BAB 3 : MELAWAN PREJUDICE

311 233 46
                                    

Sabtu pagi tiba, dan Faraz duduk di atas tempat tidurnya. Dia memandang pecahan yang ditemukannya di dalam gua Minggu lalu.

Tiba-tiba, Fauzul, masuk ke dalam kamarnya dengan senyum hangat di wajahnya. Dia bertanya dengan penuh kehangatan, "Apakah kamu sudah siap untuk berangkat sekolah, Nak?"

Faraz dengan cepat menyimpan pecahan itu ke dalam saku seragam sekolahnya, menunjukkan kesiapannya, dan menjawab dengan semangat, "Saya sudah siap, Abi."

Fauzul tersenyum bangga dan berkata dengan penuh harapan, "Hari ini adalah hari kelulusanmu, ayo kita pergi." Mereka berdua naik motor dan berangkat menuju sekolah, dengan hati yang penuh harapan dan semangat baru yang membara.

Saat mereka berada dalam perjalanan, mata Faraz tertuju pada sebuah poster besar yang terpampang di pinggir jalan. Poster tersebut menarik perhatiannya dengan gambar-gambar sekolah teknologi terkemuka seperti Blizzardtech, Zelementech, Shadetech, dan Volttech.

Tapi dari keempat sekolah tersebut, Faraz hanya tertarik pada Zelementech. Dia memandang poster itu dengan penuh harapan, berjanji dalam hatinya bahwa suatu hari nanti dia akan menjadi bagian dari sekolah itu setelah menyelesaikan pendidikan di SD.

Sampai akhirnya mereka tiba di pintu gerbang sekolah, dan di sana terlihat banyak siswa yang baru saja datang. Faraz turun dari motor dengan sikap hormat, lalu dengan tulus menyalami Fauzul sebagai tanda penghormatan sebelum memasuki sekolah.

Namun, begitu Faraz mulai berjalan menuju kelasnya, dia merasakan tatapan-tatapan sinis dari beberapa siswa yang berada di sekitarnya. Mereka mulai mencemooh Faraz dan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan tentangnya.

Faraz merasa hatinya terluka mendengar celaan tersebut, tetapi dia memilih untuk tidak merespon dan dengan mantap melanjutkan langkahnya menuju kelas. Ketika dia hampir saja masuk ke dalam kelas, tiba-tiba dia hampir menabrak seseorang.

Orang itu dengan cepat mengucapkan, "Oh, Faraz, aku hampir saja menabrak mu!" Terkejut, Faraz menyadari bahwa orang itu adalah Yovela, seorang teman sekelasnya yang merupakan anak dari pemilik sekolah SD Avelora.

Dengan senyum hangat, Faraz menyapa Yovela, dan Yovela dengan senang hati menjawab sapaannya. Yovela yang awalnya ingin pergi ke kantin tidak jadi dan memutuskan untuk mengikuti Faraz.

Mereka berdua langsung menuju tempat duduk mereka dan Faraz melepaskan tasnya. Saat Faraz duduk, dia merasakan tatapan sinis dari beberapa orang di sekitarnya. Yovela datang mengambil kursi dan duduk di dekat Faraz.

Dengan penuh empati, Yovela berkata, "Jangan ambil hati dengan tatapan mereka, Faraz." Faraz menjawab dengan mantap, "Aku sudah terbiasa."

Yovela menatap Faraz dengan penuh pengertian dan berkata, "Hari ini adalah hari kelulusan, dan mungkin kita akan jarang bertemu lagi." Faraz mengangguk setuju, "Ya, mungkin begitu."

Mereka berdua pun hanya terdiam, menikmati momen terakhir mereka sebagai teman. Suasana di kelas menjadi tegang ketika Jasper, seorang siswa yang terkenal dengan kelompoknya, memasuki ruangan dengan langkah yang keras.

"Hei, kak, mengapa kau mau berteman dengannya?" ejeknya dengan nada sombong, mencoba menciptakan ketidaknyamanan di udara.

Yovela, yang duduk di sebelah Faraz, hanya memutar bola matanya dengan kesal, mencoba mengabaikan provokasi tersebut.

Namun, Jasper tidak berhenti di situ. Ia terus mengolok-olok Faraz, menciptakan suasana yang semakin tidak menyenangkan.

"Kau berteman dengan anak pungut, bisa jadi dia anak haram. Lihat saja dari rambut pirangnya, pasti salah satu orang tuanya adalah orang bule. Dan setelah mereka melakukan itu, mereka membuang Faraz di gua. Sayang sekali," ejek Jasper dengan nada merendahkan.

FARAZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang