Fikron akhirnya terselamatkan dari intimidasi Umi, dan Babanya karena kedatangan seorang santriwati yang cukup sering bolak-balik ke ndalem, gadis dengan perawakan cukup jangkung itu terlihat cantik dengan gamis baru pemberian dari Uminya sebagai hadiah telah membantu insiden saat aqiqahan Baby F, si kembar anak Rama dan Aila.
"Assalamualaikum Ibu Nyai, Abah Yai, Gus."
"Waalaikumussallam." jawab mereka serempak.
Gadis itu menyalami punggung tangan Umi Shilla, lalu menyalami Baba Ikmal, dan juga Gus Fikron dengan tanpa bersentuhan tangan.
"Ada apa Mbak Marsha?" tanya Umi Shilla.
Kepala santriwati bernama lengkap Marshanda Nur Afiani itu tampak menunduk, terus terang ia sangat sungkan dengan kehadiran Kyai Ikmal, dan juga Gus Irham. "Umh, ngapunten ibu nyai, sekarang waktunya Marsha setor hafalan surah Al-mulk."
Umi Shilla tampak membuang napas kasar. "Astagfirullah Mbak. Untung Mbak datang kesini lho, Umi lupa kalau Mbak Marsha ada setor hafalan." Ia benar-benar lupa sekali.
"Al-Mulk? Mbak Marsha masih belum hafal memangnya Mbak?" tanya Fikron.
Marshanda yang di tanya seperti itu hanya bisa meremas jemarinya yang saling bertautan. Ia memang agak terlambat dari teman-temannya, tapi bukan berarti ia bodoh hanya saja ia masuk ke pesantren ini di tahun terakhir, berbeda dengan teman-temannya yang lain.
Lagi pula, masih wajar sekali karena ia memang masih terbilang baru. Marshanda sadar, jika ia juga memang tidak segenius Gus Fikron sampai menghafalkan surah Al-Mulk saja harus membutuhkan waktu berminggu-minggu, itu juga kadang ayat-ayatnya sering tertukar.
Umi Shilla melotot tajam kepada sang putra. Fikron berdeham, memangnya ada yang salah dengan ucapannya?
"Kamu mending ikut Baba deh ke pondok. Tapi sudah shalat ashar belum?" tanya sang Baba. Ia tahu jika saat ini istrinya itu tengah kesal kepada sang putra yang baru saja mengatakan hal yang cukup sensitif, sampai Marshanda tertunduk dan memilik jemarinya seperti itu.
Fikron mengulum bibirnya, Babanya ini sedang mencoba menyelamatkannya dari amukan sang Umi.
"Udah Ba, di masjid deket sini tadi. Tapi Fikron mandi dulu, Baba duluan aja deh ke pondok." ucapnya. Ia memang orang yang sangat ceplas-ceplos, makanya kata-kata itu tadi refleks keluar begitu saja. Sungguh, ia tidak memiliki niatan untuk menghina, atau melukai hati Marshanda dengan perkataannya.
"Yo wes, mandi dulu sana. Nanti susul Baba saja ke pondok."
Fikron mengangguk, ia pamit untuk kembali ke kamarnya, sang Baba juga pamit kepada sang istri untuk kembali ke pondok.
Umi Shilla menghela napas, Marshanda terkejut saat merasakan ada tangan yang menggenggam tangannya, ia mendongkak dan menemukan jika Ibu dari Gus Fikron tengah tersenyum teduh seraya menggenggam tangannya. "Maafin ucapannya Fikron barusan ya Mbak. Fikron anaknya memang sering ceplas-ceplos. Maaf ya, kalau membuat Mbak Marsha tersinggung."
Marshanda dengan cepat menggeleng, "Gapapa kok Ibu Nyai. Marsha sama sekali nggak tersinggung dengan ucapan Gus Fikron." katanya sembari tersenyum manis.
Umi Shilla mengeratkan genggaman tangannya, santrinya ini mencoba untuk menutupi perasaan kecewa, dan tersinggungnya karena ucapan sang putra. "Mbak Marsha ini orang yang pintar, dan mudah mempelajari hal baru. Jadi, jangan merasa insecure karena hafalannya tertinggal dengan yang lain. Semua orang itu butuh proses Mbak."
Marshanda mengangguk, rasanya ia ingin menangis sekarang. Sudah lama sekali ia tidak mendapatkan nasihat, serta kata-kata penyemangat ini dari Ibunya yang tinggal jauh dari pondok ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Художественная прозаIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...