"Dari mana kamu tahu?" suara River langsung meninggi.
Melihat emosi River, Arlo hanya bisa meringis. "Dia yang mengatakannya sendiri."
"Jadi, kamu sudah tahu?"
"Chase dan Zion juga." Arlo sengaja mengatakannya untuk membuat River makin kesal. Sekali-sekali pria ini perlu dikerjai.
"Berani-beraninya kalian menutupi hal ini dariku!" seru River.
"Sst, pelankan suaramu!" ujar Arlo mengingatkan. Mereka sedang berada di kafetaria dan suara River jelas menarik perhatian orang lain. "Memangnya untuk apa kamu tahu? Kamu juga tidak menginginkannya, bukan? Kamu sendiri yang mengatakannya kepada Bea."
"Kenapa wanita itu selalu mencari masalah denganku?" River menggeleng tidak percaya. Baru pernah dia menghadapi orang yang sedemikian menyulitkannya. Semua yang Beatrix hampir selalu berhasil memancing kekesalannya.
"Sudahlah, jangan berlebihan. Bukan maunya dia hidup denganmu. Bukan maunya juga dia hamil. Lagi pula, sekarang masalahnya sudah selesai. Bea sudah keguguran, kamu tidak perlu membesar-besarkan masalah lagi."
"Aku jadi curiga jangan-jangan dia sengaja melakukan sesuatu untuk menggugurkan kehamilannya."
"Kamu ini selalu berpikiran buruk tentang Bea.” Arlo gemas mendengar tuduhan River yang tidak masuk akal itu. “Kamu dengar sendiri apa yang dokter kandungan katakan tadi. Bea keguguran karena stress dan kelelahan. Bukan karena disengaja."
"Kenapa kamu terus saja membelanya?” balas River sinis. “Jangan-jangan kamu menyukainya.”
“Hah?” Arlo mendelik tidak percaya.
“Kalau memang begitu katakan saja, aku akan memberikannya kepadamu," cecar River dongkol.
"Jangan asal bicara, River!” sentak Arlo jengkel. “Semudah itu kamu mengobralnya kepada pria lain, padahal dia itu wanitamu. Kamu sudah lupa kejadian malam itu?”
River hanya menanggapi dengan mendengkus malas.
Melihat River masih berlagak cuek, Arlo menambahkan lagi, “Hanya melihat kami tidur di kamar yang sama saja kamu sudah semarah itu, apalagi kalau sampai ada pria lain yang merebutnya darimu."
"Aku bosan mendengarkan ceramahmu.” River berlagak menggaruk telinganya, kemudian berdiri dan meninggalkan Arlo begitu saja. “Lebih baik aku kembali ke kamarnya. Siapa tahu dia berusaha melarikan diri dari sini."
"Dasar konyol!" desis Arlo kesal.
Di dalam kamar, River sendiri kebingungan harus melakukan apa. Beatrix masih tertidur dan tidak ada hal yang dapat River lakukan. Namun, untuk meninggalkan wanita itu pun rasanya berat. Cukup lama River menunggui Beatrix sampai akhirnya wanita itu sadar.
Beatrix terbangun dan merasakan nyeri di sekitar perut yang membuatnya meringis menahan sakit. Dia segera menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di rumah sakit, tetapi tidak tahu alasannya.
"Sudah bangun?" tanya River dari sofa tempatnya menunggui Beatrix sejak tadi.
Beatrix tidak membalas pertanyaan River. Dia hanya menatap pria itu dengan waspada. Meski pria itu sedang duduk dengan santai, bahkan setengah berbaring, tetap saja Beatrix merasa terancam dengan kehadirannya.
"Kamu pasti ingin tahu kenapa kamu bisa berada di sini." River berdiri dan mulai berjalan mendekat ke ranjang Beatrix. "Aku menemukanmu pingsan di kamar mandi dan membawamu ke sini. Kamu mengalami perdarahan dan kandunganmu tidak bisa diselamatkan. Mereka sudah mengeluarkan janin itu."
Seketika Beatrix terbelalak ngeri. River sudah mengetahui semuanya. Hal apalagi yang akan dilakukannya untuk menghukum Beatrix kali ini?
"Kamu senang mendengarnya, bukan?” sindir River dengan senyum samar di wajahnya. “Tanpa perlu bersusah payah mencari cara untuk menggugurkannya, masalahmu sudah selesai dengan sendirinya. Selamat untukmu.”
Mendengar ucapan River, Beatrix cukup terguncang. Dia tidak mampu membalas sindiran pedas River, tetapi hanya tertegun saja. Ada rasa nyeri di sudut hati Beatrix ketika mendengar bahwa nyawa yang selama beberapa minggu terakhir bertumbuh dalam dirinya, kini sudah tidak ada lagi. Namun, di sisi lain Beatrix juga merasa lega karena dia tidak perlu dengan sengaja membunuh janinnya sendiri.
