untuk membedakan
apakah dia hanya tetangga atau sudah masuk dalam kartu keluarga.

“Kenapa sore banget pulangnya?” Abizar kembali duduk dan meluruskan kaki. Pemuda itu diam-diam melirik wajah Liani yang menatap lurus ke depan.

“Ada keperluan bentar tadi.”

“Kamu nggak kuliah?” Liani menatap Abizar. Pemuda itu buru-buru mengalihkan pandangan saat tertangkap basah melirik wajah Liani sembunyi-sembunyi.

Liani juga spontan membuang muka saat sadar pemuda itu menatapnya dalam sekali. Liani mengusap wajahnya pelan.
Lima detik yang membuat dua insan itu salah tingkah.

“Nggak. Kaki gue sakit, nggak kuat ke kampus,” jawab Abizar setelah salah tingkah itu reda dari wajahnya yang dipenuhi gurat bahagia.

Liani menatap perban di lutut Abizar. “Dasar cemen!” ejeknya sembari bangkit dan meraih ransel.

“Apa maksud lo, Li?” Kalimat itu membuat Abizar mengernyitkan dahi dan sedikit sebal.

“Cuma luka dikit doang udah nggak mau ngampus. Malu sama rambut!” Liani melengos meninggalkan Abizar yang bertambah sebal karena Liani mengejeknya.

“Resek banget lo, Li!” seru Abizar sembari mengikuti langkah kaki Liani yang masuk ke rumah. Dia sedikit terpincang karena luka itu masih menyisakan perih.

Liani tidak peduli dan terus berjalan memasuki rumah. Bodoh amat jika pemuda itu sebal padanya.


***


Bi Ratna yang duduk di salah satu kursi yang berada di ruang makan cepat-cepat berdiri saat Abizar menuruni anak tangga. Pemuda itu sudah wangi sekali dengan pakaian santai miliknya. Dia terlihat semringah sembari menyeret kakinya yang terseok.

“Makan malamnya udah siap, Mas Abi.” Bi Ratna sudah berdiri dan memberitahu.

Abizar memasang wajah sedikit merasa bersalah. “Aduh, Abizar lupa bilang ke Bibi
seharusnya malam ini nggak usah masak,” ujarnya.

“Kenapa, Mas?” Bi Ratna bertanya bingung.

“Soalnya Abizar mau makan malam di rumah Lia, Bi.”

Perempuan paruh baya dengan pakaian khasnya itu terlihat kecewa. Masakannnya malam ini sudah pasti tidak akan disentuh oleh Abizar.

“Maaf, ya, Bi.” Abizar menatap Bi Ratna dengan senyum kikuk.

“Makanannya Bibi bawa aja pulang ke rumah. Untuk makan malam suami dan anak-anak Bibi.” Abizar menatap hidangan di atas meja makan yang menggugah selera, tapi tetap saja makanan di rumah Liani lebih menggoda.

Bi Ranti mengangguk pelan. “Oke, Mas.”

“Mama Papa ada ngabarin Bibi?” Abizar bertanya—raut wajah itu berubah seketika saat bertanya hal demikian.

Bi Ratna mengangguk pelan. “Tadi Ibu sama Bapak bilang pulangnya agak malam, Mas.”

Abizar hanya mengangguk cepat dan tidak peduli. Biasanya juga tidak pulang dan dia sudah biasa dengan hal itu. Bukan masalah baginya jika kedua orang tuanya tidak memberi kabar sama sekali. Dia hanya basa-basi saja bertanya barusan. Meski hati kecilnya tetap rindu.

Setelah percakapan itu selesai, Abizar pergi menuju rumah Liani yang hanya berjarak
sepelemparan batu dengan rumah megahnya yang dua tahu terakhir direnovasi besar-besaran. Membuat kontras dengan rumah-rumah lain yang berdiri di sana.

***


“Kalau nggak ambil organisasi yang nyenengin, Abizar bisa suntuk, Bu,” ungkap Abizar di sela-sela makan malam yang menyenangkan bersama keluarga Liani.

“Kamu nggak kepikiran untuk membuat band, Zar?” tanya ayah Liani. Dia menguyah makanan setelah bertanya. Menunggu Abizar selesai menghabiskan makanan di dalam mulut.

Abizar manggut-manggut dan menyesap air putih. “Pernah kepikiran, sih, Yah. Tapi belum ada anggotanya.”

“Teman-teman kamu yang satu hobi gimana?”

Abizar menggeleng. Teman-temannya yang hobi bermusik seperti dirinya lebih memilih menjadi musisi solo. Tidak berniat membentuk sebuah band. Makanya Abizar tidak pernah menyampaikan keinginannya itu.

“Beda prinsip, Yah.”

Liani dan ibunya hanya menyaksikan percakapan sembari sesekali menyahut atau mengangguk pelan mengiyakan. Ayah Liani dan Abizar memang suka mengobrol hangat tentang apapun.

“Lia ikut organisasi apa?” tanya ayahnya.

Liani diam kemudian menggeleng pelan. “Belum tau, Yah.”

“Kenapa? Ini sudah masuk minggu kedua, Li. Kamu harus memilih salah satu organisasi untuk mengasah skill kamu.”

“Iya, Yah nanti Liani pikirin lagi.” Gadis itu tidak banyak bicara di meja makan. Dia sedang tidak berselera. Banyak hal lain yang dipikirkannya seminggu terakhir.

“Benar kata Ayah, Li. Kalau nggak ikut organisasi, lo bisa jadi mahasiswa kupu-kupu. Kuliah pulang - kuliah pulang. Nolep!”

Liani mendengus sebal mendengar kalimat Abizar.

“Tapi Abizar benar, loh, Li. Kamu harus banyak menyibukkan diri saat di bangku kuliah.”

Ibunya ikut menimbrung. Mengaminkan kalimat Abizar barusan. Pemuda itu tersenyum penuh kemenangan menatap wajah Liani yang sebal.


****

Hai, terima kasih sudah sampai sini:)

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang