Sesak, itu yang ia rasakan. Napasnya memburu dengan rasa panas di pelupuk mata. Ia tak pernah menyangka patah hati sebegitu menyakitkannya untuk dirinya yang baru pertama kali mengalami. River mendesah, mendongak memandang langit gelap tanpa bintang. Mendung, bulan purnama yang seharusnya bersinar agung tampak tertutup awan kelabu.
Pemuda dengan iris cokelat itu terdiam di tengah taman sendirian, menikmati angin malam yang dinginnya menyayat tulang, dan memandang kosong langit gelap. Gelap, segelap hatinya yang berani-beraninya merencakan hal-hal tak bermoral demi mendapatkan gadis pujaannya.
Air mata mengalir di kedua pipinya, River akhirnya menunduk. Wajah pongahnya yang seakan menantang langit malam kini sayu menerima kekalahan. Meskipun hatinya bergejolak untuk melakukan hal-hal tak bermoral, beruntungnya pikirannya masih rasional.
Tangan kanannya terangkat, melepas topeng hitam bercorak miliknya sejenak untuk menghapus air mata. Kelopak matanya terpejam, lagi-lagi dirinya hanya terdiam menikmati angin malam yang semakin kencang. Para tamu undangan yang tadinya berjalan-jalan di aula luar memutuskan untuk kembali ke dalam karena sepertinya akan hujan.
Menyisakan River yang masih setia berdiri beratapkan langit. Sosoknya tinggi dan tegap, berkali-kali menarik hati para gadis namun ia tolak secara lembut dengan alasan tengah menunggu seseorang. Namun kini sepertinya seseorang tersebut telah bersama dengan lelaki pilihannya.
"Apa yang kau pikirkan?"
Tersentak, River membeku. Suara seorang gadis yang ia kenal terdengar. Pemuda berambut cokelat itu menahan napas dengan sorot mata yang berusaha ia lembutkan. Setelah mengenakan kembali topengnya serta menata hatinya, River berbalik dengan senyum dangkal.
Ruley Naois, gadis bergaun hijau gelap yang kini berdiri dengan kedua lengan memeluk tubuhnya sendiri karena angin dingin mengernyitkan dahi melihat senyuman di wajah rupawan milik sosok di depannya. Iris kuningnya menyorot lembut, kepalanya sedikit ia dongakkan untuk memandang pemuda di depannya mengingat tubuhnya yang lumayan mungil.
"Kubilang, apa yang kau pikirkan?" ulangnya lagi dengan tekanan di setiap kata. River tak kunjung menjawab, iris cokelatnya sibuk memandangi perwujudan Dewi di hadapannya dengan intens. Hingga pemuda itu akhirnya mengulas senyum lebih dalam dan memberikan salam hormat pada gadis dengan setatus sosial lebih tinggi di depannya.
"Salam kepada Nona Muda Ruley Naois, semoga kedamaian selalu menyertai anda."
Ruley terdiam, memandang tubuh yang kini membungkuk di hadapannya. Gadis itu tak menjawab, ganti terdiam dengan sorot mata tak suka. Ruley memalingkan wajah, memandangi taman bunga kesayangan pamannya yang sepi.
"Membungkuklah sampai aku menjadi Dewi." ketusnya sembari melangkah ke samping untuk membelakangi River. Iris kuningnya menyorot ke depan dengan kesal, salah satu lengannya terulur ke bawah, membelai lembut kelopak bunga yang cantik.
'Kamu memang sudah menjadi Dewi, Ruley. Seorang Dewi yang menguasai hatiku.'
River dengan segenap keberaniannya kembali menegapkan tubuhnya, seulas senyum memanjakan terlukis di wajahnya. Pemuda dengan helai cokelat itu memutat tubuhnya menghadap punggung mungil gadis pujaan hatinya.
Bisikan-bisikan gelap bersumber dari hati terdalamnya berusaha ia tepis jauh-jauh.
"Sepertinya akan hujan, lebih baik anda masuk ke aula dalam. Mari, Nona Ruley."
Diam, Ruley masih diam. Wajahnya sedikit pucat karena angin malam, namun sebenarnya dirinya baik-baik saja. Tubuhnya tak selemah itu, malahan bisa dikatakan bahwa tubuh River lebih rentan terkena flu akibat angin malam.
![](https://img.wattpad.com/cover/358524582-288-k965776.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Destroying Fairytale: Cinderella
FantasyUntuk menghargai jasa Duke dan Duchess Naois yang telah memburu monster magis selama lima tahun, sang Raja mengadakan sebuah pesta perayaan sekaligus pesta ulang tahun keponakannya yang boleh dihadiri oleh keluarga bangsawan maupun rakyat biasa. Sta...