Kael segera bangkit dan menundukkan kepalanya dengan rasa penyesalan yang mendalam. "Maaf, maaf," ucapnya dengan suara yang rendah.
Izzah melihatnya dengan ekspresi khawatir dan bertanya dengan kekhawatiran yang terpancar dari matanya, "Sakit ya?"
Kael terdiam sejenak, merasakan kepalanya yang masih terasa nyeri akibat benturan dengan lutut Izzah.
Namun, setelah mempertimbangkan dengan seksama, ia menggelengkan kepala dengan lembut. Ia mengangkat kepalanya dan melihat wajah Izzah yang penuh kekhawatiran.
Izzah tidak puas dengan jawaban Kael dan bertanya sekali lagi, "Kamu yakin tidak sakit?"
Kael menggelengkan kepala lagi, kali ini dengan lebih mantap. Ia ingin meyakinkan Izzah bahwa dia benar-benar tidak merasakan sakit.
Namun, Kael tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya tentang keadaan Izzah. "Bagaimana denganmu?" tanya Kael dengan perasaan cemas yang jelas terlihat dalam matanya.
Izzah tersenyum tipis, mencoba menenangkan Kael. "Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," jawabnya dengan lembut.
Pandangan Izzah penuh pengertian membuat Kael merasa lega. Dia merasa bersyukur atas pemahaman dan kebaikan hati Izzah.
Keduanya saling tersenyum, mencoba melupakan momen canggung tadi dan melanjutkan perjalanan dengan semangat.
Tiba-tiba, Faraz memberi tanda dengan berdehem, menarik perhatian Kael dan Izzah. Mereka berdua menatap Faraz dengan rasa penasaran, sementara Faraz sendiri menatap wajah Javid yang terpaku menatap keluar jendela.
Faraz bertanya dengan antusias, "Kapan kita sampai di sekolah?"
Javid menjawab dengan sabar, "Kurang lebih setengah jam lagi, tergantung pada lalu lintas. Di kota Techtopia, lalu lintasnya memang cukup padat."Faraz mengangguk mengerti, menunjukkan bahwa dia tidak sabar untuk tiba di sekolah.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat, saling berbincang dan menikmati pemandangan di sepanjang jalan.Meskipun awalnya terjadi momen yang canggung, mereka berhasil mengatasi itu dan semakin dekat satu sama lain.
Tiba-tiba, bus pun berhenti. Faraz bertanya, "Kita sudah sampai?" Javid merasa ragu, karena perasaannya sekolahnya masih cukup jauh.
Izzah melihat jam tangannya dan memberitahu bahwa sudah waktunya sholat Dzuhur. Javid menepuk jidatnya, menyadari bahwa mereka belum sampai.
Pandangan Faraz melihat keluar jendela, dan ternyata di depan mereka ada sebuah masjid yang megah.
Mereka semua berdiri, kecuali Kael. Javid bertanya, "Tidak sholat, Kael?" Kael menggeleng, menjawab bahwa dia non-Muslim.
Javid berkata, "Oh, begitu."
Kael tersenyum, lalu Javid berkata, "Ya udah, kita sholat dulu ya, Kael."Kael bertanya, "Tunggu, kalian punya buku bacaan tidak? Soalnya buku bacaanku sudah ku baca tadi di kapal."
Izzah langsung berkata, "Aku ada." Izzah pun mencari di tas ranselnya dan memberikan buku itu kepada Kael.
Kael melihat buku tersebut dan berkata, "Ternyata kau suka matematika, ya?" Izzah menggeleng, menjawab bahwa dia mempelajarinya tapi tidak terlalu pandai.
Kael tersenyum, menghargai kejujuran Izzah. Mereka bertiga pun segera pergi ke masjid, meninggalkan Kael.
Faraz langsung terkagum saat masuk ke dalam masjid, sambil terus mengucapkan "Masya Allah" dengan keindahan masjid di kota Techtopia.
Masjid megah dengan arsitektur futuristik dan modern yang menakjubkan. Javid tersenyum melihat reaksi kagum Faraz.
Mereka berdua segera berwudhu dan bergabung dengan jamaah untuk melaksanakan sholat berjamaah.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARAZ
AléatoireCerita ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Faraz yang terbangun dari mimpi menakutkan. Dia bercerita kepada ayah angkatnya, Fauzul, tentang mimpi tersebut dan pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Mereka berdua mencoba mencari...