03. Lena

753 104 9
                                        

- RUMAH TANPA ATAP -

Selena itu anak yang penurut, ia gadis baik-baik yang hidup dengan keterbatasan mendengar. Ia menjadi satu-satunya harapan Bianca, sebab dia lolos ke sekolah umum dengan Nirina, bedanya Selena masuk lewat jalur beasiswa sedang Nirina melalui jalur biasa, jarang masuk sekolah pula, kalau Wilona sekolah di sekolah khusus, dan Katarina, ia tidak melanjutkan pendidikannya sebab tak ingin merepotkan.

Selena ini disebut yang paling beruntung dari saudari-saudarinya, ia bisa memakai baju seragam dan belajar di sekolah umum yang selalu diharapkan orang-orang. Dan Selena pun tidak pernah membuang kesempatan itu, dia selalu melakukan yang terbaik, agar beasiswa yang ia dapatkan tidaklah sia-sia.

Akan tetapi, keterbatasannya itu tidak mudah diterima oleh teman-teman di sekolah. Terlebih ketika teman satu kelasnya memiliki jiwa sempurna yang cukup. Mereka berpikir bahwa Selena itu gadis yang tidak pantas berada di antara mereka, mengingat statusnya sebagai murid beasiswa sekaligus gadis keterbelakangan mendengar.

Selena menguatkan dirinya untuk tetap bertahan, ia mencabut alat bantu dengarnya ketika tidak diperlukan. Dia hanya akan memakai alat bantu dengar itu ketika jam pelajaran tiba saja, sebab saat itu orang-orang tidak sedang membicarakan dirinya.

"Selena."

"Iya, Bu?"

Selena tidak tahu apa kesalahannya hingga dipanggil ke ruang guru sekarang.

"Mohon maaf, sepertinya kamu tidak bisa maju ke olimpiade matematika nanti."

"Ada apa, Bu? Bukannya saya sudah banyak mendapatkan pelatihan untuk ke olimpiade nanti?"

"Mereka tahu kekurangan kamu, katanya kamu tidak mungkin menang," tutur Sang Guru. "Mohon maaf, Lena."

Selena terpaku membisu, dia pikir sekolah ini akan memahami keadaannya. Namun ternyata dia salah, sekolah tingkat menengah atas ini sama saja seperti saat ia masih di jenjang sekolah menengah pertama. Ketika Selena sudah mati-matian belajar dan mengikuti serangkaian pelatihan untuk olimpiade matematika, tiba-tiba saja diberhentikan.

Alasannya karena dia keterbatasan mendengar, tapi ketika di SMP ada murid yang lebih dekat dengan dewan guru yang menggantikannya. Entah dengan kali ini, apakah keputusannya memberhentikan Selena benar-benar karena kekurangan Selena atau ada orang yang dekat dengannya.

"Tak apa, ya?" ucap Sang Guru, sebutlah Mirna. "Nanti kamu bisa ikut perlombaan lainnya."

Selena mengangguk paham. "Baik, Bu. Saya mengerti, terima kasih."

"Ya, silakan. Kamu boleh ke kelas sekarang."

Selena beranjak berdiri, ia mengucap terima kasih sekali lagi sebelum pada akhirnya membalik tubuh untuk pergi. Kakinya melangkah cukup lebar agar sampai di kelas tepat waktu, ia juga dipanggil Ibu Mirna tepat ketika bel pertanda jam masuk dimulai. Dia harap belum ada guru masuk kelas sekarang.

"Ayah sudah bicara sama Ibu Mirna, nanti kamu yang bakalan ikut olimpiade matematika, bukan gadis tuli itu, kok!"

"Ayah, masa iya aku kalah bersaing dengan gadis tuli itu? Aish, menyebalkan!"

"Tidak apa-apa, Sayangku. Sekarang kamu akan mewakili sekolah ini untuk olimpiade matematika, berjuanglah setelah ini."

"Baik, Ayah!"

Selena tidak ingin mendengar lebih detail lagi, ia membuka alat bantu dengarnya dengan cukup kuat hingga menyebabkan dengung yang keras. Selena meringis sembari memegang telinganya, tak lama ia dapat merasakan cairan kental mengalir begitu saja dari telinganya. Darah di sana, dan rasanya sakit luar biasa.

- RUMAH TANPA ATAP -

Bianca mengelap peluh di dahinya, ia baru saja membereskan beberapa barang yang sedikit berantakan di rak. Sementara itu, ada temannya yang berjaga di kasir, dia lebih pantas di sana sebab bisa berbicara serta menyapa setiap pelanggan yang datang.

