12. Rasakan!

513 70 51
                                        

— RUMAH TANPA ATAP —

"Ganteng, kan?"

"Tuh, jadi banyak pelanggan yang datang ke sini karena dia."

"Kalau boleh, sih. Dia lanjut bekerja di sini, lumayan juga wajahnya bisa ngebuat omset naik."

"Bie, kalau masih sakit, mending kamu pulang aja, deh."

Bianca mendelik, dia tahu apa yang sedang ada di pikiran Serra saat ini. Sahabatnya yang genit ini pasti mau berduaan sama brondong itu. Serra memang tidak pernah memandang yang lebih tua atau muda, selagi lelaki itu tampan dan ber-uang, Serra akan jatuh cinta.

"Kamu, mau modus, kan?"

Serra cengengesan, ia sampai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena canggung sendiri. Serra sendiri tidak begitu sulit memahami Bianca, dia sudah bertahun-tahun berdampingan dengan Bianca, sudah tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya.

"Jangan modus sama dia, dia terlalu muda."

"Tapi dia ganteng, Bie! Kalau Bapaknya ngga bisa aku miliki, aku bisa dapatin anaknya, dong," ucap Serra sembari mengerucutkan bibirnya. "Boleh, kan? Apalagi dia anak pertamanya Pak Jehan, kayaknya bakalan cocok sama aku, deh."

Bianca memutar malas bola matanya, lalu ia menepuk bahu Serra menyadarkan sahabatnya untuk tidak terlalu berhalusinasi.

"Kalau tidak keberatan, aku mau pulang saja, boleh?"

"Boleh!!!"

Serra kontan membekap mulutnya sendiri, ia tersenyum kikuk pada pelanggan yang menoleh ke arah dirinya karena sudah memekik kencang.

"Tapi bohong!"

"Ih, Bianca!!!" pekik Serra sambil menyusul Bianca yang melangkah ke meja kasir.

Rendi menoleh dan tersenyum menyapa kedatangan Bianca, pemuda ini terlihat sangat ramah. Serra langsung saja menempel di sebelah Bianca, merangkul lengan sahabat seperjuangannya agar bisa mewakili Bianca bicara.

"Nama saya Rendi," sapa nya seraya mengulurkan sebelah tangan.

"Serra!" serunya sembari menjabat tangan pemuda tersebut. "Dan ini Bianca, orang yang ditolong sama Ayah kamu itu."

Rendi tersenyum kikuk, dia tidak tahu bagaimana cara melepas tangan yang terus digenggam oleh Serra saat ini. Setelah mendapat tatapan penuh peringatan dari Bianca, Serra baru mau melepaskannya.

"Kamu mau kerja sampai kapan di sini?" tanya Serra, ia menggeser posisi Bianca hingga dirinya yang berdiri berhadapan dengan Rendi. "Omong-omong, kamu kelas berapa sekarang?"

"Oh?" sahut Rendi canggung. "S-saya, saya kuliah semester dua, Tante."

"Tante?!"

Bianca tertawa dibuatnya, ia kontan melipat kedua tangan di bawah dada merasa sangat puas mendengar panggilan untuk Serra dari pemuda tersebut. Memang sudah pantas dipanggil tante-tante, mengingat usianya sudah cukup untuk menikah dan punya lima anak.

"Panggilnya Teteh, dong," tawar Serra. "Kan, biar akrab."

Bianca mendorong lengan Serra, ia mengambil buku catatan kecilnya yang selalu tersedia di meja kasir. Gunanya untuk berkomunikasi dengan para pelanggan pastinya, mengingat tak semua paham bahasa isyarat.

"Tugas kamu sudah selesai, kamu boleh pulang," tulis Bianca.

"Oh? Begitu, ya?" balas Rendi. "Kalau sampai sore saja, bagaimana? Saya tidak suka berhenti di tengah jalan, kebetulan juga saya tidak ada jadwal siaran."

Rumah Tanpa AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang