05. Nirin

548 85 37
                                    

— RUMAH TANPA ATAP —

Nirina itu ... anak baik-baik, kok. Hobinya kalau tidak bernyanyi ya melukis. Jika dia punya keinginan yang kuat, dia bisa saja menunjukkan karya-karyanya kepada semua orang. Namun, Nirina terlalu takut jika hasilnya tidak memuaskan. Terlebih Nirina jarang mengasah kemampuan melukisnya karena kekurangan modal membeli bahan-bahan.

Nirina tidak waras, begitu katanya. Dia yang menjadi sangat tertutup semenjak kepergian kedua orang tuanya, memiliki banyak sekali perubahan dalam hidup. Nirina didiagnosis bipolar beberapa bulan pasca ditinggal kedua orang tua. Perubahan suasana hatinya benar-benar sering terjadi, itulah yang menjadi alasan mengapa Nirina jarang masuk sekolah dan dianggap tidak waras.

Nyatanya, Nirina juga ingin lepas dari penyakit mental tersebut. Namun keadaan selalu menghakimi dirinya, hingga membuatnya melakukan tindak menyakiti diri sendiri. Banyak bekas luka di tubuhnya, apalagi pada bagian lengannya.

"Bibi Nana," panggil Nirina. "Teh Ririn sakit, boleh minta obat parasetamol?"

Wanita itu menghembuskan napas kasar, ia yang sedang merawat beberapa tanaman hias di depan rumah pun hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Teh Aca belum pulang," ucap Nirina. "Teh Lena juga belum pulang."

Waras. Nirina ini waras orangnya, hanya sewaktu-waktu dia akan berubah menjadi seseorang yang penuh dengan emosi.

"Obat di rumah kalian tidak tersedia apa?" tanya Bibi Nana. "Enak saja main minta-minta, bayar dulu hutangnya ke saya!"

Nirina menunduk. "Nanti kalau Teh Aca sudah pulang, Nirin kasih tahu biar diganti."

"Memang Teteh kamu yang bisu itu tidak menyimpan uang, hah? Lagian, sakit apaan Si Katarina itu? Paling demam biasa," cerocos Nana.

"Teh Ririn pusing," jawab Nirina. "Nanti diganti, kok. Teh Aca juga pasti bayar hutangnya, kebetulan uang di laci habis jadi—"

"Berisik banget, deh!" cetus Nana, ia mengguyur wajah Nirina dengan air yang mengalir dari selang itu. "Sana pergi! Berhutang saja ke warung, saya tidak mau rugi!"

Kedua tangan Nirina mengepal, kemudian ia berbalik untuk segera ke rumah dan memastikan kondisi Katarina yang sedang demam.

"Dasar miskin! Kalau bukan karena punya hutang, saya ngga sudi ada di sini!"

Nirina memberhentikan langkahnya, ia mengangkat sebelah kaki dan mengambil sandal yang kemudian ia lemparkan hingga mendarat sempurna di kepala Bibi Nana.

"HEH, NGGA WARAS KAMU, SIALAN!"

"JANGAN KABUR NIRINA!"

"NGGA SOPAN!"

Nirina menjulurkan lidahnya meledek, lalu ia berlari kencang dan masuk mengunci diri di rumah. Bibi Nana menggedor pintu rumah, tetapi Nirina menutup kedua telinganya dan segera pergi ke kamar tempat Katarina beristirahat. Belum ada yang pulang.

"Teh Ririn," panggil Nirina. "Obatnya ngga dikasih, Teteh tahan dulu pusingnya, ya? Teh Lena mungkin sebentar lagi pulang."

Katarina mengangguk. "Kenapa Bibi Nana teriak-teriak?"

"Diakan gila," kata Nirina. "Nirin peluk Teteh, ya? Mungkin bisa ngebuat Teteh lebih tenang."

Katarina mengangguk lagi, mendengar sekaligus melihat sikap Nirina saat ini, berarti suasana hatinya sedang sangat baik. Baguslah, tak membuat Katarina kerepotan. Mengingat ia tak bisa berjalan, jadi kalau ada apa-apa pada Nirina, Katarina akan sangat menyesal jika sampai dia tidak bisa menolongnya.

"Teh Ririn," panggil Nirina. "Kok, Nirin sering dibilang ngga waras? Nirin gila?"

Katarina mengecup kening Nirina. "Siapa yang bilang? Adiknya Teh Ririn inikan pintar, terus baik juga."

"Jadi Nirin waras?"

"Iya, Nirin jangan dengarkan ucapan tidak baik siapa pun." Katarina membelai rambut Nirina dengan penuh kasih sayang. "Teteh minta maaf, ya. Kalau semisal Teteh ngerepotin."

"Nirin sayang Teh Ririn."

"Teteh juga sayang sama Nirin."

— RUMAH TANPA ATAP

"Kenapa Teh Aca tidak mau diantar pulang saja?"

Bianca menoleh sekilas, selanjutnya ia kembali menatap ke depan yang mana jalanan sedang mereka tempuh saat ini. Wilona masih membahas tentang pria itu, pria bernama lengkap Jehan Pradipta. Tadi mereka berpapasan di pertengahan jalan, tapi Bianca menolak diantarkan.

"Teh Aca, Teh Aca, Teh Aca," panggil Wilona.

Bianca menoleh, kemudian ia melihat tangan Wilona yang terulur menunjuk ke seberang jalan. Bianca tidak mau peduli pada awalnya, tapi melihat pemuda itu harus dijatuhkan dan menyaksikan gitarnya dipatahkan membuat rasa kasihan itu timbul.

"Tolong, tolong, tolong!" ulang Wilona seraya mundur dari tempatnya. "Wilo takut darah, Wilo takut darah, Wilo takut darah!"

Hal yang Bianca lakukan ialah memeluk Wilona, ia dengan sekuat tenaga menahan Wilona yang terus berontak karena ketakutannya. Buru-buru Bianca melangkahkan kakinya tanpa melepas pelukan. Dalam hatinya terus memohon maaf, sebab tak membantu kemalangan yang menimpa pemuda itu. Bagaimana pun, Wilona adiknya.

Pelukan itu merenggang setelah mereka sampai di halaman rumah, Wilona pun jauh lebih tenang sekarang.

"Wilo takut, Teh Aca."

Bianca menggelengkan kepala, meyakinkan Wilona untuk tidak takut lagi. Lalu, Bianca menuntun Wilona masuk ke rumah. Wilona langsung bergegas ke kamar ketika Bianca mengunci pintu rumah, Wilona menurut saat Bianca menggerakkan tangannya menyuruh dia segera ke kamar.

BUGH!

Keras sekali pukulan itu, Bianca meringis kesakitan saat sesuatu yang tumpul menyentuh tengkuknya. Napas Bianca tercekat.

"TEH ACA JAHAT! TEH ACA TIDAK TINGGALKAN UANG! TEH ACA BUAT NIRIN DIMARAHI BIBI NANA! TEH ACA JAHAAAAAT!"

Selena mencekal lengan Nirina, ia menarik Nirina menjauh dari dekat Bianca yang baru saja kena pukulannya. Bianca menghadap ke arah Selena dan Nirina, ia menatap bingung atas apa yang sedang terjadi saat ini.

"Nirin, tenangkan diri kamu," bisik Selena. "Jangan seperti itu sama Teh Aca, Teh Aca kecapean habis bekerja untuk kita!"

"TAPI TEH ACA JAHAAAAAT!" jerit Nirina. "Nirin benci sama Teh Aca! Nirin tidak suka sama Teh Aca! Nirin benci Teh Acaaaaaa!!!"

"Nirina!" tegur Selena. "Maaf, ya, Teh. Pas aku pulang Nirin memang sudah menangis, terus pas ditanya katanya habis dimarahi Bibi Nana."

"Kenapa?"

"Teh Ririn demam, terus Nirin mau minta obat ke Bibi Nana, tapi malah dimarahi," tutur Selena di sela menahan gerakan memberontak Nirina yang kini ia peluk kuat-kuat.

"Ririn sakit?"

"Iya, tapi sudah lebih baik, sekarang," jawab Selena. "Sudah beli obatnya."

"Lepasin!!!" pekik Nirina. "Nirin mau pukul Teteh, Nirin kesal sama Teh Aca!!!"

"Nirin berhenti!" tekan Selena. "Kamu mau membangunkan Teh Ririn yang sedang istirahat? Kamu itu harus jaga emosi kamu, Nirin!"

Nirina menatap Bianca dengan tajam. "Kenapa Teh Aca diam saja? Teh Aca memang tidak peduli sama adik-adiknya, ya? Teh Aca jahat!!!"

Dengan sekuat tenaga Selena membalik tubuhnya, membuat Nirina kontan tak lagi menatap Bianca. Pasti akan makin panjang nantinya, bisa-bisa membuat Wilona ikut gelisah juga.

"Teteh, bersih-bersih saja dulu, Nirin biar Lena yang urus!" ucap Selena.

Kenapa Nirina tidak pakai uang yang di laci untuk beli obat? Kan, Bianca selalu menaruhnya untuk persediaan orang rumah.

"Teh Aca tidak sayang sama adik-adiknya lagi!"

"Nirin, sudah!" tegur Selena masih berusaha.

— RUMAH TANPA ATAP

Rumah Tanpa AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang