29. Perasaan yang Menjadi Beban

460 32 1
                                    

Pemuda itu masih saja diam dan membuat Beatrix makin ketakutan. Dia melarikan jemarinya ke depan hidung pemuda itu dan merasakan embusan angin di sana. Beatrix sedikit lega karena pemuda itu masih hidup. Namun, sekarang dia harus segera pulang karena sudah terlalu lama menghabiskan waktu di sini. Para pelayan di rumahnya mungkin akan curiga jika Beatrix tidak segera pulang. Meski begitu, dia berjanji dalam hati jika esok akan kembali untuk memeriksa keadaan pemuda ini.

Keesokan harinya, Beatrix memutuskan untuk mengunjungi pondok itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia menyeludupkan jatah sarapannya ke dalam tas untuk diberikan kepada pemuda itu.

Beatrix mengintip ke dalam pondok dan melihat pemuda itu masih terbaring di sofa dengan posisi yang sama seperti saat ditinggalkannya kemarin sore. Rasa panik langsung mengyerang Beatrix. Dia berlari ke arah pemuda itu dan mengguncangnya. 

"Hei! Kamu tidak mati, ‘kan?" seru Beatrix ketakutan. “Ayo, bangunlah!”

"Aku masih hidup," gumam pemuda itu.

"Syukurlah!" desah Beatrix lega.

Pemuda itu menoleh dan memandangi Beatrix. "Untuk apa kamu datang lagi?"

"Tentu saja karena aku mengkhawatirkan kamu." Beatrix duduk di lantai, kemudian mengeluarkan isi tasnya. "Aku membawakan makanan untukmu. Ayo, makan!"

"Dari mana kamu mendapatkan makanan ini?" tanya pemuda itu curiga.

"Dari rumahku," jawab Beatrix dengan wajah lugu.

"Kamu mengatakan kepada orang rumahmu tentang aku?" Suara pemuda itu berubah kaku.

"Tidak."

"Lalu bagaimana kamu bisa membawakan makanan untukku?"

Beatrix tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya. "Ini bagianku. Aku mengatakan kalau aku belum lapar dan akan menghabiskannya di sekolah nanti." 

"Dasar bodoh!" Pemuda itu tersenyum melihat keluguan Beatrix. "Kamu tidak seharusnya berbohong untukku. Aku tidak membutuhkan makanan itu."

"Kamu harus makan agar cepat sembuh. Ayo, buka mulutmu! Biar aku suapi. Kamu pasti belum bisa duduk."

Pemuda itu menerima juga makanan yang Beatrix paksakan masuk ke dalam mulutnya. "Kamu tidak berangkat ke sekolah?"

Beatrix mengangkat bahu tidak peduli. "Membolos sekali tidak akan jadi masalah." 

"Gadis kecil yang nakal," gumam pemuda itu.

Beatrix terus menemani sampai sore dan kembali melakukan hal itu keesokan harinya. Namun, di hari berikutnya Beatrix merasa kecewa ketika mendapati pondok itu sudah dihancurkan. Sampai hari ini, dia tidak pernah lagi bertemu dengan pemuda itu.

"Apakah kamu pemuda yang aku tolong saat itu?" tanya Beatrix tidak percaya.

"Hm." River mengangguk sambil memindahkan lengan ke bawah kepala Beatrix dan membawa wanita itu dalam pelukannya.

"Astaga, padahal aku pikir pemuda itu sudah meninggal,” desah Beatrix senang bercampur lega. “Kenapa kamu menghilang saat itu? Aku begitu sedih memikirkan keadaan pemuda itu selama berminggu-minggu." 

River hanya tersenyum mendengar ucapan Beatrix.

"Maukah kamu menceritakan kepadaku apa yang terjadi saat itu? Siapa yang menyerangmu?" Begitu banyak hal yang ingin dia ketahui mengenai kehidupan River. Pria yang dicintainya ini memiliki kehidupan yang sangat mengerikan. Beatrix harus mulai membiasakan diri menghadapi kenyataan mengerikan yang datang kapan saja dan menjadikan hal itu bagian dari kehidupannya juga.

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang