— RUMAH TANPA ATAP —
Hari yang cukup melelahkan, dan terus terulang setiap harinya.
Hari ini Bianca berangkat ke toko pada pukul tujuh pagi, pulangnya pukul delapan malam. Jika bukan karena kebutuhan, Bianca tak mungkin menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang melelahkan seperti itu. Menyapa pelanggan, membersihkan debu, serta merapikan barang-barang di rak.
Langkah Bianca terhenti, di depan rumah dia sudah disambut oleh keberadaan seorang wanita yang tidak lain tidak bukan adalah bibinya—adik dari alm. Ayahnya. Rumahnya bersampingan dengan Bianca dan adik-adik, sudah pasti sering terjadi drama di antara mereka.
"Maaf, uangnya belum ada."
Wanita itu tidak peduli dengan apa yang berusaha Bianca sampaikan melalui bahasa isyaratnya, ia malah mengambil paksa kantung plastik di tangan Bianca. Ketika tidak menemukan uang di sana, ia dengan tega menghempas kantung plastik berisi makanan untuk adik-adik, dan dia beralih mencari dompet Bianca.
"Ayah kamu itu berhutang banyak sama saya!" tandasnya, sebutlah Bibi Nana.
"Sedang diusahakan, nanti, kalau ada uang, dibayarkan."
Nana menghempas tangan Bianca yang bergerak sebagai upaya berkomunikasi. Wanita itu menunjuk Bianca dengan jari telunjuknya yang mengarah sempurna pada kening Bianca. Dengan tanpa perasaan dia mendorong kening Bianca menggunakan telunjuk tersebut.
"Cepat-cepat lunasi, deh!" kesal Nana. "Saya mau pindah dari sini, bosan tinggal dekat dengan orang-orang seperti kalian!"
Bianca membungkuk hendak mengambil barang bawaannya, tetapi dengan tidak berperasaan Nana malah menginjak punggung tangan Bianca. Pandangan mata Bianca tertuju pada kantung plastik itu, ia tidak peduli ketika telapak tangannya dibuat nyeri oleh tekanan yang diberikan Bibi Nana.
"Dasar gadis bisu!" umpat Nana. "Awas saja kamu, kalau sampai tidak bisa melunasi hutang!"
Bianca memejamkan matanya begitu Nana bergegas pergi, secara otomatis tekanan yang diberikan makin kuat. Beruntunglah wanita itu sekarang pergi, dan lebih beruntungnya lagi dia hanya menginjak punggung tangan Bianca, tidak dengan isian kantung plastik bawaannya.
Dengan perlahan Bianca mengusap noda di punggung tangannya, sudah tidak lagi nyeri karena luka fisik sering ia terima. Bianca bergegas ke rumah, begitu membuka pintu ia sudah disuguhi pemandangan hangat di antara keempat adiknya yang tengah menonton film bersama.
Mendengar pintu yang ditutup serta dikunci, membuat keempatnya kontan menoleh. Maka detik itu juga senyum dari bibir mereka mengembang, terlebih saat Bianca mengangkat kantung plastik berisi bujukan agar adik-adiknya tak merajuk karena ia pulang malam.
"Teh Aca!!!"
Wilona dan Nirina berlomba untuk memeluk Bianca lebih awal, sampai pada akhirnya mereka sama-sama memeluk Bianca di waktu yang samaan. Selena turut beranjak, ia mendorong kursi roda Katarina untuk menyambut kepulangan Sang Teteh.
Katarina mengerutkan dahinya. "Teteh jangan sok kuat!"
"Benar, Teh Aca, tidak boleh, pulang terlalu malam!" timpal Selena dengan menyertakan bahasa isyaratnya. "Teh Aca, melanggar, peraturan!"
"Jangan marahi Teh Aca!!!" bela Wilona, ia menguyel-uyel pipinya di lengan Bianca. "Teh Aca, Teh Aca, Teh Aca. Teteh bawa es krim kesukaan Wilo?"
"Teteh beli sate pesanan Nirin?" sahut Nirina yang tidak kalah manjanya pada Bianca.
Bianca melepas Wilona dan Nirina untuk memberitahu adik-adiknya mengapa ia sampai pulang malam hari ini. Dia tidak punya kata untuk diucap, tetapi dia punya bahasa isyarat yang bisa dimengerti adik-adiknya. Kecuali Wilona dan Nirina, mereka mengerti nya tergantung keadaan saja.
"Teteh, bawa, semua, pesanan kalian." Bianca memberitahu seraya mengulurkan kantung plastik itu. "Nih, buka, saja."
"Es krim! Es krim! Es krim!" seru Wilona berulang.