"Bie," panggil gadis itu sembari melambaikan tangan. "Bianca!"

Bianca menoleh, kemudian ia menghampiri temannya yang tiba-tiba saja memanggil. Barangkali ada yang bisa Bianca bantu, mengingat tugas membereskan barang di rak sudah selesai.

"Kamu jaga di sini dulu, bisa?"

Bianca mengangguk.

"Oh iya, nanti sering-sering cek CCTV, takutnya ada kecurangan pelanggan."

Bianca mengangguk lagi.

"Kalau begitu, aku pamit ke belakang dulu, lapar banget, nih."

Ya, sekali lagi Bianca mengangguk. Kini dia berdiri di depan kasir, menunggu pelanggan datang. Setibanya beberapa pelanggan, Bianca menyambut dengan senyum serta kedua tangan yang menyatu satu sama lain. Tak ada kata keluar dari bibirnya, tetapi senyum tulusnya sudah mewakili setiap sapaan yang ada.

Sepasang mata Bianca menangkap hal janggal, yakni para murid Sekolah Menengah Atas yang memasukan beberapa camilan ke dalam tas. Dua murid tersebut memasukan sekitar empat camilan tanpa sedikit pun menyadari adanya kamera CCTV di sekitar.

Lagipula, kenapa mereka sudah berkeliaran? Sedang saat ini masih pukul dua belas siang, belum waktunya mereka keluar dari sekolah.

Dua pemuda itu menaruh beberapa minuman ke meja kasir untuk dibayar, mereka senyum-senyum tidak jelas sembari menatap Bianca yang tengah menghitung total belanjaan tersebut. Mereka tidak tahu saja, kalau Bianca sudah menangkap basah pencurian itu.

"Berapa?"

Bianca tidak menjawab.

"Cepat, berikan semua minuman itu pada kami."

Bianca hanya berdiri sembari memegangi kantung plastik berisi minuman itu.

"Jumlahnya tidak lebih dari dua puluh ribu, kan?" tanya salah satu di antara mereka. "Ini uangnya, dan cepat berikan semua itu pada kami."

Bianca melangkah keluar dari meja kasir, ia segera menarik paksa tas yang dijadikan tempat untuk mereka berdua menaruh camilan-camilan itu. Sempat terjadi aksi perebutan, sampai pada akhirnya Bianca berhasil mengambil tas tersebut dan membukanya.

"APA-APAAN, SIH!" bentak pemuda itu murka. "Tidak sopan!"

Bianca terkejut, dia yakin kalau mereka memasukan camilan ke dalam tas ini. Lalu untuk memastikan lebih lanjut, Bianca menarik paksa tas pada pemuda yang satunya lagi, barangkali mereka memindahkannya ke sana.

Tapi kosong.

"BICARALAH!" bentak salah satu dari mereka. "Kasir di toko ini sangat tidak ramah!"

Bianca tidak tahu harus bagaimana setelah ini, ia menyatukan kedua telapak tangannya memohon maaf untuk semua kesalahpahaman itu. Namun, dua pemuda labil yang merasa tidak dihargai sudah sangat marah, mereka mengambil uang yang sudah diserahkan lalu pergi dari toko.

Bianca meremas rambutnya sendiri merasa sangat frustrasi. Sudah jelas mereka berdua mencuri camilan dan memasukannya ke dalam tas, tetapi bagaimana bisa tas itu menjadi sangat kosong?

Dan minuman yang mereka pesan itu, harus Bianca bayar sendiri karena sudah terhitung di kasir. Hari sial seperti ini tak pernah ada dalam kalender, Bianca terkadang ingin berhenti tapi dia sadar kalau yang menerimanya hanya toko ini.

"Bie, kenapa tadi ada yang teriak-teriak, ya? Kedengarannya di dalam toko, apa aku salah dengar?"

Bianca menyibak rambutnya ke belakang, temannya tidak salah dengar. Yang berteriak memang berada di dalam toko.

"Ada apa, Bie?"

"Maaf, aku, yang salah." Bianca mengakuinya. "Aku, akan ganti rugi, semuanya."

"Hah? Kenapa bisa?"

"Tadi, aku, salah menuduh pelanggan, jadi mereka, pergi."

"Aduh, Bianca. Kamu ini kenapa, sih? Harus lebih hati-hati, dong, apalagi yang kamu hadapi itu pelanggan, jangan sampai salah."

Bianca mengaku salah, dan Bianca sangat menyesalinya.

- RUMAH TANPA ATAP -

Rumah Tanpa AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang