— RUMAH TANPA ATAP —
Cukup berisik. Tapi, aroma obat begitu menyeruak pada indera penciumannya. Bianca kontan beranjak duduk, dia terkejut saat menyadari keberadaannya saat ini. Dia berada di salah satu bilik rumah sakit, dengan infusan yang menempel di sebelah tangannya.
Bianca kelabakan, dia tidak tahu apa yang telah terjadi kepadanya sampai bisa berakhir di tempat seperti ini. Tidak lama, korden pembatas setiap bilik itu terbuka dan datanglah Serra dengan wajah paniknya.
"Masih hidup!"
"Alhamdulillah~"
Tidak ada yang lebih disyukuri selain sadarnya Bianca saat ini. Serra menghela napas lega sembari mengusap dadanya, dia sungguh bersyukur saat datang ke sini disambut oleh sadarnya Bianca.
"Bie!!!"
"Aku khawatir banget, tahu!!!"
"Kenapa kamu maksain pergi, sih?"
"Kenapa kamu tidak istirahat aja di rumah?"
"Bie, udah dibilang kalau lagi sakit itu jangan dipaksain!"
"Apa-apa kalau dipaksain ngga baik!"
Bianca hanya bergeming, bahkan dia tidak protes ketika Serra mencubit kedua pipinya memastikan kebenarannya.
"Bie!!!" pekik Serra sembari memeluk Bianca. "Plis, jangan pingsan-pingsan begini, apalagi sampai diinfus, takut banget!!!"
Bianca mendorong pelan tubuh Serra dari pelukan itu.
"Udah gapapa, kan?"
Bianca mengangguk.
"Bie, takut banget terjadi sesuatu sama kamu~" rengek Serra. "Kalau bukan sama kamu, aku bingung harus gimana lagi jaga toko nanti."
"Bagaimana dengan toko?"
Serra cengengesan, Bianca yang sudah menduga toko ditinggalkan pun melotot marah padanya. Toko tidak ditinggalkan saja masih ada pencuri, apalagi kalau ditinggalkan.
"Ada anaknya Pak Jehan," kata Serra. "Tapi bukan Si Kembar, kok! Katanya anak pertamanya, dia penyiar radio gitu, dan ditelepon buat jaga toko karena aku disuruh ke sini."
Bianca menghela napas pendek, ketika hendak turun dari ranjang Serra malah menahannya.
"Mau ke mana?"
"Jangan ke mana-mana dulu, tunggu sampai Dokter bilang boleh pergi!"
"Tenang aja, anaknya Pak Jehan yang itu amanah, kok! Malahan keliatan baik-baik, gantengnya si sebelas dua belas sama Bapaknya," celoteh Serra sembari membayangkan.
Tapi Bianca tetap tidak ingin diam saja, ia mendorong Serra dan mulai turun dari ranjang rumah sakit tersebut.
"Eh, iya sabar dulu!" tahan Serra. "Aku panggilin dulu Suster buat cabut infusan nya."
Bisa berbahaya kalau Bianca yang tarik infusan nya, nanti malah makin mengancam kondisinya. Ada cara tersendiri untuk membuka infusan, dan itu dilakukan oleh orang profesional.
Serra kembali dengan seorang suster, Bianca menunggu dengan sabar sampai infusan itu lepas dari lengannya.
"Seluruh biaya rumah sakitnya dibayar sama Pak Jehan, terus tadi Pak Jehan minta maaf karena ngga jagain kamu, dia ada kerjaan," tutur Serra di sela menuntun Bianca.
"Berapa banyak?"
Serra menggelengkan kepalanya. "Entah. Tapi katanya, kebetulan aja anak bungsunya lagi dirawat juga di sini, jadi sekalian bayar semuanya."
![](https://img.wattpad.com/cover/361604235-288-k501299.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Atap
Fanfiction[COMPLETED] Sinb ft Aespa Bianca tidak bicara, Katarina tidak berjalan, Selena tidak mendengar, Wilona tidak kunjung dewasa, dan Nirina tidak waras. [19-02-24] #1 Winter [19-02-24] #1 Giselle