"Sate ayamnya punya Nirin!" pekik Nirina saat Wilona mengeluarkan sate yang dimaksud. "Terima kasih, Teh Aca!!!"
"Es krim!!!" pekik Wilona senang bukan main. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih, Teh Aca!"
Bianca terkekeh dibuatnya, ia balas mengangguk sebagai jawaban dari ungkapan terima kasih mereka. Wilona dan Nirina bergegas ke sofa untuk menikmati pesanan mereka, sementara Katarina dan Selena masih belum terima atas kepulangan Bianca hari ini.
"Bagaimana, kalau, Teteh, sakit?" tanya Katarina.
Selena mengangguk setuju. "Teteh, harus, pulang, tepat waktu."
"Teteh, ambil, lemburan," balas Bianca. "Ini, makanan, yang kalian, pesan."
"Tidak mau!" tolak Katarina. "Teteh, sudah, melanggar, peraturan!"
"Kami, di sini, cemas. Takut, terjadi, apa-apa, sama Teteh." Selena menyahut seraya menggerakkan tangannya.
Bianca lagi-lagi terkekeh. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menenangkan Katarina dan Selena yang sulit dibujuk oleh makanan. Beda lagi dengan Wilona sama Nirina, mereka berdua hanya perlu dikasih makanan saja, langsung pergi dengan tenang.
Namun, Katarina dan Selena malah merajuk. Mereka berdua kini memalingkan pandangan ke sembarang arah sembari melipat kedua tangan di bawah dada. Bianca makin ingin tertawa saja melihat perilaku mereka berdua, lucu.
Kantung plastik itu jatuh dari genggaman Bianca, ia berlagak memegangi perutnya yang membuat Katarina dan Selena kontan menghampirinya.
"Kan!!!"
"Teh Aca, ih!!!"
"Teh Aca kenapa?"
"Teteh lupa makan, ya?"
"Kan, sudah dibilang bekerjanya jangan sampai malam!"
"Teh Aca, jangan sakit~"
Bianca tertawa. Kemudian ia merengkuh paksa Selena ke dalam pelukannya, lalu memaksanya untuk sedikit membungkuk agar Katarina ikut dipeluk juga.
Teh Aca tahu saja, bagaimana cara mengalihkan atensi adik-adiknya.
"Teh Aca beli ciki pesanan Lena, kah?" tanya Selena.
Mengangguk, Bianca melepas pelukan itu dan mengambil kantung plastiknya yang dibiarkan tergeletak di lantai. Bianca serahkan kepada mereka berdua, karena yang tersisa di sana hanya milik mereka.
"Teh Aca, Wilo belepotan!" seru Nirina.
"Nirin juga belepotan!" balas Wilona tidak mau kalah.
"Wilo yang belepotan!"
"Nirin!"
"Wilo!"
"Nirin!"
"Wilo!"
Bianca bergegas menghampiri keduanya, alangkah terkejutnya Bianca melihat noda di sekitaran bibir dua adik bungsunya tersebut. Wilona dengan noda es krim cokelatnya, dan Nirina dengan noda bumbu satenya.
Dengan pengertian Bianca mengambil beberapa helai tisu, satu persatu ia bersihkan nodanya. Demi apapun, kalau mereka tidak lucu dan bukan adiknya, Bianca tidak akan sesabar ini.
"Terima kasih, Teh Aca~"
Bianca dapat pelukan mereka lagi, ia merasa hangat ketika pulang ke rumah disambut seperti ini. Rasa lelah yang sebelumnya hendak ia keluhkan, hilang seketika.
"Kok, tangan Teh Aca merah?" tanya Katarina, mata elangnya menangkap bekas merah yang khas di punggung tangan Bianca. "Lena, kamu lihat, deh."
Selena memicingkan matanya. "Teh Aca, tangannya kenapa?"
"Ini?" Bianca menunjukkan bekas kemerahan itu. "Biasa, tadi, kejepit pintu kulkas. Tapi, tidak apa-apa, kok."
"Teh Aca, kerjanya jangan ceroboh, dong," ujar Katarina sedih.
Senang menjadi Bianca, dia disayang oleh adik-adiknya. Dan senang pula menjadi adik Bianca, bisa disayang sebegitu besarnya oleh Bianca.
Meskipun rumah mereka sudah lama kehilangan atap pelindung itu, tetapi mereka berhasil menjaga keutuhan satu sama lain.
— RUMAH TANPA ATAP —
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Atap
Fanfic[COMPLETED] Sinb ft Aespa Bianca tidak bicara, Katarina tidak berjalan, Selena tidak mendengar, Wilona tidak kunjung dewasa, dan Nirina tidak waras. [19-02-24] #1 Winter [19-02-24] #1 Giselle