River terlempar ketika Gerald melayangkan pukulan kuat ke perutnya. Pemuda bersurai cokelat itu terbatuk, meringis pelan merasakan perutnya yang ngilu luar biasa diikuti sekujur tubuhnya. Iris cokelatnya menatap ke atas, dimana sosok Gerald tengah menendang tongkat pel yang tadi River gunakan.
"Kau bisa mengepel tidak sih? Kami bisa saja terpleset karena kecerobohanmu dasar abu Anderson!" Arnold mengeluarkan suara pedasnya, diikuti sorot mata jijik melihat genangan air pel yang tumpah kemana-mana akibat Gerald tanpa sengaja menendang embernya.
Kedua saudara tiri River saling lirik, melemparkan seringai masing-masing sebelum akhirnya berlalu meninggalkan sang adik tiri. River menghela napas, mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Beruntungnya Merina, ibu tirinya tengah berada dalam mood yang bagus setelah menjajah butik di kota satu demi satu untuk mendapatkan gaun cantik serta setelan keren untuk kedua putranya.
Memikirkannya, River terkekeh. Pemuda beriris cokelat itu menekuk lututnya, menyangga lantai dengan kedua lengan demi menumpu tubuhnya agar bisa berdiri. Pemuda itu menghembuskan napas kuat, "berharap apa kamu River, dunia ini kejam bagi orang yang tak memiliki apa-apa."
Iris cokelat pemuda itu menyorot sendu pada lantai yang basah, tergenang air dari ember yang saudara tirinya tendang. Pemuda itu meraih tongkat pel yang terjatuh, menggunakan ujung pel untuk menyapu air keluar lewat pintu samping.
Cukup lama River membereskan kekacauan yang ditimbulkan oleh saudara tirinya. Kini pemuda itu meraih jubah rami yang ia punya, bersiap untuk pergi ke pasar untuk mengecek novel ciptaannya.
Langkah berat ia ambil menuju ruang keluarga Anderson, dimana sosok Merina tengah menikmati secangkir teh dengan sebuah buku keuangan di tangannya. River menghela napas, mendekati Merina dan menundukkan kepalanya.
"Nyonya, bolehkah saya pergi ke pasar?"
Mendengar suara anak tiri yang tak ia sukai, Merina menghentikan tangannya. Cangkir teh berhenti tepat di depan bibir merah Merina ketika suara River terdengar. "Memangnya pekerjaanmu sudah selesai?" Setelah satu tegukan teh, Merina bertanya ketus.
River mengangguk, "sudah nyonya." Mendengarkan jawaban putra tirinya, bukannya menampakkan wajah puas, wanita itu malah mengernyitkan dahinya. "Pergi." Ketusnya dingin.
Mendapat perizinan meski dengan nada ketus, River menganggukkan kepalanya dan berlalu tanpa menoleh ke belakang. Sampai di depan pintu keluar kediaman Anderson, River mengulurkan kedua tangannya ke depan, gumpalan lemak berambut putih mendarat dengan aman.
River mengulas senyum, "ayo ke pasar, Travey." Pemuda itu mengulurkan tangan ke bahu, membiarkan tikusnya memanjat dan berdiam di sana.
Langkah demi langkah yang River lalui menuju ke pasar merupakan salah satu hal yang membuat hatinya merasa lapang. River merasa sesak ketika berada di kediamannya sendiri. Pemuda itu menghela napas, menyenandungkan syair-syair manis karangan sosok-sosok hebat di Kerajaan Fairytale.
Sesekali pemuda itu mengusak lembut perut Travey yang menonjol. Merasa nyaman, tikus putih itu hanya menonjolkan perutnya semakin jelas. Semakin mendekati toko buku, Travey memanjat tubuh River untuk mencapai tanah. Tikus itu ingin berjalan-jalan menemui teman-temannya.
Melihat toko buku yang berkali-kali dimasuki oleh rakyat, River mengulas senyum dengan jantungnya yang berdegup kencang. Pemuda itu memasuki toko buku dimana cerita romansa karangannya dijual.
Sampai di deretan rak yang berisi karyanya, iris cokelat pemuda itu berkaca. "Ayah, setidaknya aku bisa menerbitkan buku." Gumamnya haru, tak menyadari sepasang iris kelabu yang menatapnya penuh selidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destroying Fairytale: Cinderella
FantasyUntuk menghargai jasa Duke dan Duchess Naois yang telah memburu monster magis selama lima tahun, sang Raja mengadakan sebuah pesta perayaan sekaligus pesta ulang tahun keponakannya yang boleh dihadiri oleh keluarga bangsawan maupun rakyat biasa. Sta...