River menoleh perlahan ke arah Beatrix, menatapnya tajam, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Jujur saja dia dibuat sangat terkejut oleh pertanyaan Beatrix.
Beatrix bisa merasakan kekesalan pada raut wajah River karena pertanyaannya tadi. Namun, dia masih merasa perlu untuk berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk. Beatrix menyandarkan pinggang di sisi pagar pembatas, lalu menantang mata River. "Atau mungkin kamu berniat meninggalkanku di pulau tak berpenghuni?"
Tiba-tiba saja River menyambar lengan atas Beatrix, membawa tubuh wanita itu mendekat, lalu menghardik, "Kamu benar-benar sudah gila!"
Kini tubuh keduanya saling melekat, membuat River makin sulit menahan luapan gairah yang sudah ditahannya selama hampir tiga bulan terakhir. River tidak bisa menahan diri untuk melumat bibir Beatrix dengan penuh damba. Bibir yang sedari tadi terus saja mengucapkan hal-hal menyebalkan.
Di luar dugaan, Beatrix membalas ciuman River dengan sama bergairahnya. Entah mengapa dia merindukan bibir River, merindukan belaian jemari pria itu di setiap jengkal tubuhnya.
Ketika napas keduanya nyaris habis, River terpaksa melepaskan tautan bibir mereka. Dia menyatukan kening mereka, lalu jemarinya terangkat untuk membelai bibir Beatrix. Napasnya masih terengah-engah saat berujar, "Kamu dan semua prasangka buruk dalam kepalamu itu benar-benar keterlaluan."
Beatrix menumpukan kedua lengannya di dada River, kemudian menjawab dengan sama terengahnya, "Kamu yang membuatku menjadi seperti ini. Selama hidup bersamamu, aku harus terbiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal yang buruk setiap saat. Kamu dan semua rencana gilamu itu."
Akhirnya, River menyerah berusaha meyakinkan Beatrix. "Terserah kamu mau percaya kepadaku atau tidak, yang pasti aku memang tidak sedang merencanakan apa-apa untuk mencelakaimu malam ini."
River mulai lelah berdebat dengan Beatrix. Namun, dia menginginkan tubuh wanita itu. River melingkarkan lengannya di pinggang Beatrix, lalu mulai kembali mencumbu wanita itu. Perlahan dia melangkah mundur, meninggalkan geladak untuk menuju ke kamar.
Ketika kakinya menyentuh tepi tempat tidur, dengan santai River duduk di sana dan membawa Beatrix bersamanya. Kini wanita itu duduk di atas pangkuannya.
Cumbuan River makin memabukkan dan membuat Beatrix kehilangan kewarasan. Kecupan lembut pria itu membuat Beatrix merasa tubuhnya terbakar oleh gairah. Namun, mulutnya masih saja ingin mendebat River. "Bagaimana aku bisa percaya kepadamu? Hal yang kamu lakukan ini terlalu aneh. Kamu yang begitu membenci aku dan kakakku, tiba-tiba berubah jadi sebaik ini. Sekarang katakan, apakah aku salah mengartikan semua ini sebagai suatu kebaikan?"
"Tidak." River bergumam tidak peduli. Tangannya menarik turun gaun Beatrix dengan mudah dan mulai menikmati tubuh itu lebih lagi.
Beatrix mengangkat tangannya untuk mempermudah River meloloskan gaun itu. Setelah itu, dia melingkarkan tangannya di sekeliling leher River dengan erat. Sesekali tangannya membelai rahang River, sambil mendaratkan kecupan-kecupan menggoda di sepanjang garis rahang pria itu. "Kalau begitu bukan aku yang gila, tetapi kamu yang kehilangan kewarasan."
"Mungkin," gumam River lagi. Dia sudah tidak benar-benar berkonsentrasi mendengarkan ucapan-ucapan Beatrix. Fokusnya saat ini hanya menyatukan tubuh mereka sesegera mungkin. Dia merebahkan diri hingga kini Beatrix berada di atas tubuhnya. "Apakah ini sudah aman untukmu?"
Beatrix paham maksud pertanyaan River. Dia tahu pria ini sudah menahan diri selama hampir tiga bulan untuk tidak menyentuhnya setelah Beatrix keguguran. Mungkin jika dia mengatakan kepada River bahwa sekarang masih belum aman untuknya, pria itu akan berhenti. Namun, entah mengapa Beatrix malah mengangguk pasrah. "Aku rasa sudah tidak masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Symphony of Revenge
RomanceBeatrix Smith memiliki kehidupan sederhana yang menyenangkan. Manis, berwarna, dan tanpa riak. Namun, suatu hari Beatrix mendapati dunianya seakan-akan berada di sisi kebalikan. Dalam semalam, Beatrix menjadi milik River De Luca, seorang CEO muda d...