08. Harus Kaya Raya

514 70 17
                                    

— RUMAH TANPA ATAP —

"Terima kasih Pak~"

Serra menuntun Wilona masuk ke dalam toko, kedatangannya tentu membuat Bianca yang tengah membereskan beberapa makanan di rak pun kontan teralihkan. Jarang sekali Wilona pulang sambil dituntun begitu, kecuali dia sedang sakit.

"Adikmu sakit," ucap Serra. "Tadi diantar sama Pak Theo, kepala sekolahnya, kan?"

Bianca mengangguk, lalu ia meraih Wilona dari Serra untuk menanyakan apa yang dirasa oleh adiknya hingga ia memilih pulang lebih awal. Pilihan Wilona pulang ke sini mungkin lebih tepat, dibanding harus diantar sampai ke rumah dan memiliki waktu tambahan dengan pria itu. Wilona takut padanya.

"Apanya yang sakit, Wilo?" tanya Serra, mewakili Bianca yang tak punya kata terucap.

Wilona meraba perutnya, ia juga tiba-tiba saja memeluk Bianca dan menenggelamkan wajahnya di bagian leher Sang Kakak. Bianca dan Serra saling beradu tatap, jika begini sepertinya Wilona sangat kesakitan.

"Wilo," panggil Serra. "Ke rumah sakit, ya?"

"Ah, jangan!" pekik Wilona, ia makin memeluk Bianca. "Jangan, jangan, tidak mau, tidak mau, tidak usah!"

Bingung. Sebelah tangan Serra terangkat hendak mengusap rambut Wilona, dan tiba-tiba saja Wilona menjerit seraya menangkis tangan Serra yang bahkan belum lama menyentuh rambutnya.

"Bie, kamu bawa Wilo ke ruang istirahat, gih," saran Serra. "Biar aku yang jaga toko."

Bianca mengangguk, lalu ia menuntun Wilona untuk segera pergi ke ruang beristirahat. Saat dilihat, wajah Wilona begitu pucat, belum lagi keringat membasahi dahinya yang menunjukkan kalau dia ketakutan. Tapi, apa yang membuat Wilona sampai ketakutan begini?

"Wilo tidak boleh beritahu, Wilo tidak boleh beritahu, Wilo tidak boleh beritahu!" jerit Wilona sembari mendorong Bianca dari dekatnya. "Argh!!! Wilo tidak boleh beritahu!!!"

Sebelum mereka sampai ke ruang beristirahat itu, Wilona tiba-tiba saja mengamuk. Ia menjerit-jerit seraya meremas rambutnya sendiri, Serra bahkan sampai menghampiri untuk membantu Bianca yang rapuh agar menenangkan Wilona. Meski tubuh Wilona itu kecil, tapi ketika dia mengamuk begini, sulit untuk Bianca tangani seorang diri.

Baru ketika ada kesempatan, Bianca mendekap Wilona erat. Ia menahan kuat-kuat Wilona meski terus berontak serta menangis tersedu-sedu. Wilona juga tidak mengatakan apapun, dia hanya terus menyebut untuk tidak memberitahu saja. Apa yang tidak boleh diberitahu?

Bianca menarik tubuh Wilona untuk segera masuk ke ruangan, sebab ada beberapa pelanggan yang sedang di toko saat ini. Kalau dibiarkan di sana, pasti mengganggu mereka semua.

"Lepaskan!"

"Lepaskan!"

"Lepaskan!"

Bianca tak melepasnya, tapi Wilona berhasil melepasnya. Mata Bianca yang tajam menusuk tepat ke mata Wilona yang begitu sayu, walau fokus Wilona tidak selalu pada Bianca, tapi yakinlah ia sedang balas menatap Bianca saat ini.

Bianca maju selangkah. Dia membalik tubuhnya, lalu menepuk bagian bahu seolah memberi Wilona ruang untuk memukulnya saja.

Jemari Wilona bertaut satu sama lain, karena keadaannya dia tak pernah bisa menatap ke satu titik dalam waktu yang lama. Tak lama kemudian, Wilona memukul punggung Bianca. Pukulan pertama masih terlihat ragu, namun di pukulan selanjutnya Wilona dengan leluasa memukul punggung Bianca, ia juga menjerit berurai air mata.

Tubuh Bianca terhentak-hentak, tapi ia berusaha tetap berdiri meski rasa nyeri menerima pukulan Wilona makin menjadi. Hingga, satu tetes darah mengalir dari salah satu hidungnya, Bianca tidak kuat lagi, kemudian ia membalik tubuhnya memeluk Wilona yang ternyata masih bisa memukulnya padahal kini posisinya sedang dipeluk erat sekali.

Rumah Tanpa AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang