o -- 11

32 3 0
                                    


River menggoyangkan sebelah kakinya resah, perjalanan menuju ke istana memakan waktu yang cukup lama dan ia berangkat cukup terlambat. Sophia yang melihat kegelisahan sahabatnya menghela napas.

"Apa yang kau khawatirkan? Terlambat? Kupikir tidak masalah." ujarnya berusaha menghibur sahabatnya. Menerima penghiburan dari Sophia membuat River mengulas senyum, pemuda itu mendesah dan melayangkan pandangan ke jendela kereta kuda.

"Bukan, hanya saja jika dia sudah bersama yang lainnya... Bagaimana?" 

Arthur berdeham, berusaha menyembunyikan tawanya. Sementara itu Sophia sudah terbahak dan menepuk dahinya lelah. "Ayolah, kau pikir Nona muda itu gadis yang seperti apa?" tanyanya, "tenang saja, aku menjamin Nona muda itu tidak akan berdansa dengan laki-laki selain dirimu."

Arthur mengangguk, pemuda pirang itu menyorot iris cokelat River. "Benar, aku setuju dengan Sophia. Duduklah dengan tenang River." 

Melihat sahabatnya yang masih gelisah, Sophia mengangkat sedikit ujung gaunnya untuk menendang kaki sahabatnya. "Pestanya masih nanti jam delapan malam, ini masih pukul enam lebih. Tenanglah, lagipula nanti kita harus mengantre panjang untuk mendapatkan topeng sebelum memasuki halaman istana." terang Sophia panjang lebar.

Mendengar pestanya masih lama dimulai, River akhirnya menghilangkan kegelisahannya. Pemuda itu mengulas senyum dan mengusap keringat di lehernya. "Baiklah, maaf karena aku mengkhawatirkan hal yang tidak perlu." katanya tulus.

Arthur menggeleng, "tidak, aku bisa memaklumi kekhawatiranmu. Rasanya sesak dan marah ketika membayangkan seseorang yang kau suka bersama lelaki lain." cuitan dari tunangannya membuat Sophia merona malu, gadis itu mengingat tingkahnya yang terlalu dekat pada River.

"Apakah.. Kamu sempat cemburu pada River?" tanya Sophia ragu-ragu, kedua lengannya yang terbalut sarung tangan sepanjang siku menggenggam lengan Arthur lembut. Anggukan dari Arthur membuat Sophia menunduk penuh sesal, sementara River hanya bisa terdiam.

Melihat tunangannya murung, Arthur menepuk lembut puncak kepala gadisnya. "Itu dulu, sebelum aku mendengar cerita-ceritamu tentang situasi River. Jadi, River juga tidak perlu merasa bersalah." hibur Arthur lembut.

Mendengarnya, River mendesah dan menundukkan kepala. "Maafkan aku, sepertinya dulu kalian juga sempat salah paham karenaku bukan? Sekali lagi, maaf." ujarnya tulus. Meskipun rasa kesal di hati Arthur dulunya sempat membuncah, namun kali ini dirinya benar-benar sudah tidak masalah.

"Tidak perlu minta maaf. Tapi untuk menghargaimu, aku memaafkanmu." Setelah mengucapkannya, Arthur menggerakkan tubuhnya untuk menghadap tunangannya. Kedua tangan pemuda berambut pirang itu menangkup wajah Sophia lembut. Ibu jari Arthur mengusap pipi tunangannya.

"Hei, kita sudah menyelesaikan masalah itu dengan baik bukan? Jadi, tidak perlu merasa bersalah lagi, Sophia. Ayo, mana senyum manismu."

Gadis bergaun jingga itu menghambur ke pelukan tunangannya, tak mempedulikan riasan di wajahnya yang kemungkinan besar akan terhapus dan menempel di setelah atas Arthur. Meski begitu, Arthur terkekeh dan membalas pelukan tunangannya.

Keduanya sibuk di sunianya sendiri, meninggalkan iris cokelat River yang menatap keduanya jengah. "Bagus, aku dilupakan." gumamnya. Pemuda berambut cokelat itu memilih untuk memandang bulan purnama yang begitu terang lewat jendela. Iris cokelatnya menyorot lembut, "aku tidak sabar bertemu dnegamu, Nona Naois."


-- o --

Iris kuning Ruley memandangi pantulan dirinya di cermin. Sesekali lengannya yang terbalut sarung tangan sepanjang pergelangan mengibas lembut gaunnya yang sedikit mengembang. Gadis itu tiba-tiba merasa lelah sendiri mengingat perjuangannya menggunakan gaun cantik di tubuhnya ini.

Destroying Fairytale: CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang