18. Tuduhan Sengit

515 42 1
                                    

"Ada masalah apa?" tanya River tanpa basa-basi ketika Arlo datang ke griya tawang miliknya pagi itu. Dia yakin ada sesuatu yang salah karena Arlo datang mendadak, tanpa pemberitahuan, pagi-pagi pula, dan wajahnya tampak gusar.

"Ada anggota kita yang kembali menghilang."

Kening River langsung berkerut. "Bagaimana bisa dalam satu tahun terakhir sering sekali terjadi hal-hal semacam ini?" 

Meski tidak banyak berpengaruh terhadap jaringan, tetapi kehilangan anggota secara misterius dan terus-menerus tentu saja menjadi hal yang mengganggu bagi mereka.

"Aku mencurigai Antonio," ujar Arlo terang-terangan.

River menganalisis dengan cepat dugaan Arlo. "Begitukah menurutmu?"

Arlo mengangguk kecil.

"Apa yang diinginkannya?" gumam River heran. Meski sudah bermusuhan sejak lama, tetapi tidak ada masalah nyata yang dapat memicu konflik di antara mereka.

"Aku rasa kita tahu apa yang diinginkannya sejak dulu," sahut Arlo cepat.

Sudah lama Antonio mengincar seluruh wilayah kekuasaan Keluarga De Luca yang sejak lima tahun terakhir jatuh ke tangan River. Namun, Arlo tahu bahwa ada hal lain yang membuat Antonio begitu membenci River.

"Awasi terus dan usut sampai tuntas." Saat ini River memilih menghentikan percakapan mereka karena melihat Beatrix akan bergabung di meja makan. 

Obrolan di meja makan segera berganti topik. Sampai saat ini, Beatrix masih belum tahu soal jaringan yang berada di bawah kekuasaan Keluarga De Luca dan River belum berniat memberitahukannya kepada wanita itu. Masih terlalu dini rasanya.

"Kamu sudah siap?" tanya River kepada Beatrix ketika melihat wanita itu menyimpan gelas di meja usai menghabiskan sarapannya. Hari ini, dia berencana mengajak Beatrix menghadiri sebuah pameran mobil. River hendak menghadiahkan sebuah mobil kepada Beatrix. Entah ingin saja atau sebagai bentuk penebusan rasa bersalah karena sudah banyak berlaku jahat kepada wanita itu, hanya River yang tahu.

Beatrix mengangguk kecil. 

Dalam perjalanan menuju lokasi pameran, pembicaraan antara River dan Arlo masih berlanjut. Namun, entah apa yang mereka perbincangkan, Beatrix tidak mengerti. Perhatiannya teralih ketika merasakan getaran ponsel yang sedang dia pegang. Beatrix melirik nama di layar ponsel. Dia terlihat ragu untuk menjawab panggilan itu karena ternyata kakaknya yang menghubungi. Hanya saja jika mengingat kebiasaan Amadea, kakaknya itu hanya akan menghubungi bila ada hal yang sangat penting.

Beatrix memutuskan untuk menerima panggilan Amadea dan menjawabnya sepelan mungkin, "Amy, ada apa?"

"Bea, tolong aku!" jerit Amadea di seberang sana.

Seketika Beatrix dikuasai panik, sehingga dia lupa memelankan suara. "Amy, ada apa denganmu?"

"Salonku," ujar Amadea terengah. "Kebakaran!"

"Amy, sekarang kamu ada di mana?" seru Beatrix panik.

Kedua pria yang masih terlibat percakapan sontak menoleh memperhatikan kepanikan di wajah Beatrix.

"Aku terjebak di ruanganku."

"Kamu sudah menghubungi pemadam kebakaran?"

"Sudah."

"Kalau begitu tunggulah, aku akan segera ke sana!" Beatrix mematikan sambungan, kemudian tanpa berpikir panjang dia meraih tangan River dan mengguncangnya. "Aku mohon izinkan aku turun di sini."

"Tidak bisa." River langsung menolaknya.

"Aku mohon, aku harus menemui kakakku. Dia terjebak." Beatrix mulai menangis. Demi apa pun, dia rela mengemis demi kakaknya.

"Aku tahu, aku mendengarnya, tapi kamu tidak bisa ke sana." River tidak akan membiarkan Beatrix menemui kakaknya dalam keadaan panik, sementara api masih berkobar di salon. Terlalu berisiko.

"Tolong jangan setega ini,” rintih Beatrix putus asa. “Tidak bisakah kamu melupakan kebencianmu untuk saat ini saja?" 

"Andy, hentikan mobilnya! Kamu turun dan antarkan Beatrix dengan taksi," ujar River kepada supirnya. Kemudian, River menoleh ke arah Beatrix, memaksanya ke luar dari mobil, lalu menyusul turun. "Kembalilah ke griya tawang!"

Arlo langsung paham hal yang akan River lakukan. Dia segera menyusul turun dan berpindah ke kursi kemudi menggantikan Andy.

Beatrix tercengang menyaksikan mobil itu berlalu meninggalkannya berdua dengan Andy. Dia ingin melarikan diri untuk menemui Amadea, tetapi Andy menahan dan mengantarnya ke griya tawang seperti yang River perintahkan.

Beatrix menunggu dengan gelisah di kamarnya. Dia merasa sangat frustasi memikirkan kondisi Amadea. Beberapa lama kemudian, Andy kembali menjemput untuk mengantarkan Beatrix ke rumah sakit tempat kakaknya di rawat.

Dokter mengatakan bahwa kondisi Amadea tidak mengkhawatirkan, hanya cukup banyak menghirup asap sehingga napasnya agak sesak. Namun, Amadea akan pulih dengan sendirinya dalam beberapa waktu. Beatrix dapat melihat sendiri kondisi Amadea memang baik-baik saja, tidak ada luka-luka yang serius di tubuhnya. Hanya beberapa bagian saja mengalami lecet.

Lelah menunggui Amadea yang belum sadar, Beatrix akhirnya tertidur sambil tetap duduk di sebelah ranjang. Usapan lembut di kepalanya membangunkan Beatrix. Ketika membuka mata, dia menemukan Amadea sudah sadar.

"Amy, kamu baik-baik saja?" tanya Beatrix cemas. Air mata Beatrix mengalir begitu saja karena terlalu mengkhawatirkan kakaknya.

Amadea mencoba tersenyum, lalu menjawab lemah, "Seperti yang kamu lihat." 

"Amy, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Beatrix khawatir. “Bagaimana bisa sampai terjadi kebakaran?"

"Sepertinya terjadi korsleting pada salah satu alat di salon. Kami tidak tahu awalnya bagaimana, tiba-tiba saja api sudah merambat dengan cepat. Mungkin karena banyak bahan dan cairan yang mudah terbakar di salon. Kami sempat berusaha memadamkan api, tapi terlambat. Apinya sudah terlalu besar, sehingga kami memilih untuk berlindung di ruanganku."

"Apa yang lain baik-baik saja?" Beatrix baru teringat nasib para pegawai Amadea.

"Aku tidak tahu. Aku sudah hilang kesadaran sebelum petugas datang. Jadi, aku juga tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya."

"Masalahnya, bagaimana bisa ada alat yang rusak tanpa sepengetahuan kamu?" gumam Beatrix heran. "Bukankah kamu selalu rutin melakukan pemeriksaan?"

"Entahlah.” Amadea menggeleng ragu. “Minggu lalu teknisi baru datang untuk melakukan pemeriksaan dan semua peralatan sudah dipastikan dalam keadaan baik.” 

Mendengar ucapan Amadea, entah mengapa seketika perasaan tidak enak merambati hati Beatrix. Terselip sebuah kecurigaan jika kebakaran di salon mungkin saja sebuah kesengajaan. Jika mengingat kelakuan River selama ini dan ancaman yang selalu dilontarkannya, bukan tidak mungkin kalau pria itu yang sengaja merancang kebakaran di salon.

Menyadari kemungkinan itu, kemarahan mulai menguasai hati Beatrix. Dia harus bertanya langsung kepada River sebelum rasa penasaran membuatnya gila. Kesempatan itu datang ketika River masuk ke ruang perawatan Amadea beberapa waktu berselang. Melihat kedatangan River, Beatrix langsung berdiri dan mendekat.

"Aku perlu bicara denganmu." Beatrix menarik tangan River dengan berani, lalu membawa pria itu meninggalkan kamar kakaknya. Dia harus bicara dengan River dan saat ini adalah waktu yang tepat karena Amadea sedang tertidur.

"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya River heran melihat betapa beraninya Beatrix menyeret dia seperti ini sepanjang mereka berjalan.

"Sesuatu yang penting," balas Beatrix singkat. Dia terus berjalan hingga sampai di atap gedung De Luca Hospital.

Ketika Beatrix berhenti melangkah, River segera mengulangi pertanyaannya. "Jadi, hal penting apa yang mau kamu bicarakan sampai perlu menyeretku ke sini?" 

"Kenapa kamu melakukannya?” Beatrix berbalik penuh emosi. Dia memandangi River penuh kemarahan, lalu maju seraya mendorong dada pria itu dengan berani. “Katakan kenapa kamu bisa setega itu?"

“Apa maksudmu?”

“Kebakaran itu ulahmu, ‘kan?” tuduh Beatrix berapi-api.

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang