04. Wilo

698 97 36
                                        

— RUMAH TANPA ATAP —

Wilona adalah gadis spesial. Ia penderita spektrum autisme. Meski begitu, orang-orang tidak akan menyangka jika dia mengidap penyakit seperti itu. Pertumbuhan fisiknya sama seperti orang-orang, yang apabila bertemu dari kejauhan tidak akan terlihat sisi lainnya.

Namun, kekurangannya itu tak bisa membuatnya dipandang sebelah mata. Wilona sangat pandai dalam hitung-hitungan, bahasanya juga tertata rapi sebab ia sekolah dengan sungguh-sungguh. Bahkan kalau disandingkan dengan murid-murid biasa lainnya, Wilona sejajar, mungkin bisa lebih unggul.

Hanya saja, Bianca tahu akan seperti apa orang-orang normal menghadapi kondisi Wilona. Maka Wilona dikirim saja ke sekolah khusus, agar berada di lingkungan aman.

"Es krim."

"Es krim."

"Es krim."

"Teh Aca, es krim."

"Beli es krim."

Wilona tak hentinya mengulang kata es krim di setiap langkah menuju ke toko tempat Bianca bekerja. Sebutlah sekolahnya hanya beberapa langkah dari toko Bianca, sehingga Wilona bisa bertemu dengan Bianca kapan saja. Tapi biasanya jarang diberi izin keluar kalau masih jam sekolah.

Jemarinya terus bertaut di sela melangkah, fokusnya pada jalanan yang ia tempuh. Begitu sampai di depan toko Bianca, Wilona mulai mengangkat kepalanya dan menatap ke dalam sana.

"Teh Aca."

Brak!

Tubuhnya tersungkur sebab seseorang yang keluar dari toko melangkah dengan kasar dan menubruk bahu Wilona.

"PUNYA MATA TIDAK, SIH?" bentaknya.

Wilona kelabakan, ia dibuat panik mendengar bentakan.

"JANGAN BERLAGAK MENJADI KORBAN, AYO BANGUN DAN MINTA MAAF!" bentaknya sekali lagi.

Wilona menelan ludahnya dengan susah payah, ia menutup kedua telinganya dan mulai bergerak gelisah di sana.

"APA KAMU TIDAK DENGAR SAYA?"

Sebelum pria itu menendang Wilona, Bianca datang di waktu yang tepat. Bianca memegang lengan Si Pria lalu menyatukan kedua telapak tangannya memohon maaf atas apa yang terjadi.

"Hei, dia saudaramu?" tanyanya. "Katakan padanya, kalau jalan itu lihat-lihat!"

Bianca mengangguk, dan sekali lagi ia memohon maaf hanya dengan menggunakan tatapannya saja. Pria itu mengumpat kesal, lalu pergi tanpa sedikit pun meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Bisa saja dia yang salah, bukan? Melihatnya keluar terburu-buru sambil main ponsel soalnya.

"LEPASKAN!" teriak Wilona saat Bianca menyentuh bahunya. "Lepaskan, lepaskan, lepaskan!!!"

Bianca berjongkok, ia menarik kedua bahu Wilona dan mengguncangnya menyadarkan. Wilona bergerak gelisah ketika Bianca menatapnya, lalu dengan segera Bianca memeluk adiknya berharap bisa menenangkan.

Bianca tidak punya kata, tapi Bianca punya pelukan.

Wilona mulai tenang dalam pelukannya, Wilona mulai merasakan adanya kenyamanan dan keamanan begitu dipeluk erat oleh Teh Aca. Beberapa detik kemudian, pelukan itu merenggang dengan Wilona yang lebih tenang dari sebelumnya.

"Teh Aca," lirih Wilona. "Wilo takut, Wilo dimarahi, jangan marahi Wilo."

Bianca menggelengkan kepalanya, ia mengusap surai hitam Wilona guna menambah kenyamanan bagi adiknya. Detik berikutnya, Bianca menuntun Wilona untuk segera beranjak, lalu membawanya masuk ke toko.

Rumah Tanpa AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang