22. Tolong

433 62 43
                                    

— RUMAH TANPA ATAP —

"Teh Aca~"

"Tolong~"

"Wilo tidak mau mati, Teh~"

"Teh Aca~"

Bianca membuka matanya lebar-lebar, ia menguap sebab dibangunkan oleh panggilan dari nomor yang tidak diketahui. Tanpa sadar jemarinya menerima panggilan itu, dan terdengar suara lirih memohon pertolongan. Dia berusaha untuk mengumpulkan sebagian nyawanya yang belum sepenuhnya memenuhi raganya. Ada pesan masuk, ada lokasi yang tertera di sana. Dan dia mulai beranjak duduk untuk memastikan.

Apakah Bianca bermimpi? Ia menepuk pipinya perlahan, sebenarnya dia tidak begitu mendengar suara dari balik panggilan tadi. Jiwanya belum sepenuhnya mengisi dirinya.

"Wilo."

Jika Bianca tidak salah, lokasi yang dikirim oleh nomor tak dikenal itu merupakan tempat Wilona berlibur dengan keluarga Pak Theo. Benar, Bianca pernah diberitahu akan liburan ke mana Wilona bersama dengan mereka.

Buru-buru Bianca menelepon ke nomor barusan, ia menunggu dengan sabar meski panggilannya tak diterima. Kemudian, Bianca memberanikan dirinya untuk menghubungi Pak Theo, sebab dia yang bertanggung jawab atas Wilona.

"Halo, Pak!" panggil Bianca dengan cepat. "Wilo di mana? Apa Wilo baik-baik saja di sana? Tidak terjadi sesuatu pada Wilo di sana, bukan?"

"Selena yang bicara? Atau Nirina?"

Bianca terbelenggu dibuatnya, sadar kalau dirinya adalah gadis bisu yang selama ini menipu orang-orang.

"Wilo baik-baik saja, kok. Bilang pada Kakak kamu, kalau Wilo liburannya akan diperpanjang, nanti saat akan pulang diberitahu."

Bianca hanya bergeming.

"Oh iya, Kakak kamu ada di sana? Tolong bilang padanya, tidak usah khawatir soal Wilona."

"Wilo baik-baik saja, sungguh?" tanya Bianca. "Bapak akan menjamin keselamatannya sampai dia pulang ke rumah? Harus utuh."

Terdengar suara tawa di seberang sana, Bianca memandang lurus ke depan tempat kedua adiknya beristirahat. Mereka di rumah sakit sekarang, hal itu disebabkan oleh kondisi Nirina yang hampir kehabisan darah sebab luka di lengannya. Selena tidurnya sambil duduk, di kursi dekat ranjang Nirina. Bianca sendiri kebagian rebahan di karpet tipis, mengingat Nirina dirawat di ruangan umum.

"Jangan sampai ada yang kurang," ucap Bianca dingin.

"Ya ampun, kamu ini ada-ada saja. Tentu, Wilo akan pulang dengan selamat. Siapa yang bilang begitu? Kakakmu?"

"Aku sendiri, Bianca."

"Apa?"

"Pak, saya percaya sama Bapak. Maka dari itu, saya mohon jangan berkhianat. Wilona adikku yang paling lugu, jangan lukai dirinya."

"Apa maksudmu? Kamu bercanda? Tidak, kamu—"

Bianca menutup panggilannya, ia kembali merebahkan tubuhnya di atas karpet tipis. Begitu memejamkan matanya, Bianca melihat senyum Wilona yang selalu mengembang ketika ia menemukan kebahagiaannya. Wilona adalah adik kecilnya yang lugu, dia selalu menurut atas semua perintah.

Sepasang matanya kembali terbuka, Bianca beranjak berdiri dan menepuk bahu Selena. Adiknya itu harus terusik sebab sentuhan Bianca.

"Ada apa, Teh?"

"Jaga Nirin baik-baik, Teteh pergi menemui Wilo dulu."

Selena mengernyit. "Wilo pulang?"

"Teteh mau jemput Wilo."

Rumah Tanpa AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang