28. Tidak Bisa Benci

373 23 1
                                    

Setelah terlelap cukup lama, Beatrix terbangun dan mendapati punggung River berada tepat di depan wajahnya. Dia sangat suka terbangun dalam kondisi seperti ini. Entah mengapa menatap punggung River selalu memberikan debaran berbeda dalam dadanya.

Beatrix tidak bisa menahan jemarinya yang dengan lancang sudah bergerak menelusuri punggung River. Dia selalu suka melakukannya. Jemari Beatrix terhenti ketika menemukan sesuatu yang janggal di belikat kiri River. Sesuatu yang baru dia sadari sekarang, padahal sudah berkali-kali melihat punggung River selama beberapa hari terakhir. Sebuah parut yang cukup panjang, tidak terlalu terlihat karena tertutup gambar, tetapi jelas teraba.

Tangan River terulur ke belakang, menangkap jemari Beatrix, lalu bertanya dengan suara mengantuk, "Kenapa tidak tidur?" 

"Aku terbangun dan sulit untuk tertidur lagi."

"Kenapa kamu suka sekali membelai punggungku, hm?"

"Entahlah. Rasanya menyenangkan. Apa kamu merasa terganggu?"

"Hm." River mengangguk kecil.

"Maaf sudah membangunkanmu."

"Tidak masalah, tapi kamu juga membangunkan sesuatu yang lain." River berbalik dan menatap Beatrix. Jelas terlihat gairah di sana meski mata pria itu masih setengah mengantuk.

Ucapan River membuat Beatrix merona. "Apa kamu tidak bosan?"

"Rasanya tidak akan pernah ada kata cukup untuk menikmatimu."

"Boleh aku bertanya?"

"Hm?"

"Dari mana kamu mendapatkan bekas luka ini?" tanya Beatrix seraya menyentuh belikat kiri River.

"Luka semacam itu adalah hal biasa dalam kehidupanku."

"Kapan kamu mendapatkannya?"

"Sudah sangat lama." River menatap Beatrix penuh selidik. "Kenapa kamu begitu penasaran?"

"Entahlah, aku sendiri tidak yakin. Hanya saja rasanya aku tidak asing dengan bekas luka itu. Aku seperti pernah melihatnya."

"Kamu memang pernah melihatnya, Beatrix." River tersenyum samar.

"Kapan?"

"Ketika aku mendapatkan luka ini."

Otak Beatrix segera memanggil kembali memori yang sudah lama mengendap dalam ingatannya.

Siang itu Beatrix berjalan santai sepulangnya dari sekolah. Seperti biasa dia tidak pernah merasa tergesa untuk tiba di rumah karena tak ada yang menunggunya pulang. Kakaknya terlalu sibuk mengurusi salon, sementara Marco selalu pulang malam. Hanya para pelayan berwajah datar yang setiap hari menemani Beatrix di rumah.

Beatrix lebih senang menghabiskan waktu di tempat persembunyiannya sebelum pulang ke rumah. Sebuah hutan kecil yang tidak jauh dari sekolahnya. Tempat yang tenang dan membuat Beatrix merasa bebas. Bebas dari segala aturan ketat di rumahnya.

Beatrix membuka pintu pondok kecil yang sudah hampir satu tahun terakhir sering dia kunjungi sekadar untuk duduk-duduk sebenatr. Entah siapa yang membangun pondok itu, tetapi sampai hari ini Beatrix tidak pernah mendapati orang lain mendatanginya.

Di depan pintu, dia mendengar deru napas orang asing dari dalam pondok. Beatrix yang ketakutan memutuskan pergi meninggalkan tempat itu secepatnya. Meski masih remaja, dia paham arti bahaya. Namun, suara erangan kesakitan dari orang asing di dalam pondok membuat langkah Beatrix terhenti.

Bagaimana kalau orang itu membutuhkan bantuan? Beatrix menunggu dalam diam sambil mendengarkan dengan takut-takut. Orang di dalam sana kembali mengerang kesakitan. Entah mengapa Beatrix tidak tahan mendengar suara itu dan jatuh iba. Maka dia memberanikan diri untuk melihat ke dalam.

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang