3. Hidup Penuh Ketakutan

1K 51 1
                                    

Beatrix termenung sepanjang malam di salah satu kamar mewah dalam griya tawang milik River. Kamar inilah yang akan Beatrix tempati sampai River merasa bosan menjadikannya mainan dan menendang dia dari sini.

Beatrix sungguh tidak habis pikir bagaimana dirinya bisa terlibat urusan dengan River? Selama ini, hidupnya begitu sederhana. Dia hanya gadis dari kalangan biasa yang hidup berdua bersama kakaknya saja.

Amadea Smith yang terpaut 16 tahun dengan Beatrix, sudah seperti ibu baginya. Amadea yang mengurus dan membiayai Beatrix sejak 20 tahun lalu, tepatnya ketika kedua orang tua mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kala itu, Beatrix baru berusia tiga tahun.

Tidak mudah bagi Amadea untuk membesarkan adiknya yang masih sangat kecil, tetapi dia tidak ingin menyerahkan Beatrix ke panti asuhan. Oleh karena itu, Beatrix sangat menyayangi Amadea. Dia rela mengorbankan dirinya sendiri demi memastikan kakaknya selamat dari cengkeraman River.

Beatrix tetap terjaga sampai pagi dan begitu langit berubah terang, dia memutuskan untuk meninggalkan kamar itu.

"Mau ke mana?" tegur River ketika melihat Beatrix keluar dari kamar mengenakan seragam pegawai yang sedikit koyak karena perbuatannya semalam.

"Pulang," jawab Beatrix tanpa menoleh. Dia berjalan begitu saja melewati meja makan tempat River tengah menyesap kopi.

"Sudah aku bilang kamu akan tinggal di sini mulai sekarang," ujar River dingin.

Beatrix menoleh dan memandang River dengan kemarahan yang tertahan. "Setidaknya berikan aku waktu beberapa hari untuk berpamitan dengan kakakku dan mengemasi barang."

"Kamu tidak perlu waktu selama itu hanya untuk berpamitan." River mendengkus sinis. "Beberapa menit saja sudah cukup. Katakan kepada kakakmu kalau kamu tidak akan lagi tinggal bersama dia. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke sana."

"Aku mungkin hanya butuh waktu beberapa menit untuk bicara dengan kakakku, tapi aku membutuhkan beberapa jam untuk mengemasi barang," bantah Beatrix geram.

"Kamu tidak perlu membawa apa pun ke sini."

"Bagaimanapun juga, aku butuh pakaianku. Kamu pikir apa yang akan aku pakai selama tinggal di sini?" desis Beatrix sinis.

"Tidak pakai apa-apa pun tidak jadi masalah," sahut River tidak peduli.

Beatrix terbelalak tidak percaya. "Kamu ingin melihatku berkeliaran di sini tanpa memakai apa-apa?"

"Apa salahnya?" River tersenyum sinis. "Kamu hanya mainan yang akan aku dekati setiap kali membutuhkan pelepasan. Jadi, tidak ada bedanya kamu berpakaian atau tidak. Pada akhirnya, kamu akan tetap berbaring tanpa apa-apa di tempat tidurku."

Beatrix merasa begitu terhina mendengar kata-kata River. Kemarahan itu membuatnya berani mengabaikan perintah River dan tetap melangkah menuju pintu.

"Begitu kamu bergerak selangkah lagi, aku akan memerintahkan pengawalku untuk mengosongkan salon kakakmu," ujar River kejam. "Mereka akan mengobrak-abrik tempat kakakmu dan menendangnya ke luar."

"Apa hakmu melakukan itu?"

"Tentu aku bisa mengusir penyewa yang sudah berbulan-bulan tidak membayar," jawab River angkuh.

"Tapi kamu bukan pemiliknya."

River tersenyum licik. "Gedung itu sudah aku beli."

Lutut Beatrix lemas seketika. Dia sungguh tidak mengerti apa yang tengah terjadi? "Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?"

"Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya. Membalas dendam dan menyaksikan kalian menderita setiap hari."

Leher Beatrix seperti tercekik mendengar pekatnya kebencian dalam setiap kata-kata River. "Kenapa tidak kamu bunuh saja aku sekalian?"

The Symphony of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang