Fauzul berhenti sejenak, memikirkan jawabannya. Alih-alih menjawab langsung, dia memutuskan untuk menunjukkan jawabannya kepada Faraz. Dengan senyuman misterius, Fauzul mengajak Faraz mengikutinya.
Mereka berjalan melewati batas peternakan sapi, melintasi perkebunan luas milik Fauzul. Langkah mereka melintasi jalan berdebu, dengan matahari terik bersinar di atas kepala.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di sebuah hutan yang rimbun. Suara gemericik air dari sungai kecil di sebelah kiri terdengar jelas. Fauzul menunjuk ke arah sebuah gua tersembunyi di balik pepohonan. Cahaya redup terpancar dari dalam gua, menciptakan aura misteri yang menggoda.
Faraz merasa penasaran dan excited. Dia mendekati gua dengan detak jantung yang berdegup kencang. Fauzul mengikutinya dengan cermat, mengamati setiap gerakan Faraz dengan senyuman di wajahnya.
Mereka berjalan perlahan, menghirup udara segar yang kental dengan aroma dedaunan. Saat mereka memasuki gua, suasana berubah drastis.
Kelembaban tinggi dan udara dingin membuat mereka sedikit menggigil. Cahaya redup membuat bayangan berdansa di dinding gua. Faraz merasakan getaran pesona yang kuat di dalam hatinya.
Namun, ketika mereka melihat jaring laba-laba yang bergelantungan di langit-langit gua dan kegelapan yang menyelimuti lorong-lorong yang belum tersentuh, Fauzul memutuskan untuk tidak melanjutkan. Dia menggaruk kepalanya, merasa menyesal.
"Maafkan Abi, Faraz. Abi lupa membawa senter," ucap Fauzul dengan nada penyesalan.
Faraz hanya menggelengkan kepalanya, senyum masih terukir di wajahnya. Meski kecewa, dia menghormati keputusan Fauzul.Saat mereka kembali ke perkebunan Fauzul, Faraz merasa lapar tetapi menahan diri untuk tidak menyebutkannya. Namun, perutnya yang keroncongan tidak bisa disembunyikan.
Fauzul mendengarnya dan tersenyum, memahami permintaan yang tidak terucapkan dari Faraz.
"Kalau kamu lapar, bilang saja, jangan diam-diam," kata Fauzul dengan lembut.Faraz menjawab dengan lembut, "Hmm, sebenarnya, aku lapar."
Fauzul tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, mari kita pulang, dan Abi akan memasak makan siang untuk kita."Fauzul menambahkan, "Nanti kalau ada apa-apa, bilang aja sama Abi. Meskipun Abi bukan ayah kandungmu, sebagai ayah angkat mu, kamu adalah tanggung jawab Abi, Faraz."
Mereka berjalan bersama menuju rumah Fauzul. Fauzul memiliki dua rumah, salah satunya terletak di kota dan yang lainnya berdekatan dengan kebun. Di kebunnya, Fauzul memetik sayur bayam dan mengambil rempah-rempah.
Faraz menawarkan bantuan dan menanyakan apakah Fauzul membutuhkan bantuan. Fauzul menjawab bahwa Faraz bisa membantu dengan memasak nasi menggunakan rice cooker agar lebih cepat. Faraz mengangguk dan pergi ke dapur.
Dengan semangat tinggi, Faraz dan Fauzul mulai beraksi di dapur. Faraz dengan hati-hati mengukur air dan beras, sementara Fauzul dengan keahliannya mengolah rempah-rempah. Aroma harum dari rempah-rempah itu pun menyebar di seluruh dapur.
Tidak lama kemudian, nasi yang faraz masak sudah matang dan harum. Dengan senang hati, Faraz mengeluarkan nasi dari rice cooker dan meletakkannya di meja. Fauzul datang dengan wajah ceria, membawa sayur bayam yang sudah dimasak dengan sempurna. Mereka duduk bersama di meja makan, menunggu hidangan dengan penuh kasih sayang.
Di antara percakapan hangat mereka, terasa kebahagiaan keluarga yang sejati. Meskipun bukan ayah dan anak kandung, tetapi hubungan mereka penuh dengan cinta dan perhatian.
Mereka menikmati makan siang bersama, sambil berbagi cerita dan tawa. Saat Faraz bertanya mengapa mereka tidak tinggal di sini saja, Fauzul menjawab sambil menghentikan suapannya, "Karena kamu masih sekolah, Faraz. Jika kita tinggal di sini, kamu bisa terlambat."
KAMU SEDANG MEMBACA
FARAZ
AcakCerita ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Faraz yang terbangun dari mimpi menakutkan. Dia bercerita kepada ayah angkatnya, Fauzul, tentang mimpi tersebut dan pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Mereka berdua mencoba mencari...