"Ternyata kamu sudah banyak belajar dariku,” ujar River sinis.
"Apa maksudmu?" bisik Beatrix tidak mengerti.
"Kamu sudah mulai berubah menjadi manusia tanpa hati, sama seperti aku." Kini River berdiri tepat di sisi ranjang Beatrix, menatapnya tajam, lalu menumpangkan sebelah tangan di dekat kepala wanita itu.
"Aku tidak mengerti," ujar Beatrix lemah. Entah mengapa rasanya sulit sekali bagi Beatrix untuk bersuara. Dia sangat mengantuk dan rasanya ingin kembali tidur saja.
"Kenapa tidak memberi tahu kondisimu kepadaku?" tanya River dengan nada menuntut.
"Untuk apa?" balas Beatrix pasrah. Dia segera menoleh ke arah jendela karena tidak ingin berlama-lama bertatapan dengan River.
"Kita bisa mendiskusikannya," ujar River tenang.
Beatrix kembali melihat ke arah River, lalu bertanya dengan nada tidak percaya, "Kamu dan aku berdiskusi?"
River mengangguk pelan.
"Kamu bercanda!” desis Beatrix diiringi tawa sumbang. “Tidak pernah ada hal yang dapat didiskusikan di antara kita karena kamu selalu memaksakan keinginanmu kepadaku."
Segera saja River menggeleng. "Kali ini berbeda."
"Apa yang membuatnya berbeda?” balas Beatrix sedikit menantang. “Aku ingat kamu pernah mengatakannya dengan sangat jelas bahwa kamu tidak ingin aku sampai hamil.”
River ingat kejadian itu, tetapi dia segera menambahkan, “Aku mengatakannya setahun yang lalu.”
“Buatku tidak bedanya,” ucap Beatrix skeptis. “Jadi, lebih baik kamu tidak perlu tahu apa-apa agar tidak makin menambah kesulitanku."
"Bagaimana bisa kamu berpikir untuk melenyapkan darah dagingmu sendiri, hm?" Ada kemarahan yang menguasai hati River ketika mengetahui niat buruk itu pernah terlintas dalam pikiran Beatrix.
“Jangan berlagak peduli!” Mendengar tuduhan River, emosi Beatrix terpancing. "Kamu tidak lebih baik dariku."
"Setidaknya aku tidak akan berpikir untuk membunuh anakku sendiri," balas River tajam.
"Kenapa kamu berbicara seolah-olah aku yang jahat di sini?” balas Beatrix tidak terima. “Kamu sendiri yang mengatakan agar aku jangan sampai hamil.”
"Memang, tetapi kalau sudah terjadi, aku tidak mungkin tega membuangnya begitu saja seolah-olah dia benda tak bernyawa," balas River sungguh-sungguh.
“Kamu pikir aku tega?” sahut Beatrix getir.
“Kalau tidak tega, kenapa sempat berpikir untuk melenyapkannya?” tanya River tidak habis pikir.
Cukup lama Beatrix terdiam sampai akhirnya dia berkata, “Karena tidak ada masa depan untuk kami.”
Tiba-tiba saja River meraih tangan Beatrix, lalu meremasnya. “Bagaimana jika aku bisa menjanjikan masa depan untuk kalian?”
Perlakuan River yang terkesan hangat membuat Beatrix berani mengungkapkan isi pikirannya. “Aku benar-benar takut kamu akan makin mempersulitku dengan kehadiran seorang bayi."
“Kenapa pikiranmu selalu dipenuhi dengan hal buruk tentang aku?” tanya River sedikit kecewa.
"Apa kamu lupa kalau kamu yang membuatku menjadi seperti ini?” sahut Beatrix sendu. “Sebelum mengenalmu, aku hanya gadis lugu yang mengira dunia ini dipenuhi dengan hal-hal indah. Tidak pernah pikiran-pikiran buruk melintas dalam benakku. Kamu dan semua sikap kejammu yang membuatku merasa makin kerdil setiap harinya."
"Tidak adakah hal baik yang bisa kamu pikirkan tentangku?" Ada perasaan tidak nyaman yang River rasakan ketika mendengar Beatrix begitu terluka karena perlakuannya selama ini.
"Aku rasa tidak ada karena selalu hal buruk yang menantiku sejak aku mengenalmu.” Beatrix menggeleng dengan sorot mata penuh kesakitan. “Sekarang pun aku sedang menebak-nebak, kira-kira hukuman apalagi yang akan kamu siapkan untuk kesalahanku kali ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Symphony of Revenge
RomansaBeatrix Smith memiliki kehidupan sederhana yang menyenangkan. Manis, berwarna, dan tanpa riak. Namun, suatu hari Beatrix mendapati dunianya seakan-akan berada di sisi kebalikan. Dalam semalam, Beatrix menjadi milik River De Luca, seorang CEO muda d...