— RUMAH TANPA ATAP —
Bianca lelah. Tapi, Bianca harus tetap bertahan untuk memenuhi seluruh kebutuhan adik-adiknya. Dengan gaji yang tak seberapa itu, membuat Bianca terkadang ingin menangis, apalagi saat uangnya habis sebelum akhir bulan tiba. Rasanya Bianca tidak bertanggung jawab atas kehidupan adik-adiknya, padahal sudah diusahakan.
Hal yang paling Bianca takutkan ialah, ketika keempat adiknya sama-sama membutuhkan. Bianca takut tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka, Bianca pun tak mungkin mendahulukan salah satu dari mereka, dia tidak ingin terjadi perpecahan di antara mereka.
"Permisi~"
Bianca spontan menyatukan kedua telapak tangannya, senyum yang ia paksakan langsung saja memudar saat mengetahui siapa yang datang.
"Halo? Bisa hitung semua pesanan saya?"
Bianca tak banyak bicara, ia langsung saja menghitung seluruh bawaan yang telah berada di meja kasir saat ini. Pria itu menatap Bianca dengan senyum, lesung pipinya pun nampak sebab senyumnya yang makin lebar. Mungkin toko ini akan menjadi toko langganannya, dia akan sering-sering ke sini, selain bertanggung jawab atas kenakalan anaknya, dia juga ingin menjumpai gadis penjaga kasir ini.
"Mereka datang lagi, kan?" tanyanya.
Penghitungan itu terhenti, Bianca mengangkat pandangannya dan mengangguk menjawab pertanyaan pria tersebut—Jehan Pradipta. Dia makin tersenyum saat pandangan mereka bertemu, benar-benar terlihat sangat manis.
"Hitung saja dengan kerugian itu," katanya. "Oh iya, kamu sendirian saja? Ke mana teman kamu?"
Bianca hanya menggeleng, kemudian ia melanjutkan proses penghitungan barang bawaan Jehan. Total belanjaan muncul di layar, saat itu juga Jehan mengeluarkan beberapa lembar uang beserta kartu berwarna hitamnya.
"Saya tahu, kamu tidak menyertakan kerugian kamu di sana, jadi kartu ini untuk bayar belanjaan dan uang ini untuk bayar ganti rugi," tuturnya. "Cukup, kan?"
Pintu toko terbuka, Bianca menyapa dengan senyum hangat pada kedatangan seorang pria yang tak lain tak bukan merupakan kepala sekolah Wilona. Mungkin dia datang kemari untuk mempertanyakan kondisi Wilona, mengingat Wilona pulang lebih awal tadi siang.
Jehan menghembuskan napas kasar. "Pesanan saya selesaikan dulu, bisa?"
"Bagaimana keadaan Wilona?" tanya pria itu, ia berdiri di sebelah Jehan sekarang. "Saya tidak sempat mengantarnya sampai kemari, ada rapat di sekolah."
"Sudah lebih baik, dia sedang beristirahat."
Pria itu balas tersenyum, dia paham dengan gerakan tangan Bianca yang bertujuan sebagai komunikasi.
"Apakah Wilona, masih ada di sini?" tanyanya sembari menyertakan bahasa isyarat.
Bianca mengangguk. "Ada, sedang tidur."
"Baiklah, saya cukup lega dengan kabar baik ini."
Jehan memutar malas bola matanya, ia mendorong pria bernama Theo agar Bianca menatapnya. "Bereskan pesanan saya dulu, bisa?"
Bianca balas menatapnya tak suka, kemudian ia mengulurkan satu kantung plastik belanjaan Jehan beserta mengembalikan kartunya. Oh iya, Bianca juga mengambil kembalian untuk uang ganti rugi yang diberikan oleh Jehan.
"Ganggu saja," kesal Jehan sembari mendelik ke arah Theo.
Theo mengernyit bingung, dia tak begitu mendengar apa yang diucapkan oleh Jehan barusan. Selanjutnya, Theo berkomunikasi melalui bahasa isyarat yang begitu Bianca hafal, menyisakan Jehan yang kesal bukan main karena teralihkan begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Atap
Fanfiction[COMPLETED] Sinb ft Aespa Bianca tidak bicara, Katarina tidak berjalan, Selena tidak mendengar, Wilona tidak kunjung dewasa, dan Nirina tidak waras. [19-02-24] #1 Winter [19-02-24] #1 Giselle