Entah berapa lama Beatrix tertidur, tetapi ketika terbangun dia merasa kehilangan karena tidak lagi mendapati River mendekapnya. Sisi tempat tidurnya yang kosong terasa dingin, menandakan pria itu sudah lama meninggalkannya. Beatrix kembali merutuki kebodohannya yang sudah berharap bahwa kali akan berbeda.
Beatrix memaksa dirinya untuk beranjak dari tempat tidur dan mendapati sehelai kemeja asing teronggok di lantai. Meski dia tahu kemeja itu milik River, Beatrix tetap memilih mengenakannya karena tidak dapat menemukan pakaiannya sendiri. Ketika tengah mengancingkan kemeja milik River yang jelas-jelas kebesaran di tubuhnya, Beatrix melihat sosok pria itu tengah berdiri di balkon kamar dengan posisi membelakanginya.
Seketika jantung Beatrix berdegup kencang. Ada perasaan bahagia ketika mendapati kenyataan bahwa kali ini memang berbeda. Untuk pertama kalinya River tetap diam di kamar Beatrix setelah mereka selesai bercinta.
Ada perasaan haru yang memenuhi hati Beatrix. Dia berjalan perlahan mendekati River dan menyadari satu hal lain yang lebih mengejutkan lagi dari sekadar keberadaan pria itu di kamarnya.
Perkataan yang pernah Zion ucap langsung terngiang dalam benak Beatrix. River hampir tidak pernah memperlihatkan tanda di bahunya kepada siapa pun. Hanya kami bertiga yang pernah melihatnya. Namun, aku yakin suatu saat kamu akan melihatnya juga. Saat hari itu tiba, percayalah bahwa hatinya yang beku sudah mencair.
Sudah sejak lama Beatrix penasaran ingin melihat gambar di bahu River. Namun, pria itu tidak pernah memberinya kesempatan untuk melihat. River tidak pernah sekalipun melepaskan pakaiannya meski mereka tengah bergumul di atas tempat tidur.
Tanpa berpikir panjang, Beatrix menubruk River dari belakang, memeluknya erat, dan membenamkan wajah di punggung pria itu. Pria yang dulu sangat dia benci, tetapi kini sudah berhasil menawan hatinya. Katakanlah Beatrix bodoh, tetapi dia tidak bisa mendustai perasaannya sendiri.
"Kenapa masih di sini?" bisik Beatrix sarat bahagia.
"Menunggumu bangun," guman River. Dia masih terkejut dengan pelukan Beatrix yang tiba-tiba. River mengambil tangan Beatrix dan mencoba mengurai pelukan wanita itu.
"Biarkan seperti ini sebentar saja. Biarkan aku merasakan kehangatanmu kali ini." Beatrix makin mengeratkan pelukannya. "Aku tidak tahu kapan mimpi ini akan berakhir dan kamu kembali menjadi sosok mengerikan lagi. Namun, untuk saat ini aku ingin menikmati dirimu yang hangat."
"Ini bukan mimpi, Beatrix." River menumpangkan tangannya di atas lengan Beatrix dan menepuknya lembut.
Perlahan Beatrix mengurai pelukannya, kini dia mendaratkan jemarinya di bahu kiri River, menelusuri gambar yang tercetak indah di atasnya Gambar yang membuatnya takjub. "Benar-benar serupa dengan tanda di bahuku."
Beatrix sudah pernah melihat gambar di bahu Arlo, Chase, dan Zion. Semuanya memang mirip, tetapi tidak ada yang sama persis. Masing-masing memiliki ciri khas yang menjadi pembeda. Namun, gambar di bahunya dan River sama persis.
"Karena kamu memang pasanganku. Sejak aku meminta Zion menorehkannya di tubuhmu, takdir kita telah terikat."
"Kenapa kamu tidak pernah mengizinkan orang lain melihatnya?" Beatrix mengecup punggung River dengan segenap perasaan yang baru akhir-akhir ini disadarinya.
River berbalik dan merangkum wajah Beatrix. "Karena punggung adalah simbol kelemahan, satu-satunya bagian yang dapat membuatku hancur."
"Kenapa kamu memperlihatkannya kepadaku?" tatap Beatrix penuh tanya.
"Karena kamu selamanya akan menjadi kekuatanku." River mendekatkan wajahnya dan menyatukan kening mereka. "Itulah takdirmu."
Beatrix memejamkan mata begitu River mendaratkan kecupan di bibirnya. Kecupan lembut yang perlahan berubah menjadi pagutan penuh rindu. Keduanya saling mengikat diri satu sama lain, penuh rasa, penuh rindu, seolah telah sekian lama saling mencari.
***
Malam itu, Beatrix duduk berendam di dalam bathtub dengan rasa kantuk yang begitu kuat menguasai. Perpaduan antara rasa lelah dan kehangatan pelukan River di sekeliling tubuhnya merupakan kombinasi tepat yang dapat mengantarkan Beatrix ke alam mimpi.
"Apa kamu merasa bosan terus-menerus terkurung di sini?" tanya River dari belakang telinga Beatrix.
"Terkadang begitu," gumam Beatrix. Dia mulai meletakkan kepala di atas lengan River yang sejak tadi melingkari lehernya. Rasanya sangat nyaman dan Beatrix tidak ingin kehangatan ini berakhir.
River menumpukan dagu di atas bahu kanan Beatrix. "Bagaimana jika kita memiliki seorang anak?"
"Maksudmu?" Beatrix menoleh cepat. Sontak rasa kantuknya menghilang mendengar pertanyaan River.
"Aku rasa kehadiran seorang anak akan membantu mengusir sepimu," balas River santai.
Beatrix menggeleng sedih. "Aku rasa itu bukanlah sebuah alasan yang tepat untuk memiliki seorang anak."
Jika saja River memberikan penjelasan yang lain, mungkin Beatrix akan menyetujui ide itu.
"Jadi, kamu keberatan?" Ada kekecewaan yang tergambar jelas dalam suara River.
Belum lagi Beatrix menjawab, River sudah kembali berbicara, "Ah, aku ingat! Kamu pernah mengatakan kalau kamu tidak berniat mengandung anakku, bahkan membayangkannya saja kamu tidak sudi. Benar begitu, bukan?"
Beatrix ingat dia pernah mengucapkan kata-kata seperti itu di awal-awal kebersamaan mereka. "Itu semua karena dulu kamu begitu menakutkan. Setiap kali berdekatan denganmu rasanya aku bisa mati terbunuh karena pekatnya kebencianmu itu."
"Bagaimana dengan sekarang?" River menarik dagu Beatrix dan menahannya. "Apa kamu masih takut kepadaku?"
Beatrix berusaha menghindari tatapan River yang menyelidik. "Tidak separah dulu."
"Apa karena itu kamu masih tidak ingin memiliki anak dariku?" cecar River.
"Bukan." Beatrix menunduk.
"Hm?" Wajah River menampakkan bahwa dia tengah menanti penjelasan.
"Aku hanya takut memikirkan masa depan anak itu. Aku tidak tahu kapan kamu akan bosan mempermainkanku dan memutuskan menendangku. Aku tidak tahu apa kamu akan membiarkanku membawanya, atau kamu akan mengambilnya dan memisahkan kami. Jika dia hidup bersamaku, maka dia akan dicap sebagai anak dari seorang wanita murahan. Jika dia hidup bersamamu, aku takut membayangkan anak itu akan hidup dalam dunia hitam yang mengerikan."
"Hei, apa yang kamu bicarakan?" River meraih kedua bahu Beatrix dan memaksa wanita itu berputar menghadapnya. "Dari mana datangnya semua pemikiran itu? Itukah alasan kamu ingin menggugurkan kehamilanmu dulu?"
Beatrix menatap River penuh rasa bimbang.
"Apa kamu lupa dengan kenyataan bahwa takdir kita sudah saling terikat?”
Beatrix menggeleng ragu. "Entahlah."
"Mulai sekarang, berhentilah menemui dokter untuk menerima suntikan. Aku ingin kamu melahirkan anak-anak untukku." Setelah mengucapkan permintaan yang tidak dapat dibantah itu, River kembali merengkuh Beatrix. Entah mengapa dia merasa seperti tidak dapat mengendalikan gejolak dalam dirinya untuk terus menikmati Beatrix. Takdirnya dan wanitanya.
Beatrix sendiri tidak lagi merasa keberatan setiap kali River menyentuhnya. Dia bahkan mendambakan setiap sentuhan itu.
Ketika pergulatan mereka berakhir, River menggendong tubuh Beatrix dan membawanya ke tempat tidur. Wanita itu tampak sudah terlalu lelah karena selama berhari-hari River hampir tidak pernah melepaskannya.
Tepat ketika River membaringkan tubuh polosnya di atas tempat tidur, mata Beatrix sudah terpejam. Dia menyelimuti tubuh Beatrix dan ikut berbaring bersama wanita itu. River berbaring dalam diam sambil memikirkan segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Kebencian, dendam, dan bagaimana Beatrix secara perlahan menyusup masuk dalam hatinya, lalu mencairkan kebekuan di sana.
"Sejak dulu, aku memang tidak pernah benar-benar bisa membencimu," bisik River di atas puncak kepala Beatrix. "Aku membencimu karena kamu membuatku tidak bisa membencimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Symphony of Revenge
RomanceBeatrix Smith memiliki kehidupan sederhana yang menyenangkan. Manis, berwarna, dan tanpa riak. Namun, suatu hari Beatrix mendapati dunianya seakan-akan berada di sisi kebalikan. Dalam semalam, Beatrix menjadi milik River De Luca, seorang CEO muda d...