19. Selalu Penuh Prasangka

499 49 1
                                    

"Apa?" balas River tidak mengerti, heran dengan kemarahan Beatrix yang tiba-tiba.

"Jangan berpura-pura tidak tahu! Aku tahu semua ini ulahmu. Kamu yang membakar salon kakakku dengan sengaja, ‘kan?" tuduh Beatrix.

"Jangan melantur, Beatrix. Untuk apa aku melakukannya?" balas River heran.

"Tentu saja untuk menghukumku!” jerit Beatrix geram. “Kamu menghukumku karena aku berani membohongimu dan menemui kakakku minggu lalu. Itu adalah hal yang selalu kamu ucapkan. Kamu akan melakukan sesuatu yang jahat kepada kakakku jika aku berani melanggar aturanmu. Begitu, bukan?"

"Aku tidak melakukannya," bantah River sembari mengeraskan rahang.

"Jangan bohongi aku!" Jeritan Beatrix terdengar kian lantang. Dia kesal melihat ketenangan River dan wajah tanpa rasa bersalahnya. "Aku tahu kamu begitu membenci kami dan aku bisa paham, bahkan aku merasa bersalah setelah mengetahui alasanmu membenci kami, tapi apa harus seperti ini? Apa harus dengan cara sekejam ini kamu membalas kami? Kamu benar-benar tidak punya hati!"

"Sudah kukatakan aku tidak melakukannya, Beatrix!" River mencengkeram bahu Beatrix yang mulai tidak terkendali. "Kalau pun ada yang sengaja melakukannya, itu bukan aku."

"Kamu pikir aku percaya?” balas Beatrix sambil tersenyum sumbang. “Memangnya siapa lagi orang yang sedemikian membenci kami jika bukan dirimu!"

"Terserah jika kamu tetap tidak percaya, tapi coba pikirkan sendiri!” River mendekatkan wajahnya dan berbicara pelan-pelan, “Jika aku yang melakukannya, untuk apa aku langsung menolong kakakmu saat mengetahui tempatnya terbakar?”

“Kamu menolongnya …,” bisik Beatrix kebingungan. Sampai saat ini, dia memang belum diberi tahu soal aksi penyelamatan yang River dan Arlo lakukan untuk Amadea dan para pegawainya. Otaknya yang kusut pun tidak bisa memikirkan kemungkinan itu ketika River memerintahkannya pulang dan menunggu di griya tawang.

“Untuk apa aku membawanya ke sini dan mengizinkanmu menemuinya?” ujar River lagi. “Kalau memang aku yang melakukannya, maka akan kubiarkan kakakmu terpanggang sampai habis di salonnya. Pikirkan itu baik-baik!"

Setelah mengatakan itu, River berbalik meninggalkan Beatrix sendiri. Dia memilih meninggalkan wanita itu sebelum emosinya ikut terpancing. Entah mengapa dia begitu marah ketika mendapati Beatrix menuduhnya. Hati River tidak terima saat Beatrix menuduh dan tidak memercayainya. Biasanya River tidak pernah peduli dengan anggapan orang lain mengenai dirinya. Meski orang lain menghujatnya sebagai jelmaan iblis, dia tidak pernah merasa terganggu. Namun, sekarang hanya karena Beatrix mengatakan dirinya kejam, River bisa merasa sedemikian terganggu.

***

"Dia sudah pergi?" tanya River kepada Belinda di meja makan pagi itu.

"Belum, Tuan. Sepertinya Nona Beatrix belum bangun."

"Tidak biasanya," gumam River. Dia heran mendapati Beatrix belum pergi, padahal dikiranya wanita itu akan kembali ke rumah sakit sepagi mungkin.

"Anda ingin saya membangunkan Nona Beatrix?"

Sejak semalam, River merasa ada yang tidak beres dengan Beatrix. Beberapa hari terakhir ini memang sangat melelahkan bagi wanita itu karena terus menunggui kakaknya di rumah sakit. Belum lagi ditambah dengan beban pikiran yang menyebabkan emosinya menjadi tidak stabil. Semua itu membuat kondisi fisik Beatrix benar-benar melemah. Oleh karena itu, River memutuskan untuk memaksa Beatrix pulang dan mengirim pelayan untuk menggantikan wanita itu menemani Amadea di rumah sakit.

 "Tidak perlu, biarkan saja. Dia butuh istirahat." River sendiri tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Entah mengapa dia harus menolong wanita yang sudah menghancurkan kehidupan ibunya sendiri, bahkan sekarang memedulikan adik dari wanita itu. Entah mengapa dia bisa mengizinkan Beatrix menemani Amadea, bahkan sampai repot-repot memikirkan kesehatan wanita itu juga.

Tiba-tiba saja Arlo berkomentar, "Kamu mulai mengkhawatirkannya sekarang."

"Tutup mulutmu, Arlo!" desis River sebal. Dia lupa jika hari ini Arlo datang lagi pagi-pagi untuk membahas beberapa hal mendesak. "Aku tidak mengkhawatirkannya."

"Ya, kamu mengkhawatirkannya," goda Arlo lagi sambil terkekeh.

"Berhenti bertingkah menyebalkan, Arlo!" River bangkit dan membanting serbetnya ke atas meja dengan kesal. Awalnya, dia berniat melihat keadaan Beatrix sebelum pergi. Namun, niat itu segera dibatalkan agar Arlo tidak memiliki alasan untuk mengejek lagi. Barulah sore harinya River memiliki kesempatan untuk melihat keadaan Beatrix.

River masuk ke kamar Beatrix dan merasa heran melihat wanita itu tidak ada di kamarnya. River memeriksa ke kamar mandi dan terkunci, maka dia memutuskan menunggu sampai wanita itu keluar. Dia mulai tidak sabar ketika sudah cukup lama menunggu, tetapi Beatrix belum kunjung keluar.

"Kenapa kamu lama sekali di dalam?" River mengetuk pintu kamar mandi, tetapi tidak ada balasan. Dia mencoba mendengarkan lebih teliti dan baru menyadari bahwa sejak tadi tidak terdengar suara apa-apa dari dalam. Tiba-tiba River teringat pertengkaran mereka semalam ketika dia memaksa Beatrix pulang.

"Aku tidak peduli. Kamu harus pulang! Tidak perlu memikirkan kakakmu, ada perawat yang menjaganya di sini." River yang tadinya tidak berniat bersikap keras, berubah kesal karena Beatrix terus menolak ajakannya untuk pulang.

"Aku ini satu-satunya keluarga yang dia miliki! Setidaknya biarkan aku menjaganya selama dia di rumah sakit!" seru Beatrix emosi. Tidakkah pria ini mengerti jika hanya kakaknya yang dia miliki begitu juga sebaliknya. Sebagai seorang adik, bagaimana mungkin dia tega meninggalkan kakaknya sendirian di rumah sakit?

"Harusnya kamu merasa bersyukur aku sudah mengizinkanmu menjaganya selama berhari-hari," ujar River dingin. "Aku hanya menyuruhmu pulang dan tidur untuk malam ini. Besok kamu bisa kembali lagi ke sini. Kenapa kamu tidak mau mengerti?”

Beatrix memandangi River dengan napas memburu, tetapi tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk membalasnya. 

“Atau kamu lebih senang jika aku sekalian saja mengurungmu di griya tawang dan tidak mengizinkanmu menemuinya lagi, begitu?" cecar River murka.

"Lakukan saja sesukamu! Aku tidak peduli lagi!" Beatrix menjerit putus asa. Entah mengapa akhir-akhir ini sulit sekali baginya untuk mengontrol emosi. "Apa kamu tahu? Kadang aku berharap Tuhan tiba-tiba mencabut nyawaku saat aku tidur, sehingga aku tidak perlu lagi terbangun di pagi hari untuk kembali menjalani hari-hariku di neraka yang kamu ciptakan. Atau kalau perlu, aku sendiri yang akan mengakhiri hidupku."

Kata-kata Beatrix semalam menghantui pikiran River. Apakah wanita itu benar-benar melaksanakan ucapannya? Tanpa menunggu lebih lama, dia mendobrak pintu kamar mandi dan menemukan kenyataan yang mengerikan. Beatrix tergeletak di lantai kamar mandi dengan darah di sekitar bagian bawah tubuhnya.

"Beatrix!" River segera mendekat dan memeriksa nadi wanita itu. Masih ada. Dia langsung mengangkat tubuh Beatrix. 

River bisa merasakan betapa dingin tubuh Beatrix dalam pelukannya. Dia segera melarikan wanita itu ke rumah sakit dan mendapati sebuah kenyataan yang membuatnya tercengang.

"Aku tidak mengerti bagaimana caranya dia bisa hamil" River masih tidak percaya setelah mendengar kondisi Beatrix.

Arlo mendengkus geli. "Tentu saja bisa, kamu sering berhubungan dengannya, bukan?" 

"Tapi dia sudah disuntik secara rutin. Kamu tahu itu, bahkan kamu sendiri yang menyarankannya."

"Bea pernah terlambat menerima suntikan," balas Arlo santai, kemudian menyeruput secangkir kopi di tangannya. 

“Kapan?”

“Saat dia ditugaskan ke Manhattan Beach.”

"Apa dia sengaja melakukannya?" gumam River curiga.

"Aku yakin tidak." Arlo menggeleng cepat. "Bea saja sangat terbeban dengan kehamilannya itu."

Kening River sontak berkerut. "Maksudmu?"

Tanpa sadar Arlo berkata, "Bea berencana menggugurkannya."

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang