JTMS2 | terakhir kalinya

2.1K 206 4
                                    

Suara roda kayu yang berputar itu seolah menerobos masuk kedalam badan kereta kuda.

Guncangan-guncangan ringan bisa dirasakan oleh sang wanita tua. Tubuhnya sesekali terombang-ambing bak kapal laut.

Tak jarang juga, tangannya harus mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan agar tidak membentur kerasnya bahan yang dijadikan sebagai badan kereta kuda.

Tidak buruk. Sekarang jalannya sudar rata. Tidak banyak batu juga kerikil yang menganggu.

Kini, seperti bosan dengan pemandangan yang ditawarkan. Tangannya mengambil sesuatu dari dalam tas.

Mata itu menatap potret Seanthasia. Ukurannya yang kecil, sangat cukup untuk ia nikmati sendiri.

Kepalanya di naikkan. "Kau tahu Rayen? Aku harap, Nona Seanthasia bisa hidup bahagia untuk selamanya," ucapnya dengan sedikit berteriak.

Orang yang Cecil ajak bicara harus memasang telinganya baik-baik. Karena, suara Cecil seolah tidak mau kalah dengan angin.

"Harapanku juga sama denganmu, Cecil!" Pria paruh baya bernama Rayen ini terus memacu kuda yang menarik kereta itu dengan kecepatan rata-rata.

Sepasang kuda coklat gagah yang menarik kereta kuda sudah membawa Cecil cukup jauh dari mansion.

"Eh..?" Dia merasakan langkah kudanya mulai melambat. Bahkan sudah benar-benar berhenti sekarang. "Apa ada yang salah, Rayen?" tanya Cecil pada teman seperjuangannya ini.

Rayen melihat Cecil dari jendela yang berada tepat di belakang punggungnya. "Apakah kau yakin, ingin benar-benar pergi dan tinggal di wilayah Constantine?"

Cecil. Wanita tua itu menaikkan sebelah alisnya. "Aku yakin. Kenapa?"

Dia sudah tidak bisa melihat wajah Rayen dari dalam kereta kuda lagi. Pria yang juga pensiun hari ini dan akan terlebih dahulu mengantarkan Cecil sudah menghadapkan wajahnya lurus ke depan.

"Ya ... aku masih heran, Kenapa saat sudah menjauh dari mansion, kau tiba-tiba ingin mengubah arah tujuan. Padahal, Yang Mulia Duke sudah menyiapkan tempat tinggal untukmu," ungkap Rayen.

"Kau baru bertanya sekarang?" Pria tua itu diam, membuat Cecil menarik senyumnya. "Aku ingin menghabiskan waktuku di tempat yang sama dengan suamiku.

Setelah terdiam untuk beberapa saat, Rayen kembali membuka mulutnya, "aku tahu, kamu sudah kehilangan suami sekaligus anakmu karena perang. Tapi, yang aku tidak mengerti adalah ... kenapa kuburan suamimu berada di Constantine?"

Rayen tidak mendengar balasan apapun. Dia menghela napasnya gusar. "Maafkan aku karena lancang, tidak perlu dija-"

"Di ladang bunga yang sudah gersang." Cecil memotong perkataannya. Mata itu seketika kosong. "Tubuh suamiku hancur tanpa tersisa di sana," lanjutnya.

Suara wanita tua itu sedikit bergetar. "Aku mendengarnya dari salah satu kesatria yang selamat. Dia berkata, kalau suamiku sudah berhasil bertahan diantara teman-temannya yang gugur."

"Kesatria itu tidak berani mendekati suamiku. Dia hanya mengintip dari balik pohon. Mengintip suamiku yang sedang mendekati dua orang yang tengah menatapnya dengan tatapan ketakutan." Saliva yang sulit ditelan saat dia bicara.

"Rayen! Kesatria itu berkata, kalau suamiku, seperti hendak membantu dua orang itu! Seorang anak kecil juga seorang wanita!"

Cecil mulai berucap dengan lidah yang kelu. "Tapi, dia baru menyadari sesuatu saat dirinya sudah sangat dekat dengan wanita itu. Tubuhnya mulai membengkak."

Cecil mengadahkan kepalanya ke atas. Air matanya masih bisa tertampung. "Darah mulai keluar dari tubuhnya. Dan, aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Kesatria itu malah melarikan diri."

JANGAN TERLALU MENYUKAIKU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang