"Zayden?" tanya Faraz dengan penuh kebingungan. Orang itu membalas, "Zayden? Di mana dia?" Faraz semakin bingung, tidak mengerti mengapa orang tersebut bertanya tentang dirinya sendiri.
Hibban berdiri sambil menjawab dengan nada santai, "Oh, TechLegacy Zayden sudah pergi ke lapangan. Dan TechLegacy Zidan kemari untuk apa?" Ternyata, nama orang itu adalah Zidan, bukan Zayden.
Faraz merasakan kebingungannya semakin bertambah saat melihat raut wajah penuh kebingungan Zayden. Tapi kemudian, Hibban, dengan riang tertawa kecil.
"Kau pasti bingung, Faraz. Zayden memiliki saudara kembar, yaitu Zidan," jelas Hibban sambil tersenyum lebar.
Saat itu, Zidan ikut tersenyum dan menatap langsung ke arah Faraz. Tatapannya terasa hangat dan penuh kebaikan.Faraz merasa ada perbedaan yang mencolok antara Zayden dan Zidan. Zidan memakai kacamata, sementara Zayden tidak.
Tak hanya itu, Faraz juga memperhatikan seragam sekolah yang mereka kenakan. Zayden tadi mengenakan seragam Zelementech dengan warna merah, kuning, dan oranye, sementara Zidan memakai seragam kuning, biru muda dan putih.
Faraz menyadari bahwa tidak mungkin bagi Zayden untuk mengganti seragamnya dengan begitu cepat. Perbedaan ini semakin memperkuat keyakinan Faraz bahwa dia sedang melihat Zidan di depannya.
Zidan terus menatap Faraz dengan tatapan hangat dan ramah. Pandangannya tidak pernah berpindah dari wajah Faraz. Tatapannya mengungkapkan kebaikan dan pemahaman. Faraz merasa sedikit canggung di bawah tatapan yang tak tergoyahkan itu.
Kemudian, Zidan memalingkan pandangannya ke arah Hibban dan dengan lembut bertanya, "Kapan Zayden pergi?" Hibban ragu-ragu sebelum menjawab, "Hmm, belum terlalu lama, TechLegacy." Zidan mengangguk, sesekali melirik Faraz.
Faraz merasakan campuran perasaan yang rumit di dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa lega melihat senyuman tulus dari Zidan. Senyuman itu membuatnya merasa diterima dan nyaman.
Namun, di sisi lain, ia merasa canggung menjadi pusat perhatian tatapan Zidan yang tak berpaling. Tatapan itu terasa intens, seolah-olah Zidan sedang mencoba mengungkapkan sesuatu yang penting.
Faraz menyadari dengan jelas bahwa Zidan sangat berbeda dengan Zayden. Zidan memancarkan kehangatan dan kebaikan, sementara Zayden membawa aura kesombongan yang terkadang membuat orang lain merasa tidak nyaman.
Perbedaan ini semakin membingungkan Faraz, membuatnya ingin lebih memahami kedua saudara kembar tersebut.Dengan kebaikan yang tulus, Zidan berpamitan untuk pergi. "Baiklah, aku pergi dulu. Assalamualaikum," ucap Zidan sambil tersenyum. Hibban dan Faraz menjawab dengan salam yang sama.
Sebelum Zidan meninggalkan ruangan, ia melihat wajah Faraz sekali lagi. Tatapannya penuh makna, meninggalkan tanda tanya di pikiran Faraz.
Setelah Zidan pergi, Hibban menatap Faraz dengan penuh perhatian. Tatapan mereka saling bertaut, mencerminkan kebingungan yang dirasakan oleh Faraz.
Hibban mengerti perasaan tersebut dan dengan lembut berkata, "Ketika pertama kali melihatmu, aku juga merasa wajahmu terasa familiar, tapi aku tidak bisa mengingatnya.
Mungkin hal itu juga dirasakan oleh Zayden dan Zidan. Mungkin mereka merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan."
Faraz masih terus mencoba mengungkap misteri di balik tatapan misterius Zidan. Hibban kembali duduk dan kemudian memutuskan untuk mengalihkan pikiran mereka ke hal lain.
"Oke, kurasa sudah cukup. Minggu depan kamu akan melihat apakah kamu lulus atau tidak di sekolah Zelementech. Semoga saja kau diterima," kata Hibban dengan harapan yang tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARAZ
De TodoCerita ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Faraz yang terbangun dari mimpi menakutkan. Dia bercerita kepada ayah angkatnya, Fauzul, tentang mimpi tersebut dan pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Mereka berdua mencoba mencari...