— RUMAH TANPA ATAP —
Bianca berlari. Dia yang belum sepenuhnya pulih dari operasi benar-benar kehabisan begitu banyak tenaga. Dia sudah berkeringat dingin, perutnya terasa nyeri apabila terus memaksa berlari. Padahal, Bianca hanya berlari dari arah gerbang sekolah hingga ke gedungnya.
Bibirnya sudah pucat sekarang, ia membungkuk sembari memegang perutnya yang terasa sangat nyeri. Kemudian, Bianca menggelengkan kepalanya menepis segala rasa sakit karena ada yang perlu ia temui.
Sebuah pesan dengan maksud memintanya segera ke sekolah benar-benar telah mengguncang ketenangan Bianca. Jantungnya berdebar hebat, betapa Bianca dipenuhi ketakutan yang berlebih.
"Lena~"
"Tunggu Teteh~"
Bianca bergumam di sela langkahnya, dia menghapus semua rasa sakit pada dirinya sebab Selena jauh lebih ia khawatirkan. Sesampainya di lobi, Bianca langsung dituntun menuju ke tempat Selena berada. Hatinya tidak tenang, pikirannya sudah melayang entah ke mana. Bianca belum bisa pulih dari kehilangan Katarina, dan hari ini dia harus menghadapi ketakutan lagi.
Bianca takut.
Bianca takut kehilangan adiknya lagi.
Ramai di sini, Bianca mendapatkan ruang agar bisa melihat adiknya dengan lebih jelas lagi. Tubuhnya membeku di tempat, Bianca tidak tahu apa yang saat ini dia saksikan.
Kedua tangannya terangkat dengan gemetar, ia membekap mulutnya sendiri dan air mata lantas mengalir membasahi kedua pipi. Bianca menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, kemudian ia memaksa langkahnya agar sampai pada Selena yang terbaring tak berdaya di lantai.
Oh, jangan lupakan satu hal. Tali tambang yang menggantung di atas sana. Ada luka memerah di leher Selena, dan Bianca berkali-kali memastikannya berharap luka itu tidak dibuat oleh tambang yang menggantung di atas sana.
"Lena~" lirih Bianca gemetar. "Hei, Teteh di sini, Sayang."
Suara Bianca terdengar gemetar, bahkan sekujur tubuhnya pun seperti menolak untuk tetap tenang. Bianca berlutut di sebelah tubuh Selena yang sudah tidak berdaya itu, kemudian Bianca mencondongkan tubuhnya untuk menggapai wajah Selena.
Bianca membelai wajah adiknya dengan penuh kasih sayang, senyum getir muncul menghiasi wajah cantiknya. Tidakkah ini terlalu mengejutkan?
"Lena, kamu dengar Teteh, kan?" tanya Bianca sembari mengguncang lengannya. "Hei, Teteh di sini, lho."
Salah seorang dewan guru menghampiri Bianca, mengusap lengan Bianca berharap bisa menenangkan.
"Tidak, tidak, tidak."
"Kamu harus ikhlas."
Bianca menggelengkan kepalanya, kemudian dia menjerit dan memeluk tubuh Selena yang sudah tidak bernyawa itu. Ya, tidak bernyawa lagi.
"Lena bangun!"
"Selena, bangun!"
"Kamu bakalan tinggalin Teteh, begitu?"
"Selena, kamu belum bahagia!"
"Selena, Teteh belum kasih semua yang kamu mau, bangun!"
"Selena~"
"Lena, bangun~"
"Adik bangun~"
Suasana di sana berubah menjadi menyedihkan, tidak ada yang tidak menangis mendengar suara gemetar seorang Bianca.
"Selena!" panggil Bianca, ia mengangkat kepalanya dan mengusap bekas merah di lehernya. "Ini masih bisa diobati, Teteh bakalan obati, ayo bangun."
"Ikhlaskan."
![](https://img.wattpad.com/cover/361604235-288-k501299.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Atap
Fanfiction[COMPLETED] Sinb ft Aespa Bianca tidak bicara, Katarina tidak berjalan, Selena tidak mendengar, Wilona tidak kunjung dewasa, dan Nirina tidak waras. [19-02-24] #1 Winter [19-02-24] #1 Giselle