20. Suaranya

430 63 54
                                    

— RUMAH TANPA ATAP —

"Jangan pergi."

Suara itu bukan milik Selena ataupun Nirina, sungguhan. Mereka berdua terlihat mematung dengan pikiran yang sudah melayang entah ke mana. Benarkah demikian?

"Jangan ada yang pergi."

Lagi, suara itu terdengar. Genggaman tangan Selena pada lengan Nirina kontan mengendur, sepasang matanya berkaca-kaca. Tidak, bagaimana ini bisa terjadi?

Kemudian, kepala Selena seperti mendapat serangan benda tumpul yang menyakitkan. Ia dibawa pada kenangan masa lalu saat sebelum kecelakaan.

"Teh Aca!!!"

"Kejar kalau mau!"

Selena memberhentikan langkahnya, ia membungkuk sembari mengatur napas sebab kelelahan mengejar Sang Teteh. Dia mengusap peluh di dahi, baru setelah dirasa tenaganya kembali ia bangkit lagi.

"Eh, bukannya kamu mau ikut Ibu sama Ayah pergi, ya?" tahan Bianca.

"Lho? Iya, baru ingat!"

"Lupain dulu boneka ini, sebaiknya kamu temui Ibu sama Ayah."

"Oke, Teh!"

Selena berbalik, dia mengabaikan boneka panda itu karena ingat akan pergi memenuhi undangan keluarga besar dari Ayah, bersama Katarina. Bianca sendiri tidak ikut, dia menolak pergi sebab ada Wilona dan Nirina yang sudah tidur. Kasihan kalau mereka berdua ditinggalkan.

"Buruan sana pergi, nanti ditinggalkan menangis."

"Tapi balikin nanti bonekanya, ya?"

"Gampang!"

Selena meringis sembari memegangi kepalanya, ia mundur selangkah dan hampir jatuh karena kehilangan keseimbangannya. Bayangan itu terjadi beberapa jam sebelum kecelakaan menimpa mereka, sebelum Tuhan merenggut nyawa kedua orang tua mereka di malam yang sama, dan sebelum Tuhan mencabut nikmat mendengar Selena serta nikmat berjalan Katarina.

"Teteh ngga bisu?" Selena berucap dengan suara yang gemetar. "Tapi kenapa, Teh?"

Bianca memalingkan pandangan ke sembarang arah. "Jangan ada yang pergi, bagaimana pun keadaannya."

"Teh," panggil Selena. "Selama ini Teteh berbohong?"

Bianca melengos pergi tanpa berniat menjelaskan apapun, tindakannya tentu membuat Selena hampir kehilangan kewarasannya. Nirina sendiri tidak bergerak sama sekali.

"Nirin, kamu dengar itu?" tanya Selena, ia meraih kedua bahu Nirina dan meminta adiknya agar menghadap ke arahnya. "Nirin, jawab Teteh!"

Nirina mengangguk.

"Tapi, bagaimana bisa?" Selena menyibak rambutnya ke belakang. "Ya ampun, selama ini Teh Aca berbohong?"

Nirina bergegas pergi, ia melangkahkan kakinya menuju ke dapur. Sesampainya di sana, Nirina langsung saja mengambil sebilah pisau, tanpa berpikir lagi ia tusukan pada Bianca yang sedang berdiri membelakanginya. Namun, pisau itu tidak mengenai perutnya, sebab tangan Bianca bergerak lebih cepat dari niat Nirina.

Darah mengalir dari telapak tangannya yang berusaha mencengkram pisau tersebut, sementara Nirina dengan tanpa perasaan memaksa menarik pisaunya. Tentu saja kulitnya terkoyak, sebab Nirina memaksa menarik dan Bianca memaksa mempertahankannya.

"Kenapa Teteh baru bicara lagi?" tanya Nirina. "KENAPA?"

Sepasang mata Bianca sudah berkaca-kaca, ia menahan rasa sakit yang teramat sangat pada telapak tangannya. Hingga pada akhirnya Nirina kalah, ia melepaskan pisau tersebut.

Rumah Tanpa AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang