41.|| Pertandingan

127 9 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَللِّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيّدِنَا مُحَمَّدِِ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمّدِِ







Waktumu sangat berharga jika dibuang untuk hal sia-sia. Fokuslah pada hal yang membuatmu bernilai.







⋋✿ ⁰ o ⁰ ✿⋌

"Wiss, Sain. Kemana aja Lo?! Tumben banget baru datang? Lo tau gak, tim basket Lo pada nyariin. Mereka bilang, mereka takut kalau sampai Lo nggak datang ke sekolah."

"Ngapain takut? Nggak atau adanya gue gak bakalan ngerubah apapun, kalau takdirnya harus menang, ya menang. Tapi kalau kalah, ya udah terima. Lagian kan di-tim juga pada hebat-hebat kok pemainnya."

Advik mengerjap pelan mendengar ucapan Husain yang demikian. Berkali-kali ia mengucek mata karena takut penglihatannya salah, takut jika didepannya bukanlah sosok Husain—sahabatnya. Karena apa? Ya karena Advik merasa sedikit aneh saja dengan laki-laki itu yang bisa berkata sedemikian panjang.

"Ini Lo kan? Ini beneran Husain, kan?" tanya Advik dengan tatapan yang masih lekat memandang Husain.

"Ck! Apa lagi sih, Vik?!"

Advik mengerjap ketika mendengar suara Husain yang terdengar kesal padanya. Ia mundur selangkah, masih mencoba menelisik jika Husain didepannya beneran si dingin yang selalu menjadi sahabatnya.

"Tumben Lo nggak eneg kalau ngomong panjang kali lebar kayak gitu?" tanya Advik membuat Fadgham dan Hasan hanya menyumbang helaan napas panjang. Memang, teman mereka yang satu itu tingkat kelebayannya benar-benar sudah mendarah-daging.

"Lagi senang aja." kata Husain yang mulai berjalan menuju lokernya untuk mengambil seragam olahraganya. Tinggal menghitung jam, semua tenaganya akan terkuras dilapangan indoor nantinya.

Advik masih melongo mendengar jawaban Husain yang demikian, pemuda itu kemudian menghampiri Husain yang mulai menggantikan pakaiannya ke kaos olahraga.

"Tunggu dulu!"

"Ck! Apa lagi?" tanya Husain menatap malas pada sahabatnya yang menghentikan ia yang akan memakai kaos olahraganya.

Advik memicingkan mata pada leher sahabatnya. Kemudian dengan cepat dia mengangkat kaos putih yang lelaki itu kenakan, sehingga membuat Husain terkejut akan tingkahnya.

"Lo mau ngapain sih, Vik?" seru Husain menurunkan kaosnya kembali. Tidak akan ia biarkan perut atletisnya terumbar dihadapan orang-orang, karena yang mempunyai hak sepenuhnya hanyalah Winda. Istri tercintanya.

"Oh, oke. Gue tahu sekarang, kenapa Lo bisa sebahagia ini. Emang ya, orang kalau udah punya pawang tuh beda. Apa lagi yang udah nikah, sampai cakar-cakaran gitu. Rawr." kata Advik dengan nada berbisik diakhir ucapannya. Tangannya dengan jahil membentuk cakaran, seolah dirinya akan menerkam mangsanya dengan ganas.

Wajah Husain benar-benar dibuat merah hanya karena tingkah absurd temannya. Karena kesal, Husain comot mulut cerewet Advik agar lelaki itu segera diam.

"Sekali lagi Lo ngomong, gue bawa ceker ayam ke hadapan Lo." celetuk Husain dengan seringai tipis, membuat Advik susah payah menelan salivanya. Tentu saja, ceker ayam adalah hal menakutkan yang tidak pernah ingin dirinya lihat. Sampai kapan pun.

𝐇𝐔𝐒𝐀𝐈𝐍 𝐒𝐔𝐀𝐌𝐈𝐊𝐔 || HIATUS DULUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang