Di hari yang sama dengan Lucian yang mengunjungi kedai kopi.
Riftan baru saja membuka sebuah pintu untuk keluar dari rumah yang tampak sangat sederhana.
Pria itu menarik tudung jubah guna menutupi helai rambut ungunya yang begitu menawan.
Langkah kakinya di jalan setapak membawa dia keluar dari hutan. Suara-suara asing itu menarik perhatiannya.
Dari jauh, seorang pria dengan banyak luka tercetak pada tubuhnya berjalan mendekati Riftan.
Pria bertubuh besar itu tampak menakutkan dengan lukanya yang mengering. Riftan dibuat membeku karenanya.
Satu kakinya diseret karena tidak kuat berjalan. Tangan kanannya menahan lengan kiri yang sepertinya sudah remuk. Mulut pria itu terbuka seolah ingin berkata sesuatu.
Bruk!
Riftan melebarkan matanya. Dia langsung bergerak menghampiri pria yang sudah tersungkur di tanah itu. "Tuan! Tuan!" teriaknya.
Bodoh jika Riftan mengajukan pertanyaan apakah pria itu baik-baik saja sekarang. Dengan luka seperti ini, harusnya dia sudah mati.
Riftan menolehkan kepalanya ke samping, tidak ada siapapun selain dia dan pria tidak dikenal itu.
Tiba-tiba, terbesit di benaknya. Sebuah permukiman yang bisa di datangi dengan cepat jika dia berlari tanpa henti.
Dalam pikirannya, Riftan berpikir bahwa ia tidak mungkin menolong pria itu sendirian. Dia membutuhkan bantuan orang lain.
Pria itu mulai berlari dengan cepat. Oksigen lebih cepat masuk dan keluar sekarang.
Napasnya berhembus melalui mulut. Setiap kali Riftan merasa ingin berhenti berlari, wajah pria yang berlumur darah itu terlintas di depannya.
Dia memang bukan ditakdirkan sebagai seorang pelari. Langkah kakinya mulai terasa berat dan tersengal-sengal.
Semakin ia mendekati desa, ujung jubah hitam yang ia kenakan semakin menyentuh tanah.
Jubah hitam itu menyapu semua yang dia lewati sekarang. Baju yang dipakai Riftan terasa longgar.
Bukan baju itu yang membesar, tapi Riftan yang mengecil. Ukuran tubuhnya kembali menjadi bocah berusia sembilan tahun.
"Akh!" Ini akibat tubuhnya yang sekarang memakai baju kebesaran. Dia terjatuh. Riftan meringis kesakitan.
Dengan segera, dia berdiri sebelum ada orang lain di pemukiman itu yang melihatnya berpenampilan seperti ini.
Riftan segera mengedarkan pandangannya. Dia tidak bermaksud melakukan ini. Namun, jika ia ingin menolong pria yang terlihat sekarat itu. Dia harus segera mengganti penampilannya.
Butuh beberapa saat untuk mengenakan pakaian orang lain yang ia ambil sembarang.
"Andai saja aku tidak kelelahan. Aku pasti tidak akan kembali ke tampilan anak kecil," gerutu Riftan.
Anak itu menggerakkan kakinya. Dia berjalan mendekati para orang dewasa yang tengah berbincang.
"Permisi." Riftan meremas ujung pakaiannya. "Saya melihat orang yang sekarat dan butuh pertolongan di hutan sana. Bisakah anda semua menolongnya?"
Orang-orang yang tinggal di permukiman itu melempar pandangan satu sama lain. Sebelum akhirnya memfokuskan perhatiannya pada Riftan.
Riftan bodoh! Mana ada orang yang meminta bantuan dengan nada seperti itu?! makinya pada diri sendiri.
Dia menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuangnya lagi. "Tuan-tuan! Tolong saya! Saya melihat orang yang sekarat di dalam hutan sana! Saya ingin membantunya tapi saya tidak kuat! Tolong saya! Tolong saya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN TERLALU MENYUKAIKU [END]
Fantasía[REINKARNASI KE DALAM NOVEL BL] Seanthasia sedari awal sudah bertekad untuk hidup damai tanpa memperdulikan para tokoh utama dalam novel tempat ia mendapatkan kehidupan keduanya. Semuanya berjalan dengan baik, sampai Duke of Vardion--Ayahnya, membaw...