2. Sentuhan Pertama

1.5K 69 6
                                    

Tidak ingin menyaksikan hal yang River lakukan, Beatrix memejamkan mata rapat-rapat. Pria itu tengah menjamah setiap jengkal tubuhnya. Sepertinya, tidak ada bagian yang tidak River sentuh. Gaun yang Beatrix kenakan pun sudah tanggal tanpa sisa.

Namun, sebuah kesadaran tiba-tiba memenuhi benak Beatrix bahwa dia akan segera kehilangan sesuatu yang berharga. Dia tidak bisa terus diam saja tanpa melawan dan membiarkan pria ini merenggut kehormatannya dengan paksa. Ketika bibir River tengah mencumbui titik sensitifnya, Beatrix memberanikan diri untuk membuka mata. 

Bahu bidang pria itu membuat Beatrix tidak yakin akan mampu mendorongnya, tetapi dia sudah bertekad. Dalam satu gerakan cepat, Beatrix mengangkat kepala dan menggigit bahu River, kemudian mendorong tubuh pria itu kuat-kuat. Dia tercengang ketika mendapati River terjungkal akibat dorongannya.

Kesempatan itu segera Beatrix pergunakan untuk menjauh dari River. Sayangnya, hanya beberapa detik saja Beatrix bebas karena River berhasil mengejar dan memojokkannya ke dinding.

"Keberanianmu patut dipuji," ujar River dengan senyum mengejek. River mengungkung tubuh Beatrix dengan kedua tangannya yang kekar.

"Tolong biarkan aku pergi. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku," ujar Beatrix mengiba.

"Kamu lupa kalau tempat ini milikku?" tanya River seraya mendekatkan wajah, membuat Beatrix merapatkan punggungnya kuat-kuat ke dinding. "Tidak akan ada orang yang berani mempertanyakan perihal kamu yang tidak kunjung meninggalkan tempatku." 

"Atasanku mungkin akan mengira aku melalaikan tugas."

"Kalau aku mengatakan kepada atasanmu bahwa aku menginginkanmu, dia tidak akan berani berbuat apa-apa." River meraih pinggang Beatrix dengan kuat dan membuat tubuh mereka menempel erat. Dia melumat bibir Beatrix dengan cepat dan kasar. "Itu artinya, kamu akan tetap di sini bersamaku sampai aku yang mengizinkanmu pergi."

"Apa kamu selalu melakukan hal seperti ini kepada pegawai perempuan lainnya?" tanya Beatrix putus asa. Dia benar-benar tidak melihat jalan keluar dari situasi ini.

"Kamu yang pertama." River mencengkeram kedua belah tangan Beatrix dan menahannya di atas kepala gadis itu. Dengan gerakan cepat, dia menarik pakaian dalam Beatrix yang masih tersisa. "Biasanya mereka yang menyodorkan diri, tapi kali ini aku yang menjatuhkan pilihan."

Tatapan tajam River seakan-akan mampu membunuhnya dan membuat Beatrix sesak. Dia berusaha menunduk agar mereka tidak perlu terus bertatapan.

Tiba-tiba saja River mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan. Saat itu Beatrix merasakan pegangan River di tangannya sedikit mengendur. Tentu saja kesempatan itu tidak Beatrix sia-siakan. Dia kembali mendorong River dan berlari lebih kuat.

Pintu adalah tempat pertama yang terpikir oleh Beatrix. Dia tidak peduli jika harus kabur tanpa mengenakan pakaian. Matanya menatap nanar ketika menyadari pintu itu terkunci.

River mendekat sambil memandang Beatrix dengan tatapan mengejek. "Apa kamu pikir bisa melarikan diri?"

Beatrix tahu dirinya tersudut. Dia segera mengedarkan pandangan, mencoba mencari celah untuk melarikan diri atau setidaknya tempat bersembunyi. Dia melihat pintu menuju balkon terbuka. Beatrix segera berlari ke sana, tidak peduli dengan fakta bahwa griya tawang ini berada di lantai tertinggi. Bagi Beatrix, lebih baik dia mati sekalian daripada harus ternoda di tangan River.

River terkejut melihat Beatrix memanjat pagar balkon. Dia tidak mengira gadis itu akan berani bertindak senekat ini. River segera mengejar Beatrix, tetapi terlambat. Beatrix sudah melompat ke luar. Dia merambat di atas pijakan sempit pada sisi luar balkon.

"Hei, kamu bisa jatuh!" seru River sambil mengulurkan tangan untuk meraih Beatrix.

Beatrix berusaha menghindar dari jangkauan River. Dia tidak memperhatikan pijakannya dengan benar karena terlalu gugup. Beatrix tergelincir dan tubuhnya hampir meluncur jika River terlambat menyambar tangannya.

