17. Penderitaan yang Sebanding

543 47 2
                                    

Refleks Beatrix berbalik menghadap River.

“Menghancurkan keluargamu dan membunuh ibumu?” bisik Beatrix syok. Dia tidak bisa membayangkan sosok Amadea sebagai seorang pembunuh. “Tapi bagaimana caranya?”

Perlahan River menoleh ke samping, lalu menatap Beatrix dengan tajam. “Kamu masih ingat dengan laki-laki yang kakakmu nikahi?”

“Maksudmu Marco?” balas Beatrix cepat. Meski Marco telah meninggal, bagaimana mungkin dia tidak mengingatnya? Pria itu adalah orang yang cukup berjasa dalam hidup Beatrix. Bagi Beatrix, Marco sudah seperti pengganti sang ayah yang telah tiada.

River langsung mengangguk mengiakan. “Dia suami ibuku, laki-laki yang membuatku hadir di dunia ini.”

Awalnya, Beatrix tidak langsung mencerna ucapan River. Setelah beberapa saat, dia baru menyadarinya dan sontak terbelalak. “Maksudmu, Marco itu ayahmu?”

Pertanyaan Beatrix membuat River mendengkus sinis. “Aku tidak pernah sudi menyebutnya begitu.”

“Apa yang terjadi?” bisik Beatrix nyaris tidak terdengar. “Maksudku, bagaimana ceritanya Marco bisa berakhir dengan kakakku?”

“Kakakmu adalah pegawai di perusahaan Marco,” sahut River dingin. Rahangnya tampak mengeras ketika bercerita, “Sejak awal, laki-laki itu memang tidak mencintai ibuku. Dia menikahi ibuku hanya karena sebuah kesalahan semalam dan aku terlanjur ada.”

Beatrix diam mendengarkan setiap cerita yang River tuturkan tanpa berani menyela.

“Dia sering berselingkuh dan memacari banyak perempuan, meski begitu tidak ada yang membuatnya berpikir sampai ingin menikah.” Perlahan, senyum sinis membayang di wajah River ketika melanjutkan, “Tapi kakakmu berhasil membuat perbedaan besar.”

Tanpa sadar Beatrix menahan napas. Rasa-rasanya dia bisa menebak kelanjutan kisah ini.

Sebelum melanjutkan ceritanya, River memiringkan tubuh hingga kini keduanya berbaring berhadapan. “Dia tidak tega melihat kakakmu hidup sendiri setelah orang tua kalian meninggal, apalagi kakakmu harus mengurus adiknya yang masih kecil, yaitu kamu. Dengan sangat murah hati dia menawarkan sebuah pernikahan dan kakakmu menerimanya tanpa ragu.”

“Apa saat itu kakakku tahu kalau Marco sudah memiliki keluarga?” tanya Beatrix takut-takut.

“Tentu saja. Siapa yang tidak tahu?”

“Jadi, Marco menceraikan ibumu karena kakakku?” 

River tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi sorot penuh kebencian di matanya sudah menjelaskan semua.

Kepala Beatrix rasanya berputar dan tubuhnya mendadak gemetaran. Entah mengapa dia tiba-tiba saja merasakan ketakutan yang amat sangat.

River memandangi Beatrix dengan tatapan menyelidik sembari bertanya, "Apa kamu ingat hari ketika kamu dan kakakmu tiba-tiba pindah ke rumah besar milik Marco?"

Jantung Beatrix seketika berdetak kian cepat seiring pikirannya yang coba mengingat-ingat.

Belum sempat Beatrix menjawab, River sudah bertanya lagi, "Apa kamu ingat hari-hari ketika ada seorang anak lelaki menangis meraung-raung di depan pagar rumah Marco, memohon agar diizinkan masuk, atau sekedar bertemu dengan sang tuan besar? Ingatkah kamu dengan anak lelaki yang tampak menyedihkan itu?"

"Aku yakin kamu ingat karena kamu ada di sana.” River mengulurkan tangan untuk menyentuh dagu Beatrix dan memaksa wanita itu menatapnya. “Kamu menyelundupkan makanan untuk anak lelaki itu setiap pagi dan malam, juga membawakan pakaian hangat milikmu yang terlalu kecil untuk tubuh anak lelaki itu. Kamu ingat itu, bukan?" 

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang