Faraz berusaha menyembunyikan kekagetannya, namun rasa heran yang tak terbendung masih terlihat jelas.
Altair, yang peka terhadap perubahan ekspresi Faraz, merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh temannya tersebut.
Rasa ingin tahu yang menggelora dalam dirinya membuat Altair tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Kenapa? Apa ada yang salah?"
Faraz segera memberikan jawaban cepat, mencoba meyakinkan Altair bahwa tidak ada yang salah.
Namun, Altair masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Faraz. Meski demikian, Altair memilih untuk tidak mengejar pertanyaannya lebih jauh.
Ketika mereka tengah berbincang, tiba-tiba Fauzul dan Zuhair keluar dari masjid dan mendekati mereka.
Fauzul dengan ramah menyapa, "Abi pergi duluan, ya Faraz. Ada urusan penting di kebun." Faraz mengangguk dan menjawab, "Baiklah, aku akan pulang bersama Altair."
Fauzul mengerti dan memberikan salam kepada Faraz dan Altair sebelum pergi. Mereka berdua dengan sopan membalas salam tersebut.
Tak lama setelah Fauzul pergi, matahari semakin terang, mereka memutuskan untuk pulang.
Altair memberikan kode dengan mengangkat alisnya, sebuah isyarat yang sudah menjadi tradisi mereka untuk melanjutkan rutinitas berlari pagi setelah sholat subuh.
Altair langsung meluncur, dengan Faraz tak mau kalah, ia pun segera mengikutinya. Dalam semangat persaingan, mereka berlari dengan penuh semangat.
Altair dan Faraz berlari di ujung lorong yang sempit, napas mereka tersengal-sengal sambil berlari dengan penuh semangat.
Suara langkah mereka bergema di sepanjang jalan yang sunyi. Dengan tatapan penuh keyakinan, Altair tak bisa menahan diri untuk menyatakan keyakinannya, "Aku pasti akan menang!"
Namun, Faraz dengan rasa percaya diri yang tak kalah, menjawab dengan tegas, "Tentu saja, aku yang akan menang!"
Mereka saling beradu pandang, saling melemparkan senyuman kompetitif. Kemudian, dengan sisa tenaga yang mereka miliki, mereka berlari secepat mungkin melalui lorong-lorong jalan kecil.
Kaki mereka menghentak dengan kuat, menciptakan suara yang bergema di sepanjang jalan yang sunyi.
Akhirnya, mereka mencapai tujuan mereka. Altair keluar sebagai pemenang, tersenyum dengan terengah-engah.
Namun, Faraz tetap tersenyum, meskipun dengan sedikit keluhan. Ia berkata, "Kau curang, Altair."
Altair menyipitkan matanya dengan wajah polos, bertanya dengan nada bercanda, "Di mana letak kecurangan ku?"
Faraz masih terengah-engah ketika ia menjawab, "Tadi kau berlari duluan, seharusnya kita berlari bersama-sama biar adil."
Altair tersenyum lebar, menunjukkan bahwa ia merasa senang dengan kemenangannya.
Dengan penuh semangat, Altair menjawab, "Tapi, Faraz, dalam persaingan, terkadang kita harus berani mengambil keuntungan. Itu bukan kecurangan, tapi strategi!"
Mereka berdua saling menatap dengan senyum di wajah mereka. Tawa riang pecah dari bibir mereka, mengisi udara dengan kegembiraan.
Momen persahabatan mereka semakin kuat setelah berlari pagi yang penuh semangat.
Altair menatap Faraz dengan tulus dan bertanya, "Apakah nanti kau sholat Dzuhur di masjid?"Faraz menjawab dengan penuh keyakinan, "Insya Allah." Altair tersenyum dan mengucapkan salam. Faraz menjawab dengan salam yang sama, menunjukkan rasa hormat mereka satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARAZ
RandomCerita ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Faraz yang terbangun dari mimpi menakutkan. Dia bercerita kepada ayah angkatnya, Fauzul, tentang mimpi tersebut dan pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Mereka berdua mencoba mencari...