"Bodoh! Apa yang kamu pikirkan?" hardik River. 

River mencengkeram lengan Beatrix kuat-kuat dan berusaha menariknya ke atas. Perlahan dia berhasil membawa tubuh Beatrix kembali ke balkon, kemudian menyeret gadis itu masuk. 

"Lepaskan aku ... aku mohon!" Beatrix tidak peduli lagi meski kini harus memohon-mohon.

"Diamlah!" River membanting tubuh Beatrix ke atas sofa, lalu kembali menindihnya.

Namun, bukan menjamah Beatrix, River malah menyalakan televisi. Tidak lama berselang, layar televisi menampilkan sebuah rekaman kamera pengawas dari sebuah salon. River mencengkeram dagu Beatrix dan memaksa gadis itu melihat ke arah televisi. 

Beatrix terbelalak ngeri ketika mengenali tempat itu adalah salon milik Amadea.

"Apa kamu lebih memilih menyaksikan kakakmu melayani para pengawalku?" tanya River kejam. "Aku akan mengabulkannya dengan senang hati."

"Jangan lakukan!" Beatrix menjerit ketakutan melihat para lelaki berbadan kekar mengelilingi kakaknya. "Jangan ganggu kakakku."

"Aku akan melepaskannya kalau kamu menuruti semua perintahku," ujar River dingin.

Beatrix tidak sanggup membuat pilihan.

Kesal menunggu jawaban Beatrix, River kembali melakukan panggilan telepon. "Kalian bisa mulai menikmatinya."

Seketika itu juga Beatrix melihat dua orang lelaki mulai memegangi tubuh Amadea.

"Jangan ... jangan lakukan ... aku mohon!" Beatrix menyerah. Dia menggertakkan gigi seraya mengepalkan tangan kuat-kuat. "Aku akan melakukannya."

"Bagus! Seharusnya ini yang kamu lakukan sejak awal." River tersenyum puas. Dia bangkit dari atas tubuh Beatrix, mengangkat gadis itu, lalu memindahkannya ke kamar. "Kamu harus tahu kalau kamu tidak akan pernah menang melawanku."

Demi kakaknya, Beatrix akan diam. Dia tidak melawan lagi dan menerima dengan pasrah semua yang River lakukan. Dunia Beatrix runtuh ketika River merampas miliknya yang berharga. Dia sudah kalah dan tidak memiliki keinginan lagi untuk melawan. Semuanya sudah terlambat. Beatrix menggigit bibirnya kuat-kuat agar dia tidak menitikkan air mata, tetapi hatinya menangis.   

"Berhenti menggigiti bibirmu." River mengusap bibir Beatrix yang berdarah. "Buka matamu dan tatap aku."      

Perlahan Beatrix membuka mata. Sekuat tenaga dia menahan agar air matanya tidak mengalir, tetapi gagal. 

"Ternyata kamu tidak murahan seperti kakakmu," bisik River di telinga Beatrix ketika dia mencapai pelepasannya. Setelah itu, dia meninggalkan Beatrix begitu saja, lalu menuju ke kamar mandi.

Sepeninggal River, Beatrix terus meringkuk di tempat tidur. Hati dan raga Beatrix seolah-olah mati rasa. Dia begitu terpukul karena merasa dirinya sangat hina dan kotor.

Ketika River keluar dari kamar mandi, dia melihat Beatrix meringkuk memeluk dirinya di atas tempat tidur. Dia memandangi gadis itu cukup lama dan ada rasa dendam yang sedikit terbayarkan menyaksikan gadis itu tampak hancur.

"Aku tidak tahu bagaimana caranya kamu bertahan selama ini tanpa terpengaruh oleh kebusukan kakakmu," ujar River seraya mendekat ke tempat tidur.

Beatrix sama sekali tidak berminat menanggapi ucapan River.

"Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu." River duduk di sisi tempat tidur dan berkata dengan dingin, "Aku yang pertama menyentuhmu dan aku tidak mengizinkan pria lain melakukannya selama aku masih menginginkanmu. Mulai hari ini, kamu adalah wanitaku. "

Beatrix sama sekali tidak peduli dengan ucapan River.

"Kamu tidak perlu lagi bekerja sebagai pegawai hotel, tapi kamu akan melayaniku sepanjang waktu."

"Bagaimana jika aku menolak?" gumam Beatrix dengan tatapan kosong.

"Kamu tahu apa yang dapat aku lakukan kepada kakakmu," sahut River tenang.

Beatrix terdiam. Dia tahu River mampu melakukan hal yang menakutkan kepada Amadea jika dia tidak menuruti keinginan pria itu. 

"Sampai berapa lama?" tanya Beatrix hampa.

"Sampai aku bosan bermain-main denganmu."

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang