9. Peraturan di Luar Nalar

572 47 2
                                    

Waktu menunjukkan pukul empat dini hari dan hati Beatrix kebat-kebit. Jujur saja dia ragu antara harus kembali ke griya tawang milik River saat ini juga, atau menunggu sampai siang saja dan berpura-pura jika dirinya mengambil giliran malam. Namun, seketika itu juga Beatrix teringat jika kini dirinya bekerja di tim manajemen yang jam kerjanya normal, tidak ada giliran malam seperti dahulu.

Akhirnya, terpaksa Beatrix menuju griya tawang River dan berharap pria itu tidak menyadari jika dirinya baru kembali.

"Dari mana saja kamu?" Suara berat dan menakutkan itu terdengar begitu Beatrix membuka pintu griya tawang. River tampak duduk dengan tenang di depan televisi, tetapi wajahnya menunjukkan raut marah.

Harapan Beatrix sirna seketika. 

"Maaf." Hanya itu jawaban yang mampu Beatrix ucapkan. Dia berharap River tidak akan memperpanjang masalah ini. Kaki Beatrix sudah bersiap hendak segera menuju kamar ketika dia melihat River berdiri dan menghampirinya. Tubuhnya membeku seketika. Nyali Beatrix ciut setiap kali berhadapan dengan River.

Dalam sekejap, River sudah berdiri di hadapan Beatrix. Dia mencengkeram lengan Beatrix, lalu menyeret wanita itu ke kamar. River membuka pintu dengan kasar, lalu mendorong Beatrix masuk. Pintu menutup di belakang River dan pria itu memaksa Beatrix berbalik menghadapnya. "Aku tidak peduli dengan permintaan maaf, yang aku ingin tahu kamu dari mana?"

Beatrix terlihat ragu, tetapi akhirnya dia memilih memberikan jawaban jujur. Dia takut River bisa mengetahui jika dia berbohong dan membuat pria itu kian murka. "Aku hanya menghabiskan waktu bersama rekan-rekan lamaku. Mereka mengadakan pesta perpisahan untuk salah satu di antara kami yang akan berhenti bekerja."

River tersenyum sinis. Dia melangkah maju dan membuat Beatrix terus mundur. Wanita itu terpojok hingga kakinya menyentuh tepi tempat tidur. "Apa kamu tidak sadar posisimu saat ini?"

"Sudah kukatakan aku minta maaf.” Beatrix sebenarnya sudah menolak. Dia enggan ikut ke acara itu karena takut River akan marah. Namun, penolakannya membuat mereka kecewa. 

Sempat terucap dari rekan-rekannya jika kini Beatrix berubah sejak hidup bersama River, wanita itu tidak mau lagi bergaul dengan mereka. Oleh karena itu, Beatrix memberanikan diri untuk tetap ikut. Pikirnya tidak akan terlalu lama. Dia tidak menyangka jika akan sampai subuh begini.

“Justin itu kekasihmu, bukan?" tanya River penuh curiga.

"Bukan!" Beatrix menggeleng panik. Dia juga terkejut bukan main karena River bahkan sampai tahu tentang Justin, rekan lamanya yang akan berhenti.

"Jangan bohongi aku! Aku tahu semua tentang kamu." River mencengkeram pipi Beatrix dan mendekatkan wajahnya hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan.

"Dia memang bukan kekasihku," ujar Beatrix lirih. Entah keajaiban apa yang akan membuat River memercayai ucapannya.

"Dia mungkin bukan kekasihmu, tapi dia sudah lama menaruh hati kepadamu.” River tersenyum mengejek, lalu menambahkan, “Dan aku rasa kamu juga menyukainya, bukan?" 

Beatrix tidak bisa membantah karena nyatanya dia memang memendam perasaan untuk Justin. Sayangnya, pemuda itu tidak kunjung menyatakan perasaan. 

"Apa sekarang perasaanku juga menjadi urusanmu?" tanya Beatrix lirih.

"Kamu milikku!" desis River gusar. "Kamu dengar itu? Kamu milikku dan aku tidak suka berbagi barang kepunyaanku dengan orang lain!"

"Aku bukan barang!" seru Beatrix tidak terima. Dia meronta, mencoba melepaskan diri dari River yang masih menindihnya. Dalam posisi seperti ini, Beatrix sama sekali tidak berkutik.

"Seperti itulah aku menganggapmu," ujar River dingin. "Sekarang katakan kepadaku, apa saja yang pernah kalian lakukan?"

"Kami tidak pernah melakukan apa-apa." Beatrix mulai gemetar. Perpaduan antara rasa takut, lelah, dan sesak akibat berat tubuh River yang menindihnya.

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang