Pelarian!

5 1 0
                                    

"BRENGSEK!" Suara Abizar membahana dan dipenuhi kilatan amarah.

Beberapa remaja laki-laki tanggung dan seorang perempuan yang terpojok di dinding gang menoleh. Abizar berjalan mendekat. Matanya menyala, siap membakar siapa saja yang memantik apinya. Tanpa ba-bi-bu Abizar mengirim pukulan mentah ke salah satu wajah remaja yang paling dekat dengan jarak bogemnya.

Remaja dengan rambut spike itu berdebam terjatuh ke aspal kasar. Dia meringis pelan. Abizar sama sekali tidak memberikan waktu pada siapapun untuk menyerang duluan.

Sekarang dia menyasar tiga remaja laki-laki yang masih tersisa di dekat perempuan yang terpojok. Wajahnya ketakutan dengan rambut yang sedikit berantakan.

"Jangan ikut campur, anjing!" Salah satu remaja laki-laki itu menggeram.

Abizar tidak menjawab. Perkelahian di gang sempit itu akhirnya pecah. Suara pukulan dan ringisan terdengar memekakkan telinga. Abizar menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Saat matanya fokus meladeni salah satu remaja, matanya kurang awas saat remaja yang lain mengirim pukulan keras ke wajah.

Abizar menggeram penuh amarah. Empat remaja tanggung di hadapannya ini sudah persis seperti serangga pengganggu yang masuk ke lubang telinganya. Dia menatap tajam dan beringas melibas apapun yang ada di hadapannya sekarang.

Perempuan yang sekarang berdiri ketakutan di dekat arena perkelahian benar-benar bisa melihat murka di wajah Abizar.

Sepuluh menit yang penuh dengan darah. Empat remaja tanggung itu akhirnya jatuh terkapar dengan luka dan lebam memenuhi tubuh. Mereka bahu membahu untuk bangkit sembari diawasi oleh Abizar yang berdiri dengan napas menderu.

"PERGI!" Abizar mendesis menakutkan.

Empat remaja tanggung itu berlari tunggang langgang dengan kaki terseok. Salah satu remaja sempat bicara sebelum akhirnya menghilang di belokan. "AWAS LO, BANGSAT! URUSAN KITA BELUM SELESAI!"

Abizar tidak peduli sama sekali. Dia mendekati perempuan yang baru saja ditolongnya. "Lo gapapa?"

Perempuan itu menggeleng dengan wajah takut. Dia menyeka keringat yang membuat wajahnya basah. Rambut sebahunya yang berwarna cokelat terlihat berantakan. Rok mini dan baju minimalis yang membalut terlihat indah di tubuh rampingnya.

Abizar tidak punya pikiran apapun tentang perempuan yang ada di hadapannya. Dia hanya tidak suka setengah mati dengan laki-laki yang suka mengganggu atau melecehkan perempuan.

"Lo ngapain tengah malam di sini?" tanya Abizar sembari mengedarkan pandangan.

Perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Merasa risih sendiri dengan pakaian yang dikenakannya.

"Gue antar pulang."

Kalimat Abizar langsung dibalas gelengan kuat oleh perempuan itu. Dia menatap Abizar dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan dengan baik, bahkan oleh Abizar sendiri.

Perempuan itu memutar tubuh dan meninggalkan Abizar tanpa sepatah kata pun. Dia berlari dengan napas yang masih tersengal.

Abizar mengusap wajahnya pelan. "Gue baru aja bantuin lo, kali. Bilang makasih, kek!" dengusnya. Perempuan itu sudah hilang dari pandangannya.

***


"Lo kenapa lama banget, Zar?" Jefri menepuk pundak Abizar saat pemuda itu tiba di salah satu pusat hiburan malam di kotanya. Suara musik keras dan lampu warna-warni yang remang menjadi pembuka yang menyenangkan bagi penikmatnya.

"Ada urusan bentar," jawab Abizar singkat. Malas menjelaskan.

Pemuda dengan rambut berwarna auburn itu hanya mengangguk sekilas sebelum membawa tubuh Abizar pada salah satu sofa di sudut ruangan.

Tiga teman-teman Abizar sudah menunggu di sana. Bersama satu orang perempuan
berpakaian seadanya yang mendampingi Bimo. Abizar membuang muka saat menatap Bimo dan perempuannya.

Sejak kejadian beberapa waktu lalu di tempat nongkrong mereka, hubungan Abizar dan Bimo terbilang tidak baik-baik saja. Bimo belum secara resmi meminta maaf pada Abizar soal kejadian waktu itu.

"Hai, Bro!" Bimo menyapa terlebih dulu dengan senyumnya yang khas dan mengendalikan.

Abizar hanya melirik sekilas dan tidak menjawab. Pemuda itu mengeluarkan kotak rokok dan memantiknya pelan. Mulai menyesap gulungan itu dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

Bimo tampak menggeser tubuhnya ke arah Abizar. Sejenak meninggalkan perempuan yang sejak tadi bermanja di sisinya.

"Soal kejadian beberapa waktu lalu, gue minta maaf, ya, Zar."

Abizar masih bergeming. Jika mengingat kalimat Bimo tentang Liani waktu itu, darah Abizar mendidih tak terkira.

"Ya, lo tau waktu itu gue lagi mabuk, Zar. Gue nggak bermaksud apa-apa," jelas Bimo dengan wajah yang terus jumawa tanpa ada rasa bersalah. Bagaimana Abizar bisa percaya?

Bimo menepuk pelan pundak Abizar. "Lo nggak akan musuhin gue karena cewek itu, kan?" Kalimat itu bernada sumbang dari bibir Bimo yang terbiasa mengucap hal-hal demikian.

Seharusnya Abizar lebih dari kata paham, tapi perasaan yang ada di hatinya jelas telah mengubah banyak hal.

"Nggak lah!"

Itu bukan suara Abizar, melainkan Jefri. Pemuda itu tahu bahwa aroma perkelahian tercium semakin dekat jika dia tidak menengahi. "Abizar nggak mungkin musuhin teman-temannya," sambung Jefri menjelaskan dengan tenang dan tawa yang jelas sekali adalah tipuan.

"Lagian lo kenapa bahas masalah itu, sih, Bim?!" Jefri berbisik kasar pada pemuda bertubuh tinggi jangkung dengan potongan rambut pendek yang wajahnya tampak tanpa dosa.

"Mending lo diam dan nggak usah bahas masalah itu!" ancam Jefri tepat di telinga Bimo.

Pemuda itu mendengus kasar.

Jefri menuangkan wine pada gelas kecil berbahan kaca. Menyodorkannya pada Abizar.

"Nggak usah bahas apapun di sini, Zar. Kita senang-senang aja dulu."

Beruntung sekali kehadiran Jefri di antara mereka. Abizar sejenak melupakan luapan
emosinya yang bisa meledak kapan saja. Dia menenggak sampai habis gelas berisi wine miliknya. Melupakan sejenak kacau hatinya yang seminggu terakhir terus mengusik kepala.

Apa yang sekarang dilakukannya adalah sesuatu yang dia namakan pelarian atas segala rasa sakit yang belum menemukan obatnya. Ada banyak cara untuk berdamai dengan rasa sakit. Tapi Abizar memilih jalan yang hitam untuk membuat semuanya terasa melegakan.

Semoga waktu memberinya pemahaman bahwa sesungguhnya dia tidak pernah menang jika maksiat yang dia jalankan.



*****
Terima kasih sudah tiba di sini.
Salam hangat 😊

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang