21. Masa Lalu yang Kelam

484 35 1
                                    

"Lebih baik kamu tidur lagi. Bicaramu makin melantur saja." River memilih mengakhiri pembicaraan di antara mereka yang berpotensi memancing badai emosi dalam dirinya. 

River yang selama ini mati rasa, entah sejak kapan mulai terusik dengan perasaan-perasaan sentimentil yang sudah lama hilang. Hal yang paling tidak River suka adalah menyadari betapa buruk dirinya dalam pandangan Beatrix.

Tanpa ragu Beatrix segera memejamkan mata. Dia memang ingin secepatnya mengakhiri percakapan yang melelahkan dengan River. Lagi pula, Beatrix sudah tidak mampu menahan kantuk yang sejak tadi berusaha dia lawan. 

Entah berapa lama Beatrix terlelap, ketika terbangun dia mendapati Arlo tengah duduk tidak jauh darinya.

Melihat Beatrix membuka mata, Arlo langsung bertanya, “Apa yang kamu rasa?”

Alih-alih menjawab, Beatrix malah bertanya ketus, "Untuk apa kamu di sini?" 

Beatrix yakin keberadaan Arlo di sini pasti bukan hanya karena statusnya sebagai dokter. Pasti ada hal lain di balik kedok itu.

"Menemani kamu," balas Arlo sabar.

"Aku rasa lebih tepat jika kamu katakan untuk mengawasi aku,” gumam Beatrix diringi tawa. “Adikmu itu pasti curiga kalau aku akan melarikan diri. Jadi, dia selalu menempatkan orang untuk mengawasiku." 

"Jangan berpikiran seburuk itu tentang River,” tegur Arlo. “Kali ini dia benar-benar mengkhawatirkanmu.”

Beatrix mendengkus sinis. 

“Dia hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja di sini,” ujar Arlo lagi. “Semalaman dia sendiri yang berjaga di sini menunggui kamu, tetapi saat ini ada urusan yang harus diselesaikannya. Jadi, aku di sini untuk menggantikan dia."

"Baik sekali adikmu itu," sindir Beatrix. 

Namun, Arlo malah menanggapi sindiran Beatrix dengan serius. "Dia sebenarnya memang orang yang baik."

Beatrix langsung terbahak. "Tolong jangan membuat perutku makin sakit karena leluconmu itu.”

“Lelucon apa?”

“Tentang dia adalah orang baik,” ucap Beatrix dingin. “Dalam mimpiku yang terindah sekalipun, dia tidak akan pernah hadir di sana sebagai sosok yang baik. Adikmu itu adalah jelmaan iblis yang berkeliaran di bumi untuk menyiksa anak manusia."

“Mengapa melabelinya seburuk itu?” tanya Arlo kaget.

“Karena seperti itulah dia di mataku.”

"Bukankah dia sudah menceritakan kepadamu apa yang membuatnya jadi seperti ini?"

"Bukan berarti itu dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kelakuannya," ujar Beatrix tajam.

Arlo menatap bingung, lalu menebak ragu-ragu. “Aku rasa dia hanya menceritakan sampai bagian ibunya meninggal, bukan?"

“Hm.” Beatrix mengangguk kecil.

"Kamu tidak tahu sekeras apa kehidupan yang dia jalani setelah itu,” ujar Arlo sambil menggeleng sedih. 

“Memangnya seperti apa?” tanya Beatrix dengan nada tidak peduli, padahal sebenarnya dia sangat penasaran mengenai masa lalu River. Bagaimana pria itu bertahan hidup setelah ibunya meninggal?

"Bayangkan seperti apa perasaan seorang anak yang baru berusia 12 tahun ketika dia tiba-tiba terusir dari rumah yang ditinggali sejak lahir dan harus bertahan hidup bersama ibunya saja?" Arlo tidak peduli dengan sikap ketus Beatrix. Dia memilih untuk menceritakan tentang kehidupan River yang keras, agar setidaknya Beatrix bisa sedikit memahami mengapa pria itu berubah menjadi sedemikian mengerikan. "Ketika ibunya meninggal, dia berusia 13 tahun. Tidak ada hal yang dapat River lakukan selain menangisi ibunya di rumah kecil mereka yang kumuh. River tidak tahu harus melakukan apa terhadap jenazah ibunya karena mereka tidak memiliki uang sepeser pun, yang dapat dia lakukan hanya menutupi jenazah ibunya dengan selimut dan menangisinya selama berhari-hari. River sudah mencoba menemui ayahnya, bahkan keluarga ayahnya, tetapi tidak ada siapa pun di antara mereka yang bersedia menolong. Mereka menendangnya ke jalanan seperti seekor anjing."

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang