Kemarahan, Kehilangan, Kasih Sayang

8 1 0
                                    

“Kamu nggak bilang kalau dia teman kamu dari lahir, Li.”

Viani membuka suara saat mereka melintasi koridor gedung yang tidak terlalu ramai. Mata kuliah hari ini selesai. Beberapa mahasiswa mempercepat langkah meninggalkan area kampus yang mendung. Awan hitam menggantung di langit. Udara dingin mulai menerpa kulit.

“Kamu nggak nanya.”

“Iya, juga sih. Tapi bisa kali kamu cerita ke aku kalau dia sahabat kamu.”

“Buat apa?” Liani menatap Viani.

“Buat bahan cerita aja biar asik!” Viani tertawa. Menampilkan lesung pipinya yang dalam.

Liani hanya tersenyum mendengar kalimat itu. Tidak banyak berkomentar. Di antara mereka berdua, Viani memang lebih suka bercerita dan banyak bicara. Berbanding terbalik dengan Liani yang lebih suka diam dan mendengarkan. Ya, setidaknya mereka saling melengkapi sebagai seorang teman.

“Akbar bilang kamu nggak jadi gabung BEM, Li.” Percakapan sudah pindah sesuka Viani. Dia memang gadis yang mudah bosan, tidak mau terlalu lama membahas satu topik.

Liani mengangguk.

“Kenapa? Padahal aku bakal seneng banget, Li kalau kamu ikut gabung. Jadi kita bisa barengan terus,” ungkap Viani.

“Ya, aku ngerasa BEM bukan dunia aku, Vi. Aku juga nggak pinter bersosialisasi.”

“Nggak bakat, lah pokoknya,” lanjut Liani.

“Bisa belajar, Li. Organisasi di kampus itu, ya tempatnya belajar. Kamu nggak harus bakat dulu baru bisa gabung ke sebuah organisasi, kamu cuma perlu berani mencoba dan mengeksplorasi diri kamu.”

Iya. Kalimat Viani benar, tapi tetap saja Liani tidak begitu tertarik untuk masuk organisasi BEM. Walaupun orang yang ingin ditemuinya setiap hari juga masuk organisasi itu.

Liani selalu mampu memprioritaskan apa yang menjadi keinginan hatinya. Dia tidak akan memilih suatu hal hanya karena dia ingin memenangkan perasaannya. Dia tahu bahwa perasaan itu besar dan nyata adanya, tapi dia tidak akan mengorbankan dirinya untuk hal itu.

Liani bisa saja bergabung masuk organisasi BEM kampus, dia akan sering bertemu dengan sosok yang dirindukannya dua tahun belakangan, tapi dia jelas akan membunuh karakter yang ada pada dirinya. Liani tidak ingin itu.

“Tapi, ya udah, Li kalau emang kamu nggak tertarik. Nggak papa. Namanya juga keputusan.”

Viani tersenyum dan menepuk pelan pundak Liani.

“Makasih, Vi.”

***


Riuh suara cymbal dan tom-tom yang menyatu apik sebagai keseluruhan drum memenuhi seisi kamar Abizar. Pemuda itu memainkan stik drum-nya dengan lincah. Sebagai sentuhan terakhir, suara hi-hats yang terang dan bersinar Abizar mainkan dengan penuh penghayatan.

Pemuda berambut gondrong itu melempar stik drum-nya ke sembarang arah. Beralih dari kursi drum dan menghempaskan tubuh ke atas kasur king size miliknya. Deras keringat membuat kaos putihnya basah dan menjeplak bagian tubuh.

Dia meraba nakas. Mencari ponselnya yang berdering keras memenuhi setiap sudut kamar.

Shit!” Abizar bangkit saat tak menemukan benda pipih itu.

Dia berjalan malas menuju sofa besar yang dekat dengan jendela. Meraih ponselnya cepat. Nama yang tercetak di layar ponsel membuat dengusan napasnya terdengar. Abizar menggeser layar ponsel dan meletakkan di telinga.

“Halo.”

“Kamu sudah di rumah, Abi?”

“Udah.” Abizar menjawab singkat.

“Jangan lupa makan, ya. Mama dan Papa tidak bisa pulang sampai lusa karena masih banyak pekerjaan yang harus diurus sesegera mungkin.”

“Hmm, iya.”

Sambungan telepon diputus secepat kilat. Abizar tidak mau mendengar basa-basi menyebalkan yang dua tahun terakhir sudah hapal setengah mati di dalam kepalanya. Apa pentingnya mendengar kalimat-kalimat itu dengan baik? Apakah orang tuanya akan kembali seperti dulu jika dia menjadi pendengar yang baik? Tidak!

Abizar melepas kaos putih basah yang membalut tubuh, melemparnya sembarang. Menggantinya dengan kaos lain yang wangi dan bersih dari dalam lemari. Meraih jaket kulit dan membawanya menuruni anak tangga.

“Selamat malam, Bi!” Abizar menyapa hangat.

“Selamat malam, Mas.”

“Mas Abi datang tepat waktu. Makan malamnya baru saja selesai. Bibi baru saja mau memanggil, tapi Mas sudah datang duluan,” ujar Bi Ratna hangat.

Abizar hanya tersenyum dan duduk di kursi. Mulai menyantap makan malamnya tanpa suara. Apa pula yang hendak disuarakannya? Bukankah semua hal sudah terlanjur menyakitkan? Bi Ratna juga tidak banyak bercerita seperti biasanya ketika menyadari wajah Abizar penuh dengan kecewa.

Lima belas menit yang hening dan menyiksa. Abizar bangkit dan bersalaman dengan Bi Ratna. “Abizar keluar, Bi.”

Bi Ratna sedikit kaget. “Mas Abi mau kemana lagi? Perasaan Bibi Mas baru aja pulang, udah mau keluar lagi?” tanyanya bingung.

Pasalnya Abizar belum lama di istana megahnya, paling satu jam di kamar sembari memukul drum, lalu setelah telepon masuk dari mamanya, dia menuju ruang makan dan menghabiskan makan malam. Sekarang sudah hendak pergi lagi?

“Urusan penting, Bi.” Abizar memasang wajah paling serius.

“Nggak bisa ditinggalin,” sambungnya dengan senyum jahil yang disimpan lewat netra sepekat langit temaram.

“Mendesak.” Abizar buru-buru meninggalkan ruang makan sebelum Bi Ratna minta dijelaskan padahal penjelasannya tidak pernah ada. Abizar hanya mengarang.


***


Abizar mengeratkan jaket kulit di tubuh kekarnya. Menatap rumah minimalis dengan taman bunga indah tepat di depan rumahnya. Lima detik. Abizar memacu mesin motornya pada kecepatan paling tinggi. Meninggalkan jalanan perumahan yang lengang kala malam tiba.

Abizar tahu hidupnya jauh lebih berantakan saat dua tahun lalu keluarganya mendapat tuah yang begitu hebat. Tapi dia tidak pernah membayangkan jika jalannya akan sehitam ini.

Sejak kedua orang tuanya sibuk bekerja entah demi apa. Abizar yang memang menyukai kebebasan akhirnya berubah menjadi sosok yang tidak pernah dikenali siapapun, kecuali oleh gadis itu.

Abizar menjelma pemuda yang bebas, sebebas-bebasnya. Dia mulai pergi ke klub malam untuk minum-minum sembari menghabiskan gulungan nikotin entah berapa kotak. Dia mulai tidak pulang saat malam tiba hanya untuk nongkrong bersama teman-temannya. Lalu terbetik kabar juga bahwa Abizar suka balap liar.

Dan kabar paling buruknya adalah, Abizar mulai meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Jangankan untuk mengingat bahwa keberadaan Tuhan itu nyata, salat saja Abizar sudah lupa. Jangan-jangan dia juga lupa bagaimana cara mengerjakannya.

Semua yang dilakukannya adalah kemarahan atas hilangnya waktu dan kasih sayang yang seharusnya diberikan oleh kedua orang tuanya.

Abizar melewati gang kecil di pusat kota tempat salah satu sasana hiburan malam berdiri dengan kokohnya meski sudah berkali-kali hendak dirobohkan oleh pihak yang menganggap tempat itu mengganggu. 

Mata hitam Abizar menangkap pemandangan yang tidak disukainya. Dia menepikan motor besar berwarna hitam.

“Jangan sok jual mahal cantik,” goda salah seorang remaja tanggung sembari membelai rambut seorang perempuan yang terpojok.

“BRENGSEK!” Suara Abizar membahana dan dipenuhi kilatan amarah.




*****
Terima kasih sudah tiba pada halaman terakhir bab ini.
Salam hangat 😊

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang